Usir Pendidik Oportunis!
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang
Pada pertengahan Maret lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
Anies Baswedan, telah ‘dikagetkan’ oleh sejumlah 300-an guru PNS di daerah Jawa
Timur yang tiba-tiba meminta pensiun dini sebagai bentuk pengunduran diri
secara ‘damai’ dari profesi guru. Pengunduran mereka dilatarbelakangi oleh sebab
yang tidak jelas. Mirisnya, penyebab pengunduran sebagian dari mereka adalah
karena masalah gaji yang dirasa masih kurang memenuhi standard.
Ironisnya, menurut Menteri Anies, pengunduran diri itu dilakukan atas
dasar semangat telah mengumpulkan banyak uang dari hasil tunjangan. Artinya,
perilaku mereka bisa dikatakan sebagai potret sejumlah guru di negeri ini yang
ternyata dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik memang
belum benar-benar tulus ikhlas dari hati nuraninya. Otomatis, tidak sedikit
masyarakat menilai mereka yang demikian itu sebagai contoh kalangan pendidik
oportunis. Sebab, sejatinya mereka menjadi guru PNS karena ingin memeproleh
gaji tinggi, sehingga hidupnya bisa sejahtera.
Jika kita cermati, perilaku tersebut sungguh merupakan potret bukan
pendidik sejati, melainkan pendidik abal-abal. Dengan kata lain, sebutan
pendidik untuk mereka hanya sebatas ‘topengnya’ saja, namun jiwanya tak ada
bedanya dengan para politisi busuk yang terobsesi untuk memperoleh ‘keuntungan’
sebanyak-banyaknya melalui kekuasaan. Karena itu, sebagai ungkapan
kekecewaannya, Anies menegaskan bahwa sebagai guru jangan sampai mereka merusak
dunia pendidikan dengan perilaku demikian jika memanng orientasinya untuk
ekonomi (mencari uang). Secara tidak langsung, substansi pernyataan itu tentu berlaku
pula bagi seluruh guru di tanah air.
Sebab, untuk mencarikan pengganti guru sebanyak itu tidak semudah
membalikkan tangan, namun membutuhkan langkah-langah yang tepat dan
profesional, alias tidak bisa asal comot lantas aspek kualitas guru
menjadi terlupakan. Maka dari itu, perilaku semacam itu jangan sampai ditiru
oleh guru di wilayah lain di republik ini. Sebab, tidak dapat dibayangkan jika
banyak guru yang meniru perilaku negatif tersebut. Implikasi nyatanya, tujuan
pendidikan akan gagal total. Jika itu terjadi, maka tak heran apabila sejumlah
masalah dalam kehidupan sehari-hari seperti kemiskinan, kriminalitas, dan
kesenjangan sosial akan meningkat di negeri ini.
Apabila memang mereka memiliki masalah terkait gaji yang dinilai
kurang layak, kurang memenuhi standard, atau sebab lain, sebagai orang berilmu
seharusnya mereka bisa menyelesaikannya dengan cara yang lebih dewasa dan
terhormat. Bukan malah mengundurkan diri seperti itu. Itu artinya pendidik
semacam itu layak disebut pengecut, sebab mereka hanya ingin ‘enaknya’ saja.
Setelah dapat meraih targetnya, mereka melupakan pihak lainnya. Jika kita
telaah lebih mendalam, itu merupakan salah satu indikator orang munafik
sebagaimana penjelasan pada QS. Al-Baqoroh: 14.
Jika mereka memang masih mengaku termasuk golongan pendidik sejati,
mestinya mereka tidak melakukan hal tersebut. Seorang pendidik sejati secara
otomatis akan terlihat dari segala sifat, tingkah, perilaku, serta perkataannya
yang mencerminkan layaknya seorang pendidik. Setidaknya hal itu dapat dilihat
dari integritas, kewibawaan, kecerdasan, kedewasaan, serta kemuliaan perilaku
dan perkataannya.
Semua itu otomatis akan termanifestasikan dalam kehidupan
sehari-harinya. Sebab, sebagaimana Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, Dosen
Pascasarjana FISIP UI, telah menegaskan bahwa jika kita seorang pendidik, maka
kita harus menjadi pendidik yang sadar berdasarkan munculnya panggilan hati
untuk berperan aktif membantu bangsa dan negara dalam rangka mencerdaskan umat.
Namun, jika perilaku mereka sebagai pendidik justru seperti itu,
artinya mereka terindikasi termasuk kaum pendidik oportunis. Yakni pendidik
yang hanya mau mendidik para muridnya bukan karena panggilan hati untuk
mencerdaskan umat, melainkan karena mereka termasuk meupakan potret udang di
balik batu. Maksudnya, mereka mau mendidik karena memiliki kemauan terselubung
yang lebih bersifat materialistik. Maka, tak ayal jika hal itu memunculkan
sifat dan perilaku pragmatis yang terselubung dalam benak mereka. Itu merupakan
salah satu bukti konkrit perilaku pendidik oportunis di negeri ini, karena
sebenarnya masih ada banyak bentuk atau wujud perilaku pendidik yang oportunis
lainnya.
Contoh lain perilaku pendidik oportunis yang sudah menjadi rahasia
umum yaitu keinginan para pendidik yang mau berperan aktif aktif di dunia
pendidikan namun orientasinya bukan demi mencerdaskan anak bangsa, melainkan
untuk mempeeroleh jabatan strategis. Sebab, dengan beegitu, maka mereka akan
memperoleh gaji lebih banyak dari pada hanya menjadi guru biasa. Selain itu,
dengan menduduki jabatan strategis, maka mereka akan merasa menjadi orang yang
terpandang, sehingga mereka merasa orang-orang di sekitarnya akan
menghormatinya dan mematuhinya karena posisinya sebagai petinggi di suatu
lembaga pendidikan.
Apabila kita mau perhatian, cermat, dan kritis dalam konstelasi
pendidikan, maka kita akan menemui dan menyadari bahwa sebenarnya ada pula
sebagian pendidik busuk, tidak hanya politisi busuk yang koruptif. Bahkan,
sejauh ini perilaku koruptif tidak hanya mengakar dalam dunia perpolitikan,
namun juga dunia kependidikan. Hanya saja ‘gerakan’ penegak hokum ke ranah
penddidikan bisa dibilang kurang maksimal, sehingga masih banyak para koruptor
di sejumlah lembaga pendidikan dan praktiknya sudah sangat massif, karena
hampir dilakukan seluruh PNS.
Maka, bagi para pendidik sejati, mereka harus bisa membedakan
antara peran sebagai pendidik dan pebisnis. Peran pendidik ialah menjalankan tugas
kenabian, yakni mencerdaskan umat manusia. Sebab, pada hakikatnya, pendidik
merupakan pewaris nabi, sebab mereka termasuk “ulama’” dikarenakan mereka
berilmu. Sementara peran seorang pebisnis ialah untuk mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya, dan tentunya dengan cara atau metode yang benar dan
dibenarkan, baik dalam norma agama maupun norma sosial dan kenegaraan.
Sekali lagi, para guru di republik ini jangan sampai menjadi
pendidik yang oportunis jika tidak mau dibilang seorang yang munafik dan
pengecut. Maka para guru harus mau serta mampu menalankan tugasnya dengan
sebaik-baiknya. Artinya, dalam menjalankan tugas mulia itu, harus didasari
dengan penggilan hati nurani dari lubuk hati, bukan karena ingin memperoleh
kesenangan semu berupa materi (uang) maupun jabatan strategis. Sebab, itu hanya
akan menodai citra guru di masyarakat dan tentunya akan merugikan baik diri
sendiri maupun orang lain. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar