Sabtu, 16 Mei 2015

Usir Pendidik Oportunis! (Koran Rakyat Jateng: 23 April 2015)




Usir Pendidik Oportunis!

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Pada pertengahan Maret lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, telah ‘dikagetkan’ oleh sejumlah 300-an guru PNS di daerah Jawa Timur yang tiba-tiba meminta pensiun dini sebagai bentuk pengunduran diri secara ‘damai’ dari profesi guru. Pengunduran mereka dilatarbelakangi oleh sebab yang tidak jelas. Mirisnya, penyebab pengunduran sebagian dari mereka adalah karena masalah gaji yang dirasa masih kurang memenuhi standard.
Ironisnya, menurut Menteri Anies, pengunduran diri itu dilakukan atas dasar semangat telah mengumpulkan banyak uang dari hasil tunjangan. Artinya, perilaku mereka bisa dikatakan sebagai potret sejumlah guru di negeri ini yang ternyata dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik memang belum benar-benar tulus ikhlas dari hati nuraninya. Otomatis, tidak sedikit masyarakat menilai mereka yang demikian itu sebagai contoh kalangan pendidik oportunis. Sebab, sejatinya mereka menjadi guru PNS karena ingin memeproleh gaji tinggi, sehingga hidupnya bisa sejahtera.
Jika kita cermati, perilaku tersebut sungguh merupakan potret bukan pendidik sejati, melainkan pendidik abal-abal. Dengan kata lain, sebutan pendidik untuk mereka hanya sebatas ‘topengnya’ saja, namun jiwanya tak ada bedanya dengan para politisi busuk yang terobsesi untuk memperoleh ‘keuntungan’ sebanyak-banyaknya melalui kekuasaan. Karena itu, sebagai ungkapan kekecewaannya, Anies menegaskan bahwa sebagai guru jangan sampai mereka merusak dunia pendidikan dengan perilaku demikian jika memanng orientasinya untuk ekonomi (mencari uang). Secara tidak langsung, substansi pernyataan itu tentu berlaku pula bagi seluruh guru di tanah air.
Sebab, untuk mencarikan pengganti guru sebanyak itu tidak semudah membalikkan tangan, namun membutuhkan langkah-langah yang tepat dan profesional, alias tidak bisa asal comot lantas aspek kualitas guru menjadi terlupakan. Maka dari itu, perilaku semacam itu jangan sampai ditiru oleh guru di wilayah lain di republik ini. Sebab, tidak dapat dibayangkan jika banyak guru yang meniru perilaku negatif tersebut. Implikasi nyatanya, tujuan pendidikan akan gagal total. Jika itu terjadi, maka tak heran apabila sejumlah masalah dalam kehidupan sehari-hari seperti kemiskinan, kriminalitas, dan kesenjangan sosial akan meningkat di negeri ini.
Apabila memang mereka memiliki masalah terkait gaji yang dinilai kurang layak, kurang memenuhi standard, atau sebab lain, sebagai orang berilmu seharusnya mereka bisa menyelesaikannya dengan cara yang lebih dewasa dan terhormat. Bukan malah mengundurkan diri seperti itu. Itu artinya pendidik semacam itu layak disebut pengecut, sebab mereka hanya ingin ‘enaknya’ saja. Setelah dapat meraih targetnya, mereka melupakan pihak lainnya. Jika kita telaah lebih mendalam, itu merupakan salah satu indikator orang munafik sebagaimana penjelasan pada QS. Al-Baqoroh: 14.
Jika mereka memang masih mengaku termasuk golongan pendidik sejati, mestinya mereka tidak melakukan hal tersebut. Seorang pendidik sejati secara otomatis akan terlihat dari segala sifat, tingkah, perilaku, serta perkataannya yang mencerminkan layaknya seorang pendidik. Setidaknya hal itu dapat dilihat dari integritas, kewibawaan, kecerdasan, kedewasaan, serta kemuliaan perilaku dan perkataannya.
Semua itu otomatis akan termanifestasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Sebab, sebagaimana Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, Dosen Pascasarjana FISIP UI, telah menegaskan bahwa jika kita seorang pendidik, maka kita harus menjadi pendidik yang sadar berdasarkan munculnya panggilan hati untuk berperan aktif membantu bangsa dan negara dalam rangka mencerdaskan umat.
Namun, jika perilaku mereka sebagai pendidik justru seperti itu, artinya mereka terindikasi termasuk kaum pendidik oportunis. Yakni pendidik yang hanya mau mendidik para muridnya bukan karena panggilan hati untuk mencerdaskan umat, melainkan karena mereka termasuk meupakan potret udang di balik batu. Maksudnya, mereka mau mendidik karena memiliki kemauan terselubung yang lebih bersifat materialistik. Maka, tak ayal jika hal itu memunculkan sifat dan perilaku pragmatis yang terselubung dalam benak mereka. Itu merupakan salah satu bukti konkrit perilaku pendidik oportunis di negeri ini, karena sebenarnya masih ada banyak bentuk atau wujud perilaku pendidik yang oportunis lainnya.
Contoh lain perilaku pendidik oportunis yang sudah menjadi rahasia umum yaitu keinginan para pendidik yang mau berperan aktif aktif di dunia pendidikan namun orientasinya bukan demi mencerdaskan anak bangsa, melainkan untuk mempeeroleh jabatan strategis. Sebab, dengan beegitu, maka mereka akan memperoleh gaji lebih banyak dari pada hanya menjadi guru biasa. Selain itu, dengan menduduki jabatan strategis, maka mereka akan merasa menjadi orang yang terpandang, sehingga mereka merasa orang-orang di sekitarnya akan menghormatinya dan mematuhinya karena posisinya sebagai petinggi di suatu lembaga pendidikan.
Apabila kita mau perhatian, cermat, dan kritis dalam konstelasi pendidikan, maka kita akan menemui dan menyadari bahwa sebenarnya ada pula sebagian pendidik busuk, tidak hanya politisi busuk yang koruptif. Bahkan, sejauh ini perilaku koruptif tidak hanya mengakar dalam dunia perpolitikan, namun juga dunia kependidikan. Hanya saja ‘gerakan’ penegak hokum ke ranah penddidikan bisa dibilang kurang maksimal, sehingga masih banyak para koruptor di sejumlah lembaga pendidikan dan praktiknya sudah sangat massif, karena hampir dilakukan seluruh PNS.
Maka, bagi para pendidik sejati, mereka harus bisa membedakan antara peran sebagai pendidik dan pebisnis. Peran pendidik ialah menjalankan tugas kenabian, yakni mencerdaskan umat manusia. Sebab, pada hakikatnya, pendidik merupakan pewaris nabi, sebab mereka termasuk “ulama’” dikarenakan mereka berilmu. Sementara peran seorang pebisnis ialah untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, dan tentunya dengan cara atau metode yang benar dan dibenarkan, baik dalam norma agama maupun norma sosial dan kenegaraan.
Sekali lagi, para guru di republik ini jangan sampai menjadi pendidik yang oportunis jika tidak mau dibilang seorang yang munafik dan pengecut. Maka para guru harus mau serta mampu menalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Artinya, dalam menjalankan tugas mulia itu, harus didasari dengan penggilan hati nurani dari lubuk hati, bukan karena ingin memperoleh kesenangan semu berupa materi (uang) maupun jabatan strategis. Sebab, itu hanya akan menodai citra guru di masyarakat dan tentunya akan merugikan baik diri sendiri maupun orang lain. Wallahu a’lam bi al-showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar