Guru; (masih) Pahlawan Tanpa Tanda Jasakah ?
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Ketua Komunitas Peduli Pendidikan Masyarakat (KPPM), Mahasiswa
Peraih Beasiswa UIN Walisongo Semarang
Tanggal 10 November merupakan waktu peringatan hari pahlawan. Waktu
tersebut menjadi momentum spesial sebagai wujud penghormatan dan penghargaan
bangsa atas jasa mulia para pahlawan. Maka, momentum itu sangat relevan apabila
dikaitkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, terutama bagi guru
yang sering dikatakan menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Ya, dalam dunia pendidikan guru sering disebut sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa. Maksudnya adalah dalam mengajarkan ilmunya kepada muridnya
guru tidak membutuhkan balasan atau jasa. Makna ungkapan tersebut jika
diinterpretasikan secara umum yaitu untuk menggambarkan sosok guru secara
khittahnya adalah manusia yang layak dijadikan panutan, uswatun hasanah.
Sebab, pada dasarnya guru setali tiga uang dengan orang yang dianggap menguasai
ilmu. Orang semacam itu dalam bahasa arab disebut ulama.
Sesungguhnya, Nabi Muhammad SAW. pun pernah bersabda dalam
hadistnya bahwa ulama’ itu pewaris para nabi. Maka, sejatinya karena guru
merupakan ulama, dia pun merupakan pewaris para nabi. Sebagai pewaris nabi,
maka paling tidak guru harus mau berusaha meraih empat kriteria mulia yang
dimiliki nabi, yaitu jujur (shidiq), menyampaikan (tabligh),
dapat dipercaya (amanah), dan cerdas (fathonah). Dalam falsafah
Jawa, guru diartikan sosok manusia yang harus digugu lan ditiru.
Namun, sayangnya di era modern ini, makna ungkapan “Guru merupakan
pahlawan tanpa tanda jasa” yang sebenarnya bercitra positif menjadi negatif,
atau seolah-olah mengalami distorsi. Kini ungkapan itu seakan tinggal hanya
sebatas ungkapan, akan tetapi fakta nyatanya justru bertolak belakang. Ternyata,
salah satu faktor kebobrokan pendidikan di Indonesia dilatarbelakangi oleh
kebobrokan para gurunya, baik moral, perilaku, kualitas pengajarannya, maupun
kualitas kecerdasan spiritualnya. Padahal, guru merupakan soko guru bangsa. Pasalnya,
kebanyakan guru saat ini berparadigma sesat dan menyesatkan baik bagi para
murid maupun orang di sekitarnya. Jadi, itu mengotori atmosfer dunia pendidikan
khususnya di Indonesia sehingga menyebabkan terpuruk (kondisi pendidikan) dan
bahkan terburuk (kualitas pendidikan).
Lebih parahnya, sebagian perilaku mereka telah merugikan
masyarakat, bangsa, dan negara. Pasalnya, mereka telah “menghalalkan” praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Karena saking mereka sudah menganggap
praktik itu “lumrah” atau biasa dilakukannya, maka mereka melakukannya dengan
tanpa rasa dosa sedikitpun. Terbukti salah satu profesor di Indonesia pernah
melakukan korupsi hingga sempat mengakibatkan citra “kebusukan pendidikan” di
Indonesia. Padahal, dalam dunia akademis dia telah memiliki tingkat atau level
pendidikan terttinggi. Mestinya dia sudah tau jika yang dilakukannya itu
merupakan perilaku dosa besar karena merugikan negara. Namun, faktanya sosok insan
yang notabene merupakan orang yang layak disebut sebagai intelektual atau
cendikiawan dan menjadi panutan masyarakat bahkan pewaris nabi, justru
melakukan suatu hal yang seharusnya dia “memeranginya”. Tentu itu sangat
menodai citra pendidikan di Indonesia, khususnya bagi para guru atau pendidik.
Oleh karena itu, maka saat ini para guru memiliki beberapa tanggung
jawab yang bersifat harus segera ditindaklanjuti. Karena jika tidak, maka
kepercayaan masyarakat untuk merelakan putra-putrinya berguru dengan mereka
akan pudar dan sirna. Jika demikian terjadi, maka hancurlah sudah nasib guru.
Sebab, guru bertugas memberikan pencerahan kepada masyarakat. Apabila
masyarakat sudah tidak meyakini dan mempercayainya, itu artinya fungsi guru
telah tiada lagi guna. Ini selaras dengan ungkapan bahasa arab, wujuduhu
ka’adamihi. Jika itu benar terjadi, pertanda bahwa eksistensi mereka tidak
diakui masyarakat. Dengan kata lain, mereka tidak jauh beda dengan sampah yang
tidak dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam
istilah lain, bagaikan pohon tanpa buah. Maka tiada manfaatnya dan harus
“dibinasakan”.
Diantara tanggung jawab guru saat ini, pertama adalah mengembalikan
citra positif guru kepada masyarakat. Saat ini, salah satu problematika yang
sedang melanda guru adalah citra mereka menjadi negatif di mata masyarakat
karena beberapa faktor; diantaranya praktik KKN, kebobrokan moral mereka dengan
ditandai beberapa guru melakukan hal-hal negatif dalam bersosial dan
bermasyarakat seperti kurang menghargai wali murid, melakukan kekerasan kepada
murid, dianggap sering melakukan pungutan-pungutan ilegal kepada para muridnya,
bahkan melakukan pelecehan seksual kepada muridnya atau melakukan “kumpul
kebo”.
Maka, sebagai insan panutan masyarakat, guru harus berkemauan keras
menghindari, menjauhi, memusuhi, bahkan “memerangi” hal-hal negatif tersebut
dan berbalik melakukan hal-hal positif, seperti tidak melakukan pungutan-pungutan
ilegal kepada para siswanya, sabar dalam mendidik para muridnya dan jangan
sampai melakukan kekerasan karena jengkel, serta melarang praktik KKN.
Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-‘Imran: 104 yang menyuruh umat manusia
supaya mengajak orang lain untuk melakaukan kebaikan dan melarangnya berbuat
keburukan. Maka, ini selaras dengan firman-Nya dalam Q.S. Al-Baqarah: 188 yang secara
substansial melarang kita supaya tidak memakan makanan haram. Maka, jangan
sampai kita makan dari hasil KKN. Sebab, itu haram.
Kedua, guru harus mengembalikan khittahnya dan melakukan
tugas-tugasnya dengan baik. Khittah guru adalah pewaris para nabi. Nabi
merupakan sosok manusia yang dianggap sangat layak untuk dijadikan panutan oleh
mayarakatnya. Ini seperti yang disebutkan Allah dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab:
21 yang isinya menjelaskan bahwa Nabi Muhammad merupakan orang yang layak
dijadikan suri tauladan yang baik bagi umat manusia jika ingin memeroleh
rahmat-Nya.
Dalam mengemban tanggung jawab ini, guru harus ingat dan sadar
bahwa dalam melaksaknakan tugasnya sebagai pewaris nabi, selain dia harus
berusaha keras untuk memiliki empat sifat mulia nabi juga jangan sampai
disorientasi. Dalam konteks ini, jangan sampai guru berparadigma dengan
posisinya sebagai guru yang mentransformasikan ilmunya, maka dia sangat
berharap konsekuensinya memperoleh upah atau gaji atas jasanya itu. Sehingga,
jika dia tidak memperolehnya atau memperolehnya tapi sedikit, maka dia akan
melakukan segala cara meskipun haram. Padahal, nabi menyampaikan ilmu kepada
umatnya tanpa mengharap upah sedikitpun. Ini sebagaimana hadist yang
diriwayatkan Bukhori Muslim, “allim majjanan, kama ‘ullimtu majjanan”.
Jika dia tahu, bahwa itu merupakan perilaku negatif seperti yang
dilakukan oleh para guru (pendidik) di Yunani kuno yang disebut sofis. Padahal,
sebelumnya mereka pada mulanya mengajar para muridnya dengan ikhlas dan tanpa
mengharap upah sedikitpun. Dan itu memang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Namun, seiring berjalannya waktu mereka mengalami disorientasi. Yang tadinya
pendidikan bisa diperoleh gratis oleh muridnya, menjadi muridnya harus membayar
mahal untuk memperolehnya. Sehingga itu merugikan semua pihak.
Jika guru masih ingin disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa,
maka dia harus melakukan tugas-tugasnya dengan maksimal, optimal, dan ikhlas
serta mau melakukan hal-hal positif, konstruktif, serta futuristif yang
berorientasi untuk mencerdaskan bangsa sesuai tujuan pendidikan bangsa
Indonesia atas dasar Pembukaan UUD 1945 alinea empat, UUD 1945 (versi
amandemen) pasal 3 ayat 3 dan 5, serta Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar