Jumat, 15 Mei 2015

Guru; (Masih) Pahlawan Tanpa Tanda Jasakah? (Harian Banyumas: 10 November 2014)



Guru; (masih) Pahlawan Tanpa Tanda Jasakah ?

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Ketua Komunitas Peduli Pendidikan Masyarakat (KPPM), Mahasiswa Peraih Beasiswa UIN Walisongo Semarang

Tanggal 10 November merupakan waktu peringatan hari pahlawan. Waktu tersebut menjadi momentum spesial sebagai wujud penghormatan dan penghargaan bangsa atas jasa mulia para pahlawan. Maka, momentum itu sangat relevan apabila dikaitkan dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, terutama bagi guru yang sering dikatakan menyandang gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Ya, dalam dunia pendidikan guru sering disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Maksudnya adalah dalam mengajarkan ilmunya kepada muridnya guru tidak membutuhkan balasan atau jasa. Makna ungkapan tersebut jika diinterpretasikan secara umum yaitu untuk menggambarkan sosok guru secara khittahnya adalah manusia yang layak dijadikan panutan, uswatun hasanah. Sebab, pada dasarnya guru setali tiga uang dengan orang yang dianggap menguasai ilmu. Orang semacam itu dalam bahasa arab disebut ulama.
Sesungguhnya, Nabi Muhammad SAW. pun pernah bersabda dalam hadistnya bahwa ulama’ itu pewaris para nabi. Maka, sejatinya karena guru merupakan ulama, dia pun merupakan pewaris para nabi. Sebagai pewaris nabi, maka paling tidak guru harus mau berusaha meraih empat kriteria mulia yang dimiliki nabi, yaitu jujur (shidiq), menyampaikan (tabligh), dapat dipercaya (amanah), dan cerdas (fathonah). Dalam falsafah Jawa, guru diartikan sosok manusia yang harus digugu lan ditiru.
Namun, sayangnya di era modern ini, makna ungkapan “Guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa” yang sebenarnya bercitra positif menjadi negatif, atau seolah-olah mengalami distorsi. Kini ungkapan itu seakan tinggal hanya sebatas ungkapan, akan tetapi fakta nyatanya justru bertolak belakang. Ternyata, salah satu faktor kebobrokan pendidikan di Indonesia dilatarbelakangi oleh kebobrokan para gurunya, baik moral, perilaku, kualitas pengajarannya, maupun kualitas kecerdasan spiritualnya. Padahal, guru merupakan soko guru bangsa. Pasalnya, kebanyakan guru saat ini berparadigma sesat dan menyesatkan baik bagi para murid maupun orang di sekitarnya. Jadi, itu mengotori atmosfer dunia pendidikan khususnya di Indonesia sehingga menyebabkan terpuruk (kondisi pendidikan) dan bahkan terburuk (kualitas pendidikan).
Lebih parahnya, sebagian perilaku mereka telah merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Pasalnya, mereka telah “menghalalkan” praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Karena saking mereka sudah menganggap praktik itu “lumrah” atau biasa dilakukannya, maka mereka melakukannya dengan tanpa rasa dosa sedikitpun. Terbukti salah satu profesor di Indonesia pernah melakukan korupsi hingga sempat mengakibatkan citra “kebusukan pendidikan” di Indonesia. Padahal, dalam dunia akademis dia telah memiliki tingkat atau level pendidikan terttinggi. Mestinya dia sudah tau jika yang dilakukannya itu merupakan perilaku dosa besar karena merugikan negara. Namun, faktanya sosok insan yang notabene merupakan orang yang layak disebut sebagai intelektual atau cendikiawan dan menjadi panutan masyarakat bahkan pewaris nabi, justru melakukan suatu hal yang seharusnya dia “memeranginya”. Tentu itu sangat menodai citra pendidikan di Indonesia, khususnya bagi para guru atau pendidik.
Oleh karena itu, maka saat ini para guru memiliki beberapa tanggung jawab yang bersifat harus segera ditindaklanjuti. Karena jika tidak, maka kepercayaan masyarakat untuk merelakan putra-putrinya berguru dengan mereka akan pudar dan sirna. Jika demikian terjadi, maka hancurlah sudah nasib guru. Sebab, guru bertugas memberikan pencerahan kepada masyarakat. Apabila masyarakat sudah tidak meyakini dan mempercayainya, itu artinya fungsi guru telah tiada lagi guna. Ini selaras dengan ungkapan bahasa arab, wujuduhu ka’adamihi. Jika itu benar terjadi, pertanda bahwa eksistensi mereka tidak diakui masyarakat. Dengan kata lain, mereka tidak jauh beda dengan sampah yang tidak dibutuhkan oleh  masyarakat. Dalam istilah lain, bagaikan pohon tanpa buah. Maka tiada manfaatnya dan harus “dibinasakan”.
Diantara tanggung jawab guru saat ini, pertama adalah mengembalikan citra positif guru kepada masyarakat. Saat ini, salah satu problematika yang sedang melanda guru adalah citra mereka menjadi negatif di mata masyarakat karena beberapa faktor; diantaranya praktik KKN, kebobrokan moral mereka dengan ditandai beberapa guru melakukan hal-hal negatif dalam bersosial dan bermasyarakat seperti kurang menghargai wali murid, melakukan kekerasan kepada murid, dianggap sering melakukan pungutan-pungutan ilegal kepada para muridnya, bahkan melakukan pelecehan seksual kepada muridnya atau melakukan “kumpul kebo”.
Maka, sebagai insan panutan masyarakat, guru harus berkemauan keras menghindari, menjauhi, memusuhi, bahkan “memerangi” hal-hal negatif tersebut dan berbalik melakukan hal-hal positif, seperti tidak melakukan pungutan-pungutan ilegal kepada para siswanya, sabar dalam mendidik para muridnya dan jangan sampai melakukan kekerasan karena jengkel, serta melarang praktik KKN. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-‘Imran: 104 yang menyuruh umat manusia supaya mengajak orang lain untuk melakaukan kebaikan dan melarangnya berbuat keburukan. Maka, ini selaras dengan firman-Nya dalam Q.S. Al-Baqarah: 188 yang secara substansial melarang kita supaya tidak memakan makanan haram. Maka, jangan sampai kita makan dari hasil KKN. Sebab, itu haram.
Kedua, guru harus mengembalikan khittahnya dan melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Khittah guru adalah pewaris para nabi. Nabi merupakan sosok manusia yang dianggap sangat layak untuk dijadikan panutan oleh mayarakatnya. Ini seperti yang disebutkan Allah dalam Al-Quran Surat Al-Ahzab: 21 yang isinya menjelaskan bahwa Nabi Muhammad merupakan orang yang layak dijadikan suri tauladan yang baik bagi umat manusia jika ingin memeroleh rahmat-Nya.
Dalam mengemban tanggung jawab ini, guru harus ingat dan sadar bahwa dalam melaksaknakan tugasnya sebagai pewaris nabi, selain dia harus berusaha keras untuk memiliki empat sifat mulia nabi juga jangan sampai disorientasi. Dalam konteks ini, jangan sampai guru berparadigma dengan posisinya sebagai guru yang mentransformasikan ilmunya, maka dia sangat berharap konsekuensinya memperoleh upah atau gaji atas jasanya itu. Sehingga, jika dia tidak memperolehnya atau memperolehnya tapi sedikit, maka dia akan melakukan segala cara meskipun haram. Padahal, nabi menyampaikan ilmu kepada umatnya tanpa mengharap upah sedikitpun. Ini sebagaimana hadist yang diriwayatkan Bukhori Muslim, “allim majjanan, kama ‘ullimtu majjanan”.
Jika dia tahu, bahwa itu merupakan perilaku negatif seperti yang dilakukan oleh para guru (pendidik) di Yunani kuno yang disebut sofis. Padahal, sebelumnya mereka pada mulanya mengajar para muridnya dengan ikhlas dan tanpa mengharap upah sedikitpun. Dan itu memang yang diajarkan oleh Nabi Muhammad. Namun, seiring berjalannya waktu mereka mengalami disorientasi. Yang tadinya pendidikan bisa diperoleh gratis oleh muridnya, menjadi muridnya harus membayar mahal untuk memperolehnya. Sehingga itu merugikan semua pihak.
Jika guru masih ingin disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, maka dia harus melakukan tugas-tugasnya dengan maksimal, optimal, dan ikhlas serta mau melakukan hal-hal positif, konstruktif, serta futuristif yang berorientasi untuk mencerdaskan bangsa sesuai tujuan pendidikan bangsa Indonesia atas dasar Pembukaan UUD 1945 alinea empat, UUD 1945 (versi amandemen) pasal 3 ayat 3 dan 5, serta Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar