Sabtu, 16 Mei 2015

Menjadi Guru Sejati (Koran Rakyat Jateng: 9 April 2015)




Menjadi Guru Sejati

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih Sampangan; Guru School of Tahfidz di Monash Institute; Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang

Mendidik merupakan tugas suci seorang guru. Melalui proses transformasi ilmu, guru  berusaha dengan sekuat tenaga agar wawasan serta pengetahuan para muridnya dapat terbuka. Karena begitu mulianya (tidak bisa digantikan oleh apapun), konsekuensinya semua pencari ilmu dituntut agar dapat menghormati para guru. Sebab, peran guru sangat urgen dalam rangka mencerdaskan umat, sehingga menjadi kunci terwujudnya kehidupann yang aman, damai, makmur, dan sejahtera. Maka, apabila balasan para murid kepada guru justru ibarat air susu dibalas air tuba, maka jangan harap ilmunya bisa manfaat.
Pada hakikatnya, mendidik merupakan tugas kenabian. Sebab, nabi telah melakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung, yakni mendidik umatnya sehingga mereka dapat terentas dari jurang kebodohan. Terbukti, beliau berhasil merevolusi kondisi umat manusia dalam kurun waktu relatif singkat yakni 23 tahun yang sebelumnya tidak beradab menjadi beradab, sehingga terwujud masyarakat yang cerdas baik secara intelektual, emosional, finansial, maupun spiritual (baca: masyarakat madani). Hal itu sebagaimana dituturkan dalam QS. Al-Baqoroh: 151 secara substansial menjelaskan bahwa Allah telah mengutus rasul-Nya (Muhammad) untuk mencerdaskan umatnya dengan Al-Quran dan Al-Hadist.
Dengan kata lain, guru merupakan penerus para nabi. Sebab, mereka melanjutkan tugas kenabian, yakni mendidik. Dalam hal ini, nabi Muhammad SAW. telah menegaskan dalam salah satu hadistnya bahwa “para ulama’ merupakan pewaris para nabi”. Jika kita cermati, maksud kata ulama’ pada hadist tersebut bisa diinterpretasikan tidak hanya sebatas para tokoh agama/ kyai, namun lebih dari itu. Kata ulama’ dalam konteks hadist tersebut bisa diartikan lebih luas lagi dengan para ilmuan, cendekiawan, dan termasuk pendidik (guru atau dosen).
Namun, kini tampaknya tidak sedikit guru di tanah air yang telah lupa atau melupakan khittahnya sebagai pendidik. Dengan kata lain, banyak guru di era sekarang telah menodai tugas sucinya. Pasalnya, berbagai problem telah menjadikan paradigma para guru mengalami distorsi. Saat ini, banyak guru yang mau mendidik para muridnya karena berorientasi pada materi atau gaji. Bahkan, dengan adanya program sertifikasi guru dari pemerintah, para guru yang seharusnya bisa semakin fokus dengan tugas utamanya yakni mendidik, karena kesejahteraannya (gaji) menjadi semakin terjamin, namun realitanya justru itu semakin  “membutakan” mereka.
Terbukti, kekeliruan paradigma para guru termanifestasikan dalam praktek pungutan liar (pungli). Ironisnya, tugas mendidik seolah tergeser oleh tugas pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga, guru yang seharusnya menjadi seorang pendidik justru seolah kehadirannya di depan para muridnya tak ada bedanya dengan seorang pebisnis yang sedang mencari laba sebanyak-banyaknya. Jika demikian, maka kehadiran sekolah di tengah umat yang seharusnya menjadi lembaga pendidikan justru tidak ada bedanya dengan tempat transaksi jual-beli (pasar/ toko).
Masalahnya, dalam paradigma kebanyakan guru saat ini, hal yang terpenting baginya adalah memperoleh gaji yang banyak agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga, mereka tampak apatis terhadap perkembangan muridnya. Hal itu terlihat jelas di saat proses  pembelajaran sedang terjadi. Pasalnya, tidak sedikit para  guru yang cuek kepada perkembangan muridnya. Dalam prakteknya ketika di kelas, setelah menyampaikan materi, mereka kurang memperhatikan perkembangan muridnya. Sebab, bagi mereka, tanggung jawabnya hanya sebatas menyampaikan materi-materi yang sudah terbungkus dalam sistem kurikulum. Adapun perkembangan pengetahuan dan skill muridnya meerupakan tanggung jawab masing-masing.
Sebenarnya, paradigma demikian itu tidak keliru jika mereka dapat memposisikan pada tempatnya. Artinya, mereka boleh saja beranggapan seperti itu dengan alasan karena posisinya sebagai kepala keluarga atau tulang punggung keluarga, sehingga mereka harus berupaya dengan sekuat tenaga agar dapat mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan memperolehnya melalui profesi guru.
Namun, di sisi lain mereka harus menyadari dengan seutuhnya bahwa jika posisi mereka sebagai guru, maka mereka harus mampu melepaskan paradigma tersebut. Maka, ketika mereka sedang menjalankan tugasnya sebagai guru, paradigma yang seharusnya ditancapkan dalam benaknya ialah mereka harus mampu mencerdaskan semua muridnya. Dengan begitu, maka mereka akan melaksanakan tugas mendidiknya dengan segala jerih payah dan ikhlas,  dan terutama hanya mencari ridla-Nya. Sehingga, tugas mendidik tidak akan menjadi tugas kedua atau yang ke sekian setelah memperoleh gaji.
Akan tetapi, jika dalam kondisi apapun dan bagaimanapun mereka tetap mengedepankan paradigma bahwa mereka sebagai tulang punggung keluarga, itu artinya mereka telah dzalim, tidak hanya terhadap muridnya, namun juga kepada bangsa dan negara. Sebab, pada dasarnya tujuan peerintah mengadakan program sertifikasi dengan meningkatkan jumlah gaji para guru yakni  agar mereka dapat fokus mendidik muridnya. Dengan begitu, diharapkan guru dapat mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Maka, jika kita menjadi tulang punggung keluarga dan sekaligus menjadi seorang guru, maka pastikan kita tidak mencampuradukkan antara keduanya. Selain itu, kita juga harus mengingat satu hadist nabi “allim majjanan kama ‘ullimtum majjanan”, yang secara substansial memerintahkan agar para guru tidak berorientasi meminta upah atas profesinya kepada muridnya, karena pada dasarnya mereka memperoleh ilmu secara gratis.
Disamping itu, kini masyarakat semakin diresahkan oleh pelbagai perilaku negatif para guru. Pasalnya, guru yang seharusnya memberikan contoh terpuji kepada muridnya, justru mereka tidak hanya memberi contoh negatif, bahkan melakukan perilaku bejat terhadap muridnya. Kini sejumlah media massa menginformasikan banyaknya perilaku bejat (bulliying) mereka kepada para muridnya, seperti melakukan kekerasan, pelecehan, bahkan pemerkosaan. Sehingga kini citra guru di tengah masyarakat menjadi buruk karena ulah sebagian oknum guru yang tidak bertanggung jawab.
Oleh sebab itu, seorang guru harus menyadari dengan seutuhnya bahwa mereka merupakan termasuk wakil Allah, karena mereka melanjutkan tugas kenabian. Maka, guru harus mampu menjadi para “utusan Allah” di muka bumi ini dengan sebaik-baiknya. Untuk dapat menjadi “utusan Allah”, setidaknya mereka harus menjadi tauladan yang baik terutama di depan muridnya dengan mengamalkan sifat-sifat profetik, shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Sebab, segala sikap, perilaku, serta perkataan guru akan berpotensi ditiru oleh muridnnya. Hal ini selaras dengan ungkapan Jawa,  bahwa guru artinya “digugu lan ditiru”. Maka dari itu, Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, dosen FISIP UI, berkali-kali mengingatkan kepada paara guru agar mereka menjadi guru yang mencerdaskan umat, bukan menyesatkan.
Guru harus menyadari dan membuktikan bahwa mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Jangan sampai mereka menciderai slogan mulia tersebut, yakni slogan yang sering disuarakan oleh Ki Hajar Dewantara di republik ini. Jika mereka sampai melupakan tugas utamanya sebagai pendidik, maka jangan salahkan jika kelak negeri ini akan dinahkodai oleh pemimpin yang menyesatkan akibat ulah guru yang menyesatkan. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar