Menjadi Guru Sejati
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih Sampangan; Guru School of Tahfidz di
Monash Institute; Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Mendidik merupakan tugas suci seorang guru. Melalui proses
transformasi ilmu, guru berusaha dengan
sekuat tenaga agar wawasan serta pengetahuan para muridnya dapat terbuka. Karena
begitu mulianya (tidak bisa digantikan oleh apapun), konsekuensinya semua
pencari ilmu dituntut agar dapat menghormati para guru. Sebab, peran guru
sangat urgen dalam rangka mencerdaskan umat, sehingga menjadi kunci terwujudnya
kehidupann yang aman, damai, makmur, dan sejahtera. Maka, apabila balasan para
murid kepada guru justru ibarat air susu dibalas air tuba, maka jangan harap
ilmunya bisa manfaat.
Pada hakikatnya, mendidik merupakan tugas kenabian. Sebab, nabi
telah melakukannya baik secara langsung maupun tidak langsung, yakni mendidik
umatnya sehingga mereka dapat terentas dari jurang kebodohan. Terbukti, beliau
berhasil merevolusi kondisi umat manusia dalam kurun waktu relatif singkat
yakni 23 tahun yang sebelumnya tidak beradab menjadi beradab, sehingga terwujud
masyarakat yang cerdas baik secara intelektual, emosional, finansial, maupun
spiritual (baca: masyarakat madani). Hal itu sebagaimana dituturkan dalam QS.
Al-Baqoroh: 151 secara substansial menjelaskan bahwa Allah telah mengutus
rasul-Nya (Muhammad) untuk mencerdaskan umatnya dengan Al-Quran dan Al-Hadist.
Dengan kata lain, guru merupakan penerus para nabi. Sebab, mereka
melanjutkan tugas kenabian, yakni mendidik. Dalam hal ini, nabi Muhammad SAW.
telah menegaskan dalam salah satu hadistnya bahwa “para ulama’ merupakan
pewaris para nabi”. Jika kita cermati, maksud kata ulama’ pada hadist tersebut
bisa diinterpretasikan tidak hanya sebatas para tokoh agama/ kyai, namun lebih
dari itu. Kata ulama’ dalam konteks hadist tersebut bisa diartikan lebih luas
lagi dengan para ilmuan, cendekiawan, dan termasuk pendidik (guru atau dosen).
Namun, kini tampaknya tidak sedikit guru di tanah air yang telah
lupa atau melupakan khittahnya sebagai pendidik. Dengan kata lain, banyak guru
di era sekarang telah menodai tugas sucinya. Pasalnya, berbagai problem telah
menjadikan paradigma para guru mengalami distorsi. Saat ini, banyak guru yang
mau mendidik para muridnya karena berorientasi pada materi atau gaji. Bahkan,
dengan adanya program sertifikasi guru dari pemerintah, para guru yang seharusnya
bisa semakin fokus dengan tugas utamanya yakni mendidik, karena
kesejahteraannya (gaji) menjadi semakin terjamin, namun realitanya justru itu
semakin “membutakan” mereka.
Terbukti, kekeliruan paradigma para guru termanifestasikan dalam
praktek pungutan liar (pungli). Ironisnya, tugas mendidik seolah tergeser oleh
tugas pemenuhan kebutuhan keluarga. Sehingga, guru yang seharusnya menjadi
seorang pendidik justru seolah kehadirannya di depan para muridnya tak ada
bedanya dengan seorang pebisnis yang sedang mencari laba sebanyak-banyaknya. Jika
demikian, maka kehadiran sekolah di tengah umat yang seharusnya menjadi lembaga
pendidikan justru tidak ada bedanya dengan tempat transaksi jual-beli (pasar/
toko).
Masalahnya, dalam paradigma kebanyakan guru saat ini, hal yang
terpenting baginya adalah memperoleh gaji yang banyak agar dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya. Sehingga, mereka tampak apatis terhadap perkembangan
muridnya. Hal itu terlihat jelas di saat proses
pembelajaran sedang terjadi. Pasalnya, tidak sedikit para guru yang cuek kepada perkembangan muridnya.
Dalam prakteknya ketika di kelas, setelah menyampaikan materi, mereka kurang
memperhatikan perkembangan muridnya. Sebab, bagi mereka, tanggung jawabnya
hanya sebatas menyampaikan materi-materi yang sudah terbungkus dalam sistem
kurikulum. Adapun perkembangan pengetahuan dan skill muridnya meerupakan
tanggung jawab masing-masing.
Sebenarnya, paradigma demikian itu tidak keliru jika mereka dapat
memposisikan pada tempatnya. Artinya, mereka boleh saja beranggapan seperti itu
dengan alasan karena posisinya sebagai kepala keluarga atau tulang punggung
keluarga, sehingga mereka harus berupaya dengan sekuat tenaga agar dapat
mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan memperolehnya
melalui profesi guru.
Namun, di sisi lain mereka harus menyadari dengan seutuhnya bahwa
jika posisi mereka sebagai guru, maka mereka harus mampu melepaskan paradigma
tersebut. Maka, ketika mereka sedang menjalankan tugasnya sebagai guru,
paradigma yang seharusnya ditancapkan dalam benaknya ialah mereka harus mampu
mencerdaskan semua muridnya. Dengan begitu, maka mereka akan melaksanakan tugas
mendidiknya dengan segala jerih payah dan ikhlas, dan terutama hanya mencari ridla-Nya.
Sehingga, tugas mendidik tidak akan menjadi tugas kedua atau yang ke sekian
setelah memperoleh gaji.
Akan tetapi, jika dalam kondisi apapun dan bagaimanapun mereka
tetap mengedepankan paradigma bahwa mereka sebagai tulang punggung keluarga,
itu artinya mereka telah dzalim, tidak hanya terhadap muridnya, namun
juga kepada bangsa dan negara. Sebab, pada dasarnya tujuan peerintah mengadakan
program sertifikasi dengan meningkatkan jumlah gaji para guru yakni agar mereka dapat fokus mendidik muridnya.
Dengan begitu, diharapkan guru dapat mencerdaskan generasi penerus bangsa.
Maka, jika kita menjadi tulang punggung keluarga dan sekaligus
menjadi seorang guru, maka pastikan kita tidak mencampuradukkan antara
keduanya. Selain itu, kita juga harus mengingat satu hadist nabi “allim
majjanan kama ‘ullimtum majjanan”, yang secara substansial memerintahkan
agar para guru tidak berorientasi meminta upah atas profesinya kepada muridnya,
karena pada dasarnya mereka memperoleh ilmu secara gratis.
Disamping itu, kini masyarakat semakin diresahkan oleh pelbagai
perilaku negatif para guru. Pasalnya, guru yang seharusnya memberikan contoh
terpuji kepada muridnya, justru mereka tidak hanya memberi contoh negatif,
bahkan melakukan perilaku bejat terhadap muridnya. Kini sejumlah media massa
menginformasikan banyaknya perilaku bejat (bulliying) mereka kepada para
muridnya, seperti melakukan kekerasan, pelecehan, bahkan pemerkosaan. Sehingga
kini citra guru di tengah masyarakat menjadi buruk karena ulah sebagian oknum
guru yang tidak bertanggung jawab.
Oleh sebab itu, seorang guru harus menyadari dengan seutuhnya bahwa
mereka merupakan termasuk wakil Allah, karena mereka melanjutkan tugas
kenabian. Maka, guru harus mampu menjadi para “utusan Allah” di muka bumi ini
dengan sebaik-baiknya. Untuk dapat menjadi “utusan Allah”, setidaknya mereka
harus menjadi tauladan yang baik terutama di depan muridnya dengan mengamalkan
sifat-sifat profetik, shidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh
(menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Sebab, segala sikap, perilaku,
serta perkataan guru akan berpotensi ditiru oleh muridnnya. Hal ini selaras
dengan ungkapan Jawa, bahwa guru artinya
“digugu lan ditiru”. Maka dari itu, Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, dosen
FISIP UI, berkali-kali mengingatkan kepada paara guru agar mereka menjadi guru
yang mencerdaskan umat, bukan menyesatkan.
Guru harus menyadari dan membuktikan bahwa mereka adalah pahlawan
tanpa tanda jasa. Jangan sampai mereka menciderai slogan mulia tersebut, yakni
slogan yang sering disuarakan oleh Ki Hajar Dewantara di republik ini. Jika
mereka sampai melupakan tugas utamanya sebagai pendidik, maka jangan salahkan
jika kelak negeri ini akan dinahkodai oleh pemimpin yang menyesatkan akibat
ulah guru yang menyesatkan. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar