Sabtu, 16 Mei 2015

Mewujudkan Negeri Berdikari (Jateng Ekspres: 27 April 2015)



Mewujudkan Negeri Berdikari

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang

Selama ini, sesungguhnya nasib bangsa Indonesia berada dalam kondisi ‘terombang-ambing’ oleh bangsa lain. Pasalnya, ketika bangsa lain mengusulkan suatu kebijakan, pemerintah Indonesia cenderung mengamininya. Padahal, kebijakan tersebut sungguh bersifat politis. Artinya, kebijakan tersebut lebih menguntungkan pihak asing dari pada rakyat. Sehingga, hakikatnya bangsa Indonesia seolah banyak memiliki nilai plus berupa hubungan pesahabatan dengan bangsa-bangsa lain yang tergolong maju, namun justru sebenarnya telah merugikan rakyat.
Sebab, melalui kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pihak asing, faktanya beragam kekayaan berkualitas Indonesia telah ‘dirampok’ secara legal oleh bangsa asing. Parahnya, fenomena itu meskipun telah disadari oleh pemerintah kita, namun mereka seakan tidak memiliki nyali untuk ‘mengusir’ bangsa asing. Terbukti, pemerintah belum berani ‘merebut kembali’ berbagai kekayaan alam Indonesia yang telah dikuasai oleh asing secara legal sejak zaman sebelum rezim Jokowi.
Ya, banyak sekali kekayaan bangsa Indonesia yang seharusnya bisa dinikmati rakyat Indonesia, namun justru bangsa asing yang menjadi penikmatnya. Terbukti, sejumlah sumber pertambangan berkualitas termasuk minyak bumi di beberapa wilayah strategis Indonesia telah dikuasai bangsa asing. Sebut saja PT. Exon Mobil di Cepu, Blora, PT. Natuna, PT. Free Port, dan masih banyak lagi.
Semua itu kini telah didominasi oleh bangsa asing. Ironisnya, pemerintah Indonesia yang menyepakati perjanjian tersebut dengan bangsa asing hanya memperoleh sebagian kecil dari hasil pengolahan pertambangan itu. Mirisnya, hampir tidak ada rakyat Indonesia yang bisa menikmati kekayaan alamnya sendiri.
Disadari atau tidak, sesungghnya penyebab terjadinya itu semua ialah karena bangsa Indonesia belum mampu menjadi negeri berdikari (berdiri di kaki sendiri). Pasalnya, Indonesia telah mengimpor berbagai bahan kebutuhan sehari-hari. Payahnya, untuk memenuhi makanan pokok pun seperti beras harus impor. Fenomena ini tentu membahayakan eksistensi bangsa Indonesia ke depan. Sebab, Indonesia sejah ini terlalu banyak bergantung pada bangsa lain. Maka, ini menjadi pertanda ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa lain yang harus diatasi.
Jika ini dibiarkan berlanjut, tentu rakyat Indonesia hanya akan menjadi penonton ‘keberhasilan’ bangsa asing. Implikasi lainnya, Indonesia tidak akan bisa mengatur urusan negaranya sendiri secara leluasa. Artinya, hampir selurh kebijakan pemerintah seolah ‘disetir’ asing. Dalam kondisi demikian, Indonesia bisa dikatakan sangat lemah. Berbagai intervensi asing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam negeri pun akan menjadi sangat kuat.
Asumsinya, apabila Indonesia menolak usulan bangsa asing -yang kita jadikan objek bergantung berbagai kebutuhan- kemungkinan besar Indonesia akan takut diancam. Sebab, Indonesia masih harus membutuhkan bantuan bangsa asing, terutama impor sejumlah bahan kebutuhan sehari-hari. Indikatornya, saat ini bangsa Indonesia belum berani membebaskan diri dari belenggu kekuasaan bangsa asing atas berbagai kekayaan berkualitas di seantoro negeri ini.
Padahal idealnya, dengan berbagai macam kekayaan kita yang melimpah, Indonesia mampu menjadi bangsa yang unggul, maju, dan berdikari, sehingga layak tampil di garis terdepan sebagai bangsa yang kuat dan kaya. Namun, fakta membuktikan sebaliknya. Justru di balik kondisi bangsa Indonesia dengan beragam kekayaannya (gemah ripah loh jinawe), angka kemiskinan tinggi, pengangguran dan PHK meningkat, korupsi merajalela, sehingga kriminalitas pun ikut membabi buta.
Menilik permasalahan itu, maka bangsa Indonesia harus segera bersatu bersama-sama bersaha sekuat tenaga untuk melepas belenggu ‘penjajahan’ dari bangsa asing. Dalam konteks ini, Dr. Mohammad Nasih telah menawarkan beberapa solusi konkrit supaya kita mampu bersaing dengan bangsa lain, yakni dengan menjadi negeri berdikari. Dn itu harus dilakukan dengan keras dan konsisten secara berjamaah jika memang kita bertekad ingin mengubah nasib  ini (QS. Al-Ro’du: 11).
Adapun langkah yang harus dilakukan oleh semua pihak terdiri dari pengoptimalisasian dua aspek utama, yakni Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sumber Daya Alam (SDA). Pengotimalan SDM harus didahulukan dari pada SDA. Sebab, SDA dapat dioptimalkan dari SDM yang bermutu. Apabila Indonesia memiliki SDM berkualitas, tidak mustahil SDA di sekitar kita akan teroptimalkan pula dengan baik. Begitu pun sebaliknya.
Adapun untuk dapat mengoptimalkan SDM dengan maksimal, seluruh pihak baik pemerintah maupun rakyat harus bersinergi melakukan beberapa langkah utama. Pertama, pemerintah membuat kebijakan wajib belajar 16 tahun. Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan aspek paling urgen untuk memajukan suatu bangsa, tak terkecuali Indonesia. Dengan mewajibkan belajar 16 tahun, diharapkan rakyat Indonesia menjadi insan berkompeten di masing-masing bidangnya.
Kedua, pemerintah harus memberikan penghargaan khusus kepada rakyat Indonesia yang berprestasi dan mendukungnya hingga prestasinya berupa hasil suatu karya inovasjinya bisa menjadi bermanfaat bagi siapapun dan mampu bersaing di kancah Internasional. Hal yang harus diketahui bersama bahwa selama ini salah satu faktor penghambat kemajuan Indonesia yaitu ketika ada anak bangsa yang berhasil menciptakan suatu karya inovatif, tidak ada penghargaan yang begitu signifikan dari pemerintah dan tidak ditindaklanjuti. Seolah pemerintah menutup mata terhadapnya. Sehingga, karya tersebut tidak bisa bermanfaat bagi khalayak umum.
Sedangkan untuk mengoptimalkan SDA di sekitar, ada beberapa langkah yang harus ditempuh bersama. Pertama, rakyat harus mandiri berusaha keras sesuai bidang masing-masing dengan mengolah dan membudidayakan berbagai macam SDA di sekitarnya agar bisa dimanfaatkan dengan baik.
Kedua, pemerintah harus berani menopang warga dalam upaya pengolahan dan budidaya SDA dengan menyediakan teknologi-teknologi modern yang canggih. Sehingga, rakyat bisa menghasilkan usaha pengolahan dan budidaya dengan lebih maksimal karena didukung dengan peralatan yang canggih dan representatif. Misal, pemerintah menyediakan alat pembajak sawah modern dan pupuk berkualitas bagi para petani. Dengan begitu, maka mereka akan bisa menuai hasil melimpah, lebih berkualitas, dan relatif singkat. Sehingga, waktunya bisa dimanfaatkan untuk melakukan pekerjaan lain yang signifikan. Disamping itu, kita harus yakin jika kita lakukan upaya-upaya itu dengan total, maka kita akan berhasil mengubah nasib kita. Sebagaimana nabi berpesan melalui hadistnya “Man jadda wa jada”, barang siapa bersungguh-sungguh, maka dia akan sukses menuai hasilnya.
Semoga, semua langkah tersebut bisa direalisasikan di pemerintahan Jokowi. Dengan begitu, maka kita akan menjadi bangsa yang berdikari dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Wallahu a’lam bimurodihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar