Tumpas ‘Begal Sistemik’
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, maraknya aksi begal semakin meresahkan masyarakat
di Indonesia. Bahayanya, aksi pembegalan kini tidak hanya marak di perkotaan
besar, bahkan di pedesaan juga seperti yang terjadi di Demak (Jateng Pos,
9/03/2015). Puncaknya, terjadi pembakaran hidup-hidup pelaku begal di pinggiran
jalan Jakarta oleh masyarakat. Peristiwa itu terjadi karena masyarakat merasa
geram terhadap ‘gerakan’ para begal yang kian hari makin membuat masyarakat
was-was. Sehingga, keamanan masyarakat khususnya bagi kaum hawa selalu terancam
oleh aksi begal yang bisa ‘menyerang’ sewaktu-waktu, terutama pada waktu malam
hari.
Tentu kita sadari bersama, bahwa pembakaran pelaku begal secara
hidup-hidup itu merupakan tindakan melanggar hukum dan tidak manusiawi
mengingat republik ini merupakan negara hukum, sebagaimana dijelaskan dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 1 ayat 3. Seolah negara ini menganut hukum
rimba yang tanpa memiliki aturan atau norma hukum. Padahal, negara Indonesia
memiliki konstitusi dan perangkat penegak hukum yang berfungsi untuk mengatur
tatanan kehidupan waarga Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
agar terwujud kehidupan yang aman, damai, permai, dan sejahtera.
Namun, semua itu seakan dinafikan. Apabila kita mau meneropong
masalah itu lebih dalam, sesungguhnya penafian itu dilatarbelakangi kekecewaan
besar masyarakat terhadap ‘perilaku busuk’ para elit (baca: korupsi). Perlu
diketahui, para pejabat koruptor sebenarnya merupakan bentuk lain begal. Sebab,
secara etimologi arti begal ialah menyamun atau mengambil barang milik orang.
Dan aksi begal secara umum dilakukan secara berkelompok, sebagaimana saat ini
para elit melakukan aksi korupsi secara bersama-sama.
Artinya, ‘begal’ dari kaum elit justru lebih berbahaya dan buas
dari pada begal di jalan. Sebab, Jeffry Winters berpendapat bahwa oligarki
kekuasaan yang tidak taat hukum merupakan penyebab perilaku koruptif. Sehingga,
para kaum elit yang egois berpeluang merampok uang negara melalui posisi
strategis di pemerintahan yang tidak tampak secara langsung sebagai pembegal.
Dalam hal ini, Dr. Mohammd Nasih al-Hafidz, dosen FISIP UI,
menyebutnya dengan begal negara. Beliau menegaskan bahwa salah satu faktor
penyebab sulitnya memberantas ‘begal negara’ ialah semakin banyaknya jumlah
individu maupun kelompok yang mengikuti jejak mereka karena ‘imannya’ tidak
kuat, sehingga mereka terlibat di dalamnya. Bahkan, sebagian orang yang pada
mulanya sesunggunya ingin ‘menumpas’ para pembegal negara, justru mereka ikut
terlibat dalam aksi tersebut, yakni korupsi. Maka tak heran jika kini korupsi
seakan menjadi ‘budaya’ besar bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan kerjasama dari semua pihak baik
pemerintah maupun masayrakat untuk menumpas begal yang terselubung di
pemerintahan secara sistemik. Jika pemerintah (para pejabat dan penegak hukum)
gagal melaksanakan tugasnya dalam menumpas para ‘begal’ pemerintah, maka jangan
salahkan rakyat jika mereka akan memberlakukan ‘hukum rimba’ di negara hukum
ini, karena lunturnya kepercayaan mereka kepada pemerintah.
Salah satu caranya, jangan sampai orang baik (kaum yang merasa
masih memiliki idealitas tinggi) ‘lari’ dari kancah perpolitikan. Justru dengan
begitu, maka akan semakin membuka lebar pintu para pembegal negara untuk
merampok uang negara secara leluasa. Maka dari itu, kaum idealis harus berperan
aktif dalam konstelasi politik, terutama menjelang berlangsungnya pilihan
kepala daerah (Pilkada) 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar