Idul Adha dan Pemimpin “Berkurban”
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Pengajar di Monash Institute; Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi
IAIN Walisongo Semarang
Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah 1435 H/5 Oktober
2014 M umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia akan merayakan Hari
Raya Idul Adha. Nama lainnya yaitu Idul Qurban. Penamaan tersebut sebenarnya
mengandung makna yang cukup mendalam. Sebab, itu mengandung filosofi dan
sejarah yang sangat bermakna khususnya bagi umat islam. Yaitu momentum sakral yang
dirayakan oleh umat islam setiap tahunnya.
Sejarah singkatnya yaitu dahulu ketika Nabi Ibrahim as. bermimpi
hingga tiga kali diperintah oleh Allah SWT. untuk menyembelih putranya bernama
Ismail. Sebenarnya beliau tidak tega dan tidak rela melakukan hal itu. Tapi,
karena itu merupakan perintah dari sang Ilahi, sebagai hamba-Nya yang sholeh
dan patuh maka dilaksanakanlah perintah itu. Namun, ketika beliau hendak
mencoba menggorok leher sang putra tercinta Ismail beberapa kali, parang yang
sudah diasahnya hingga sangat tajam tetap tidak bisa menggores kulit leher
Ismail sedikitpun. Selanjutnya, Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk
menggantikan Ismail dengan seekor domba kibas. Akhirnya, Nabi Ibrahim berhasil
menggoroknya. Dan momentum tersebut terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Sehingga umat Islam hingga saat ini selalu merayakannya di setiap tanggal itu
dalam rangka mengenangnya dan menjadikan pelajaran. Maka dari itu, muncullah
istilah Idul Adha atau Idul Qurban.
Ketika membahas tentang Idul
Qurban, maka sangat tepat bila dikaitkan dengan kata berkurban. “Berkurban”
menjadi sebuah kata yang tepat dan relevan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa
Indonesia saat ini. Artinya, Jokowi harus mau “berkurban” untuk rakyat
Indonesia. “Berkurban” dalam konteks ini maksudnya ialah dia harus menggunakan
seluruh jiwa, raga, tahta, dan harta bendanya untuk mengurus umat. Dengan kata
lain, Jokowi sedang dalam kondisi berjihad memperjuangkan amanah rakyat. Dalam
Al-Qur’an Surat Al-Taubah: 20, Allah telah memerintahkan umatnya supaya berjihad
tidak hanya dengan menggunakan fikiran, kekuatan, namun juga dengan harta benda.
Peter Block (Penulis Buku Stewardship)
mengatakan pelayanan timbul jika seseorang berkomitmen pada sesuatu di luar
dirinya. Block telah menemukan bahwa rasa pelayanan adalah unsur utama dalam
proses kepemimpinan.
Jadi, ketika berjihad tidak cukup hanya dengan menyumbangkan ide atau
gagasan dan menggunakan kekuatan serta tenaganya untuk memperjuangkan kebenaran,
akan tetapi juga harus berani mempertaruhkan harta bendanya, bahkan tahta atau
kekuasaannya jika diperlukan. Sebab, bila seseorang hanya berjihad dengan
menggunakan akal pikirannya serta tenaganya saja, maka itu akan sulit untuk
membuat perubahan suatu bangsa supaya menjadi lebih baik. Ibarat menegakkan
tali yang basah, alias sia-sia belaka. Ini sebagaimana yang telah dilakukan
kaum muhajirin ketika mereka berjihad demi mempertahankan keteguhan
keimanannya. Mereka harus meninggalkan seluruh harta bendanya di Makah karena
harus segera berhijrah ke Madinah untuk menyelamatkan jiwanya dari belenggu
kaum kafir quraisy yang selalu mengejar mau membunuh mereka.
Ada pepatah kuno Belanda berbunyi “Leiden is Lijen”. Artinya
adalah memimpin itu menderita. Pepatah ini sangat releven dan berkaitan bila
dikontekskan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, yaitu antara momentum
Hari Raya Idul Fitri dan terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden ke
tujuh Indonesia. Maka, Jokowi harus bisa menjadi sosok pemimpin yang mau
“berkurban” demi kesejahteraan rakyat.
Sebenarnya, ada banyak pemimpin yang bisa dijadikan contoh dalam
hal pemimpin yang mau berkorban demi kepentingan umat. Diantaranya Nabi Musa as.,
Ibrahim as., Muhammad SAW., Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Tan Malaka. Bahkan,
para founding father kita rela sering masuk penjara pada masa penjajahan
Belanda karena mereka selalu bersikeras melawan para penjajah demi merebut
kemerdekaan bangsa. Dalam kehidupannya, mereka lebih memprioritaskan
kepentingan umat di atas kepentingan pibadi walaupun harus menderita. Sehingga,
setiap kali yang dilakukannya beorientasi untuk kesejahteraan umat. Hingga
untuk bisa memperoleh itu dengan
puncaknya berupa kemerdekaan, mereka tidak mempedulikan nasib dirinya
ketika harus lebih sering mengalami kondisi yang mengerikan, membahayakan, dan
melelahkan. Itu semata-mata dilakukannya untuk berkorban demi kesejahteraan
umat.
Maka, Jokowi harus bisa menjadikan itu semua sebagai tauladan dan
bekal untuk memimpin rakyat Indonesia ke depan secara total tanpa unsur pamrih
sedikitpun, apalagi menghitung keuntungan dan kerugian dalam melakukan seiap
tindakannya. Apabila dia memimpin hanya setengah hati, implikasinya adalah kualitas
ide, realisasi visi dan misinya ketika kampanye, serta seluruh kinerjanya tidak
akan terealisasikan maksimal dan optimal. Jika demikian, itu artinya Jokowi
telah disorientasi. Secara otomatis, dia telah mengingkari janji-janjinya
ketika berkampanye. Padahal, sebagaimana hadist nabi bahwa perilaku ingkar
janji merupakan salah satu tanda-tanda orang munafik. Balasan orang munafik kelak di akhirat adalah di neraka.
Jika dia tidak ingin masuk neraka, maka
dia harus konsisten dan segera merealisasikan semua janjinya untuk keseahteraan
rakyat.
Untuk layak disebut sebagai pemimpin yang berkorban, setidaknya
Jokowi mau dan mampu melaksanakan
beberapa langkah berikut. Pertama, berani dan bisa berfikir besar,
cerdas, kreatif, profesional, futuristik, dan bijaksana. Kedua, dengan
berdasarkan hadist nabi tentang kewajiban pemenuhan janji dan setiap hari harus
melakukan hal konstruktif, bersama dengan aparatur dan pejabat negara Jokowi
harus berupaya mau dan mampu merealisasikan semua janjinya dengan penuh rasa
ikhlas, optimal, serta maksimal. Ketiga, Jokowi bersama dengan para
pejabat negara harus hidup asketis, serta rela menggunakan harta bendanya demi
kemaslahatan umat. Apabila semua itu dilakukannya, maka tidak akan mustahil
kemiskinan, PHK, pengangguran, dan kriminalitas di negeri tercinta ini akan
berkurang atau bahkan hilang dari peredaran, alias rakyatnya sejahtera.
Semoga momentum Idul Adha besok bisa menjadi momentum perbaikan
bangsa ini melalui Jokowi, yaitu mau dan mampu menjadi pemimpin yang
mengorbankan seluruh jiwa, raga, tahta, dan hartanya demi kesejahteraan rakyat,
sehingga terwujud masyarakat adil, makmur, aman, sejahtera, dan bermartabat
yang diridloi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar