Jumat, 15 Mei 2015

Idul Adha dan Pemimpin 'Berkurban' (Koran Bhirawa: 2 Oktober 2014)

http://harianbhirawa.co.id/tag/idul-adha-dan-pemimpin-berkurban/



Idul Adha dan Pemimpin “Berkurban”

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Pengajar di Monash Institute; Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang

Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 10 Dzulhijjah 1435 H/5 Oktober 2014 M umat Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia akan merayakan Hari Raya Idul Adha. Nama lainnya yaitu Idul Qurban. Penamaan tersebut sebenarnya mengandung makna yang cukup mendalam. Sebab, itu mengandung filosofi dan sejarah yang sangat bermakna khususnya bagi umat islam. Yaitu momentum sakral yang dirayakan oleh umat islam setiap tahunnya.
Sejarah singkatnya yaitu dahulu ketika Nabi Ibrahim as. bermimpi hingga tiga kali diperintah oleh Allah SWT. untuk menyembelih putranya bernama Ismail. Sebenarnya beliau tidak tega dan tidak rela melakukan hal itu. Tapi, karena itu merupakan perintah dari sang Ilahi, sebagai hamba-Nya yang sholeh dan patuh maka dilaksanakanlah perintah itu. Namun, ketika beliau hendak mencoba menggorok leher sang putra tercinta Ismail beberapa kali, parang yang sudah diasahnya hingga sangat tajam tetap tidak bisa menggores kulit leher Ismail sedikitpun. Selanjutnya, Allah memerintahkan malaikat Jibril untuk menggantikan Ismail dengan seekor domba kibas. Akhirnya, Nabi Ibrahim berhasil menggoroknya. Dan momentum tersebut terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah. Sehingga umat Islam hingga saat ini selalu merayakannya di setiap tanggal itu dalam rangka mengenangnya dan menjadikan pelajaran. Maka dari itu, muncullah istilah Idul Adha atau Idul Qurban.
 Ketika membahas tentang Idul Qurban, maka sangat tepat bila dikaitkan dengan kata berkurban. “Berkurban” menjadi sebuah kata yang tepat dan relevan jika dikaitkan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Artinya, Jokowi harus mau “berkurban” untuk rakyat Indonesia. “Berkurban” dalam konteks ini maksudnya ialah dia harus menggunakan seluruh jiwa, raga, tahta, dan harta bendanya untuk mengurus umat. Dengan kata lain, Jokowi sedang dalam kondisi berjihad memperjuangkan amanah rakyat. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Taubah: 20, Allah telah memerintahkan umatnya supaya berjihad tidak hanya dengan menggunakan fikiran, kekuatan, namun juga dengan harta benda. Peter Block (Penulis Buku Stewardship) mengatakan pelayanan timbul jika seseorang berkomitmen pada sesuatu di luar dirinya. Block telah menemukan bahwa rasa pelayanan adalah unsur utama dalam proses kepemimpinan.
Jadi, ketika berjihad tidak cukup hanya dengan menyumbangkan ide atau gagasan dan menggunakan kekuatan serta tenaganya untuk memperjuangkan kebenaran, akan tetapi juga harus berani mempertaruhkan harta bendanya, bahkan tahta atau kekuasaannya jika diperlukan. Sebab, bila seseorang hanya berjihad dengan menggunakan akal pikirannya serta tenaganya saja, maka itu akan sulit untuk membuat perubahan suatu bangsa supaya menjadi lebih baik. Ibarat menegakkan tali yang basah, alias sia-sia belaka. Ini sebagaimana yang telah dilakukan kaum muhajirin ketika mereka berjihad demi mempertahankan keteguhan keimanannya. Mereka harus meninggalkan seluruh harta bendanya di Makah karena harus segera berhijrah ke Madinah untuk menyelamatkan jiwanya dari belenggu kaum kafir quraisy yang selalu mengejar mau membunuh mereka.
Ada pepatah kuno Belanda berbunyi “Leiden is Lijen”. Artinya adalah memimpin itu menderita. Pepatah ini sangat releven dan berkaitan bila dikontekskan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, yaitu antara momentum Hari Raya Idul Fitri dan terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai Presiden ke tujuh Indonesia. Maka, Jokowi harus bisa menjadi sosok pemimpin yang mau “berkurban” demi kesejahteraan rakyat.
Sebenarnya, ada banyak pemimpin yang bisa dijadikan contoh dalam hal pemimpin yang mau berkorban demi kepentingan umat. Diantaranya Nabi Musa as., Ibrahim as., Muhammad SAW., Ir. Soekarno, Bung Hatta, dan Tan Malaka. Bahkan, para founding father kita rela sering masuk penjara pada masa penjajahan Belanda karena mereka selalu bersikeras melawan para penjajah demi merebut kemerdekaan bangsa. Dalam kehidupannya, mereka lebih memprioritaskan kepentingan umat di atas kepentingan pibadi walaupun harus menderita. Sehingga, setiap kali yang dilakukannya beorientasi untuk kesejahteraan umat. Hingga untuk bisa memperoleh itu dengan  puncaknya berupa kemerdekaan, mereka tidak mempedulikan nasib dirinya ketika harus lebih sering mengalami kondisi yang mengerikan, membahayakan, dan melelahkan. Itu semata-mata dilakukannya untuk berkorban demi kesejahteraan umat.
Maka, Jokowi harus bisa menjadikan itu semua sebagai tauladan dan bekal untuk memimpin rakyat Indonesia ke depan secara total tanpa unsur pamrih sedikitpun, apalagi menghitung keuntungan dan kerugian dalam melakukan seiap tindakannya. Apabila dia memimpin hanya setengah hati, implikasinya adalah kualitas ide, realisasi visi dan misinya ketika kampanye, serta seluruh kinerjanya tidak akan terealisasikan maksimal dan optimal. Jika demikian, itu artinya Jokowi telah disorientasi. Secara otomatis, dia telah mengingkari janji-janjinya ketika berkampanye. Padahal, sebagaimana hadist nabi bahwa perilaku ingkar janji merupakan salah satu tanda-tanda orang munafik. Balasan orang  munafik kelak di akhirat adalah di neraka. Jika dia tidak ingin masuk  neraka, maka dia harus konsisten dan segera merealisasikan semua janjinya untuk keseahteraan rakyat.
Untuk layak disebut sebagai pemimpin yang berkorban, setidaknya Jokowi mau dan mampu  melaksanakan beberapa langkah berikut. Pertama, berani dan bisa berfikir besar, cerdas, kreatif, profesional, futuristik, dan bijaksana. Kedua, dengan berdasarkan hadist nabi tentang kewajiban pemenuhan janji dan setiap hari harus melakukan hal konstruktif, bersama dengan aparatur dan pejabat negara Jokowi harus berupaya mau dan mampu merealisasikan semua janjinya dengan penuh rasa ikhlas, optimal, serta maksimal. Ketiga, Jokowi bersama dengan para pejabat negara harus hidup asketis, serta rela menggunakan harta bendanya demi kemaslahatan umat. Apabila semua itu dilakukannya, maka tidak akan mustahil kemiskinan, PHK, pengangguran, dan kriminalitas di negeri tercinta ini akan berkurang atau bahkan hilang dari peredaran, alias rakyatnya sejahtera.
Semoga momentum Idul Adha besok bisa menjadi momentum perbaikan bangsa ini melalui Jokowi, yaitu mau dan mampu menjadi pemimpin yang mengorbankan seluruh jiwa, raga, tahta, dan hartanya demi kesejahteraan rakyat, sehingga terwujud masyarakat adil, makmur, aman, sejahtera, dan bermartabat yang diridloi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar