Mewujudkan Sekolah Humanis
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih, Pendidik di Rumah Perkaderan Monash
Institute, Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Sampai kapan pun dan dimana pun, pendidikan tetap menjadi aspek
yang sangat penting dalam menentukan arah nasib masa depan suatu bangsa, tak
tekecuali Indonesia. Saking urgennya, pendidikan ibarat pondasi utama suatu
bangunan. Jika pondasi itu rapuh, bangunan pun akan runtuh. Artinya, jika
pendidikan suatu bangsa tidak berkualitas, maka bangsa itu akan segera ‘hancur.
‘Sunnah’ ini berlaku juga bagi bangsa Indonesia.
Dengan kata lain, pendidikan merupakan pintu gerbang utama untuk dapat
mewujudkan kesejahteraan umat. Dalam hal ini, hingga Dr. Mohammad Nasih
al-Hafizh, dosen FISIP UI, menegaskan bahwa jika suatu negara ingin segera
maju, maka ia (negara) harus memprioritaskan aspek pendidikan dari pada aspek
lainnya. Maka, jika Indonesia segera ingin menjadi negara maju, bangsa ini harus
benar-benar memperhatikan seluruh komponen aspek pendidikan, mulai dari
kurikulum, sistem pendidikan, kualitas guru, kuantitas guru, persebaran guru,
dan komponen lainnya.
Namun, sayangnya kini wajah pendidikan di Indonesia tampak seolah
‘mengerikan’, terutama bagi siswa. Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi
tempat yang nyaman dan aman bagi siswa, kini telah ‘berubah’ menjadi tempat
yang menjadikan para orang tua dan para siswa sendiri merasa was-was. Pasalnya,
akhir-akhir ini banyak media sosial memberitakan tentang terjadinya berbagai
kekerasan di lingkungan sekolah, baik berupa kekerasan fisik, pelecehan, maupun
kekerasan seksual yang semuanya itu dilakukan oleh guru sendiri atau teman
sejawatnya.
Bahayanya, mayoritas sasarannya adalah kaum siswa. Implikasinya,
fenomena ini telah memperkeruh wajah pendidikan di negeri ini. Sehingga, fungsi
dan tujuan pendidikan pun sebagaimana tertuang dalam berbagai dasar pendidikan
salah satunya di Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pnedidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 3 akan gagal total. Dalam UU tersebut telah
jelas menyebutkan, pendidikan berfungsi untuk membentuk watak serta peradaban
yang beradab. Tentunya diharapkan manifestasi dari UU tersebut ialah untuk
membentuk masyarakat Indonesia yang madani. Akan tetapi, jika sebagian
penyelenggara pendidikan justru bertindak ‘kejahatan’ kepada para siswa, itu artinya
pendidikan telah disfungsi.
Padahal, para orang tua telah berani ‘menitipkan’ anak-anaknya di sekolah
karena mereka percaya dan yakin bahwa melalui lembaga itu anak-anak mereka bisa
tercetak menjadi generasi cerdas dan bermartabat, setidaknya sebagaimana fungsi
dan tujuan pendidikan dalam UU tersebut. Dan yang terpenting, keamanan serta
keselamatan anak-anaknya terjamin dengan baik, sehingga para orang tua merasa
tenang anak-anaknya belajar di sekolah. Sebab, harapan orang tua, sekolah bisa
menjadi rumah kedua bagi anak-anaknya.
Selain itu, banyak siswa menjadi malas belajar, bahkan bersekolah
hanya karena perilaku gurunya tampak ‘menyeramkan’ ketika mengajar di kelas. Kasus
ini ternyata tidak hanya terjadi di satu sekolah, tapi di banyak sekolah.
Pasalnya, banyak guru ketika mengajar yang sebenarnya ingin menerapkan nilai kedisplinan
namun ‘over’. Mungkin karena merasa jengkel terutama kepada siswa yang bandel
dan nakal, akhirnya mereka kurang bisa mengontrol ego dan emosinya di
depan siswa. Akibatnya, banyak siswa menjadi ‘takut’ kepada gurunya. Alhasil,
fungsi guru pun gagal karena ilmunya terhambat untuk ditransformasikan kepada
siswa.
Dalam kasus lain, banyak siswa malas belajar atau bersekolah karena
merasa bosan dengan gurunya. Dalam konteks ini, ternyata kebosanannya dikarenakan metode atau pola
pengajaran yang disampaikan oleh
gurunya tidak ‘sreg’ bagi mereka.
Sehingga, terkadang sebagian siswa memprotes
metode guru, namun sayangnya sang guru kurang bisa memahami dengan baik
maksud yang disampaikan oleh sang siswa. Akhirnya, tujuan pendidikan lagi-lagi
gagal terlaksana.
Jika fakta di lapangan demikian, maka tidak sedikit orang tua akan
kehilangan kepercayaan kepada sekolah. Hal ini tentu akan memunculkan sejumlah
masalah baru. Di antaranya, fenomena itu menjadi dilema bagi para orang tua. Sebab, jika anaknya disekolahkan,
nasib atau masa depan anak bahkan
nyawanya bisa terancam. Namun, jika mereka tidak menyelkolahkannya, sang anak
pun akan terhambat untuk dapat mengembagkan potensi kecerdasan serta skillnya.
Sementara dampak bagi sekolah, sekolah akan semakin kehabisan
siswa. Padahal, salah satu faktor untuk memperkuat eksistensi sekolah ialah
jumlah siswa yang banyak. Dengan jumlah siswa yang semakin banyak, maka sekolah
itu pun akan semakin jaya. Begitu pun sebaliknya. Terbukti, banyak sekolah
tutup karena kekurangan siswa. Maka, jika problematika itu tidak segera
diatasi, implikasinya perkembangan sera kemajuan bangsa ini tentu akan
terhambat.
Oleh sebab itu, dibutuhkan win solution untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Pertama, seluruh penyelenggara pendidikan (baik para guru,
kepala sekolah, maupun seluruh pegawai di sekolah) harus benar-benar mampu menjaga
imannya. Sehingga, mereka mampu tampil
di depan siswa sebagai orang tua keduanya. Disamping itu, mereka juga harus
mampu mengontrol, mengatur, serta mengawasi para siswa agar tidak bertindak
negatif, apalagi berbau asusila.
Kedua, para siswa harus tunduk dan patuh kepada seluruh aturan di
sekolah apabila itu memang positif dan konstruktif demi perkembangan dan
peningkatan kecerdasan serta skillnya, terlebih kepada gurunya agar tidak memancing emosi
guru. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab Talim al-Muta’allim.
Ketiga, para guru harus mau dan mamp tampil menjadi sosok pendidik
yang profesional, bersahaja, terampil, kreati, dan inovatif di depan siswa.
Dalam hal ini, guru harus mampu melaksanakan tugasnya sebagaimana dijelaskan
dalam QS. Al-Baqarah: 151. Selain itu, mereka juga harus mau dan mampu tampil
menjadi sosok pendidik profetik, yakni dengan meneladani sifat-sifat mulia nabi
Muhammad.
Dengan merealisasikan itu semua, diharapkan para siswa dapat merasa
nyaman dan aman untuk menikmati proses belajar di sekolah. Disamping itu, para
orang tua juga tidak akan merasa was-was terhadap kondisi anak-anaknya d
sekolah. Dengan begitu, fungsi dan tujuan pendidikan akan berpeluang dapat
tercapai dengan maksimal. Wallahu a’lam bi-al showab..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar