Memahatkan Totalitas Ber-Islam
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Qori’ Juara 1 se-Jateng; Pendidik School of Tahfidz di Monash
Institute;Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Sejauh ini, mayoritas penduduk Indonesia merupakan pemeluk agama
Islam (baca: muslim). Bahkan, data statistik membuktikan bahwa jumlah muslim di
Indonesia merupakan terbanyak di seluruh dunia. Dengan jumlah penduduk muslim sebanyak
207,176,162
jiwa (versi Badan Pusat Statistik tahun 2010), menjadikan
Indonesia menempati posisi pertama kategori jumlah muslim terbanyak di dunia.
Jumlah itu mengalahkan negara Arab Saudi yang merupakan negara lahirnya agama
Islam, yakni berpenduduk muslim 26,417,599 jiwa. Bisa
dipastikan, hampir tidak ada wilayah di republik ini yang tidak berpenduduk
muslim. Bahkan, di pulau-pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi, jumlah persentase penduduk mslim sangat banyak.
Namun sayangnya, dengan jumlah muslim yang begitu banyak, masih
banyak yang belum memahai Islam secara utuh (kaffah). Bahkan, tidak
sedikit yang bangga dengan hanya menjadi muslim secara KTP tanpa melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Hal itu dilatarbelakangi
oleh karena proses islamisasi mayoritas umat muslim di negeri ini bukan berdasarkan
kesadaran dan pemahaman atas ‘kebenaran’ agama Islam dengan seutuhnya,
melainkan karena mengikuti agama orang tua mereka yang sebelumnya telah beragama
Islam. Sehingga, begitu mereka lahir hingga dewasa, otomatis mereka mengikuti
agama Islam orang tua mereka. Dengan kata lain, beragama umat muslim kebanyakan
di Indonesia merupakan ‘Islam warisan’.
Jika kita sadari seutuhnya, sebenarnya ‘Islam warisan’ bukan
merupakan istilah baru. Sebab, fenomena itu telah muncul sejak awal proses
islamisasi di Indonesia hingga saat ini. Potret tersebut bisa kita tengok di
sekitar kita. Jika kita cermati, akan sangat tampak bahwa tidak sedikit umat
muslim yang masih setengah hati bahkan sering melanggar norma-norma dalam agama
Islam. Terbukti, sejumlah masalah yang marak terjadi di Indonesia seperti minum
minuman keras, mengkonsumsi dan mengedarkan narkoba, serta pemerkosaan,
mayoritas pelakunya adalah berdentitas musim.
Contoh lain, tidak sedikit umat muslim yang melakukan berbagai
tindakan kriminal seperti begalisasi, korupsi, bahkan bantai-membantai terhadap
sesama muslim menjadi hal biasa. Parahnya, sejumlah umat muslim terbukti
berantusias dan bergabung dengan kelompok islam radikal, yakni ISIS. Padahal,
jika kita menggunakan hati nurani saja, maka kita akan engetahi bahwa perilaku
dan tindakan-tindakan ISIS sungguh biadab dan tidak beradab karena dinilai
sudah tidak wajar/ tidak manusiawi. Bahkan, mereka tidak segan-segan membunuh
sesama umat muslim. Namun, mengetahui kondisi demikian, ternyata sejumlah umat
Islam masih tidak menyadari akan hal itu.
Di sisi lain, jumlah penduduk muslim di Indonesia kian berkurang.
Pada tahun 2014, Din Syamsudin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menunjukkan
angka statistik pertumbuhan penduduk muslim di Indonesia. Berdasarkan data
sensus penduduk pada tahun 1990, jumlah penduduk muslim di Indonesia mencapai
hingga 87, 6%, dan meningkat menjadi 88, 2% pada tahun 2000. Namun, Din
menegaskan bahwa angka pertumbuhan penduduk muslim hanya 1, 2%. Sedangkan untuk
penduduk non-muslim (Kristen) mencapai hingga dua kali lipatnya, yakni 2, 4%
Fakta tersebut semakin memperkuat betapa “lemahnya” kekuatan
pertumbuhan umat Islam di negeri Pancasila. Faktor utama penyebab semua masalah
itu tidak lain karena masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum menyadari
akan kebutuhan untuk ber-islam secara total. Mayoritas dari kita belum
menyadari akan urgensi untuk ber-Islam yang sesungguhnya, baik dalam aspek
bertauhid (bertuhan) dengan benar maupun aspek sosial-masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari. Ironisnya, tidak sedikit umat Islam yang sudah merasa
cukp dalam ber-Islam hanya dengan melaksanakan sholat lima waktu.
Padahal, jika kita ketahui dan pahami, bahwa sebenarnya untuk
menjadi seorang muslim sejati (memahami segala aspek ke-islaman secara
komprehensif) kita harus mempelajari banyak hal yang akan mencakup seluruh
aspek kkehidupan. Bahkan, tidak cukup jika kita ber-Islam sebatas melaksanakan
rukun iman dan rukun islam, apalagi hanya melaksanakan sholat lima waktu saja.
Itupun dalam pelaksanaannya bisa dikatakan belum benar (belum memahami makna
sholat, kurang serius, bahkan tidak mengetahui syarat rukun dan syarat sah
sholat) secara seutuhnya.
Oleh karena itu, mari kita ber-Islam dengan seutuhnya. Hal ini
selaras dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 208 yang secara substantif
menegaskan kepada umat Islam agar tidak ber-Islam hanya setengah hati,
melainkan dengan sepenuh hati. Jika kita merasa sebagai umat Islam, maka sudah
seharusnya kita mengikuti perintah-Nya tersebut dengan sesadar-sadarnya tanpa
ada unsure paksaan. Sebab, pada dasarnya, hal it merupakan kebutuhan kita,
bukan semata-mata perintah Allah kepada umat Islam.
Untuk merealisasikannya, setidaknya ada beberapa syarat yang harus
kita lakukan. Di antaranya, pertama, memahami sumber-sumber ajaran Islam yang
terdiri dari al-Qur’an, al-Hadist, serta ijtihad (ijma’ dan qiyas) dengan
total, baik dari segi cara baca hingga maksud kandungan-kandungannya. Sebab,
sebagaimana keterangan salah satu hadist nabi Muhammad SAW. bahwa Qur’an dan
Hadist merupakan “pusaka hebat” warisan beliau untuk umat Islam agar menjadi
uamt yang makmur, aman, damai, dan sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan mengamalkan poin-poin dari keduanya diirngi dengan ijtihad ke dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara, maka kita akan menjadi masayrakat yang
benar-benar islami.
Kedua, menjadi insan muslim yang beriman dan bertakwa. Dalam kitab
Tasir Jalalain, dijelaskan mengenai makna beriman, yakni mempercayai kehidupan
dunia dan akhirat, serta makna bertakwa yakni melaksanakan semua perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya. Dengan merealisasikannya, maka hidup kita
akan terhindar dari berbagai sifat, perilaku, maupun kebiasaan yang bersifat kriminal,
sehingga hanya akan menjauhkan kita dari sisi-Nya.
Ketiga, memperhatikan dan semangat mengamalkan semua perintahnya
tidak hanya yang bersifat wajib, tapi juga yang bersiffat sunnah. Jika itu
dilakukan, maka hidup kita benar-benar akan terselubung oleh “aura” Isla yang
sangat kental.
Dengan melakukan itu semua, maka kita akan menjadi uamt Islam yang
kaffah, sehingga jumlah umat islam tidak hanya meningkat dalam aspek kuantitas,
namun harus diringi pula dengan kualitas. Dengan begitu, maka umat Islam pun
akan menajdi kokoh dan selamat baik di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar