Guru; (Masih) Pewaris Nabi?
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Pengajar Tahfidz di Asrama Monash
Institute, Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Sebentar lagi, tepatnya pada tanggal
25 November 2014 merupakan hari spesial bagi bangsa Indonesia, yakni memperingati
Hari Guru Nasional. Hari itu menjadi momentum penting bagi Indonesia dalam
mengingat jasa para guru yang telah mencerdaskan bangsa. Hingga mereka sering
disebut sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Sebab, idealnya, guru berjuang
keras dalam mendidik siswa-siswinya supaya menjadi generasi yang cerdas demi
kemajuan bangsa dengan tanpa meminta imbalan ataupun balasan sedikitpun.
Momentum tersebut sangat tepat jika
dikaitkan dengan kondisi kualitas pendidikan Indonesia saat ini yang masih jauh
dari sempurna. Bila dibandingkan dengan kualitas pendidikan sejumlah negara
maju, seperti Amerika, Inggris, Australia, Singapura, Brunei, dan juga termasuk
Finlandia yang saat ini kualitas pendidikannya dinilai nomor satu sedunia, kualitas
pendidikan bangsa Indonesia masih dinilai rendah. Terbukti, hampir tidak ada
prestasi yang cemerlang yang diraih, baik dalam bidang pendidikan, pilitik,
ekonomi, hukum, dan lainnya. Maka, Indonesia patut meneladani pendidikan
Finlandia meskipun tidak seluruhnya, karena seperti yang dikatakan oleh Dr.
Mohammad Nasih al-hafidz, Wakil Rektor STEBANK Jakarta sekaligus dosen
Universitas Indonesia (UI), bahwa sejatinya kondisi pendidikan di tempat yang
berbeda, maka akan berbeda pula sistem yang harus diterapkan.
Dalam konteks ini, guru menjadi
komponen pendidikan yang sangat urgen. Urgensinya bagaikan tingkat kekuatan pondasi
dalam suatu bangunan. Kualitas guru diibaratkan dengan perumpamaan itu. Apabila
pondasi itu kokoh, maka bangunan itu akan mampu bertahan lama. Namun
sebaliknya. Jika pondasi itu lemah, maka pondasi itu akan cepat rapuh dan
bangunan pun roboh. Begitu pula dengan guru. Apabila kualitas guru tinggi, maka
akan berpeluang besar tercetak siswa yang cerdas karena dididik dengan tepat dan benar sesuai porsinya. Namun
sebaliknya. Apabila kualitas guru rendah, maka tidak mengherankan jika kualitas
siswa pun rendah, alias “bodoh”.
Sesungguhnya jika disadari, guru
memiliki peran serta tanggung jawab yang
sangat besar dalam rangka mengentas umat manusia dari juran kebodohan. Saking besarnya,
guru menjadi komponen pertama dan utama dalam rangka meningkatkan kualitas
pendidikan bangsa. Bahkan, Nasih menyatakan bahwa guru menjadi salah satu
penentu kemajuan suatu bangsa. Artinya, maju tidaknya suatu bangsa terletak di
pundak guru. Apabila guru sukses mendidik para siswanya, maka bangsanya akan
maju. Begitu pula sebaliknya.
Satu hal terpenting yang harus
diingat yaitu guru termasuk pewaris nabi. Ini mengacu pada salah satu hadist
Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi secara eksplisit dan
implisit menyatakan bahwa Ulama’ merupakan pewaris para nabi. Kata ulama merupakan
dari bahasa arab berbentuk jamak dari bentuk tunggal kata ‘alim, artinya orang yang
tahu (baca: cendekiawan). Karena guru dianggap orang yang banyak mengetahui
tentang ilmu pengetahuan di bidangnya, maka guru meerupakan orang ‘alim. Karena
guru termasuk orang ‘alim, maka dia termasuk pewaris nabi.
Oleh karena itu, setidaknya guru
harus berusaha keras memiliki sifat-sifat profetik, yaitu shidiq
(jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah
(cerdas). Dengan memiliki sifat-sifat tersebut, diharapkan guru mampu
mengaplikasikannyaa ke dalam kehidupan sehari-hari, khususnya saat mendidik
para siswanya sehingga tujuan pendidikan yang sebenarnya akan terwujud. Sebab,
terbukti bahwa semua sifat itu menjadi kunci kesuksesan nabi Muhammad SAW.
dalam menyampaikan risalahnya kepada umat manusia pada zamannya, sehingga
mereka bisa menerimanya dan menjadi umat yang cerdas. Maka dari itu, muncul
istilah masyarakat madani (beradab). Keberadabannya bermula dari keberhasilan
nabi dalam mendidik umat manusia.
Sebagai tindak lanjutnya, guru harus
mengoptimalkan peran dan tanggung jawabnya sebagai pendidik umat manusia. Guru
harus sadar bahwa peran dan tanggung jawabnya tidak hanya sebatas mentransformasikan
ilmu pengetahuan kepada para siswanya. Itu merupakan suatu keniscayaan baginya.
Namun, yang lebih penting, guru harus menjadi sosok seorang yang berbeda dari
pada orang lain, supaya memang terbukti bahwa guru termasuk pewaris nabi. Dalam
hal ini, perbedaan yang dimaksud merupakan segala sesuatu yang positif. Untuk
itu, setidaknya guru harus melakukan beberapa hal.
Pertama, guru harus berusaha dan
mampu menjadi suri tauladan bagi seluruh masyarakat. Jika masih ingin disebut
sebagai pewaris nabi, maka guru harus berusaha dengan maksimal untuk bisa
mengamalkan sifat-sifat profetik. Ini sesuai dengan firman Allah dalam
Al-Qur’an Surat Al-Ahzab: 21. Selain itu, guru juga harus memiliki sifat-sifat
yang layaknya dimiliki seorang guru yang baik, diantarany; dewasa, bijaksana,
adil, berwibawa, bersahaja, tidak bercanda berlebihan (over kidding),
menjauhi segala perilaku negatif dan yang menyebabkan hilangnya kewibawaannya,
seperti bercanda melewati batas (over kidding). Dengan begitu, guru akan
berhasil menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Dalam istilah jawa, guru harus
bisa digugu (dijadikan tauladan) dan ditiru (diikuti).
Kedua, guru harus sukses mencerdaskan
siswa-siswinya. Untuk mudah merealisasikannya, menurut Abdul Mufid Lc., guru
harus memenuhi beberapa syarat yang harus dipenuhinya, diantaranya; kualitas
guru (berpengetahuan luas dalam bidangnya dan mampu mendidik siswanya dengan
baik dan benar) harus tinggi, paham dan mampu mengaplikasikan metode pendidikan
yang sinkron, relevan, dan sesuai dengan kurikulum yang diterapkan. Ini sesuai
firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Nahl: 125 tentang bagaimana cara mendidik
yang baik. Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka guru
bagaikan menegakkan tali yang basah, alias sia-sia.
Ketiga, guru harus berkarya, terutama
dalam bidang akademik. Poin ini berhubungan erat dengan poin pertama dan kedua.
Selain bertugas mentransformasikan ilmunya, guru juga dituntut mampu berkarya
di bidangnya, misalkan; guru bahasa inggris mampu membuat sebuah buku berjudul
“Kunci Sukses Menguasai Bahasa Inggris”. Dengan begitu, akan terbukti bahwa
guru tersebut berkualitas.
Keempat, guru harus ikhlas dalam
mendidik siswa-siwinya. Supaya sukses mengimplementasikan poin ini, guru harus
sadar, ingat, dan mengamalkan satu hadist nabi, “’allim majjanan kama
‘ullimta majjanan”. Maksudnya adalah nabi menyuruh umatnya supaya ketika
kita mengajar siswa, jangan sampai kita berharap atau bahkan meminta jasa
balasannya sebagaimana kita diajar gratis. Sebab, dalam menyampaikan risalahnya
yang penuh unsur pendidikan bagi umatnya, nabi sangat ikhlas dalam
melaksanakannya. Karena beliau sangat paham dan mengamalkan firman Allah dalam
Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah: 11.
Keempat poin tersebut saling
berkaitan erat. Apabila salah satu poin tidak terpenuhi, maka jangan harap guru
masih disebut sebagai pewaris nabi. Semoga para guru di seantoro negeri ini
mampu mengaplikasikan syarat-syarat tersebut. Dengan demikian, setidaknya tujuan
pendidikan nasional yang tertuang dalam UUD 1945 alinea keempat dan UU. no. 20
tahun 2003 akan terwujud, sehingga masyarakat Indonesia mampu menjadi
masyarakat yang cerdas, berkualitas, unggul, bermartabat, serta mampu bersaing
dan bahkan mengungguli negara-negaa maju lainnya di dunia. Wallahu a’lam
bimurodihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar