MELURUSKAN PARADIGMA SESAT SARJANA
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Pendidik di MILB YKTM Budi Asih; Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Sarjana merupakan satuan tingkat pendidikan tertinggi, dan kebanyakan
orang menginginkannya. Di era modern ini, tidak hanya orang di perkotaan saja
yang mengidamkan bisa melanjutkan studi hingga ke jenjang perkuliahan, tapi
juga orang di pedesaan. Setelah lulus sarjana, harapan mereka agar ijasahnya bisa
dijadikan sebagai “senjata ampuh” guna melamar suatu pekerjaan. Sehingga, dalam
kacamata mereka, seolah gelar sarjana bisa menjamin kehidupan mereka menuju kemapanan.
Dengan begitu, maka hidup mereka akan damai dan tenang karena kebutuhan finansial
mereka akan terpenuhi dengan jelas tiap bulannya.
Menurut sebagian masyarakat, paradigma seperti itu tidak salah dan
wajar. Sebab, salah satu aspek untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah
dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan kualitas pendidikan yang
tinggi, maka orang akan memiliki sarana untuk merealisasikan kesejahteraan hidup.
Hal ini paling tidak selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 aline keempat dan Undang-Undang
(UU) no. 20 tahun 2003.
Namun, sayangnya pada saat ini paradigma masyarakat tentang sarjana
mengalami distorsi. Pasalnya, kebanyakan lulusan kuliah (sarjana) beranggapan
bahwa mereka telah berada di garis aman setelah memiliki ijazah sarjana. Artinya,
dalam benak mereka pada umumnya ketika mereka telah lulus sarjana mereka bisa
menggunakan ijazahnya untuk melamar suatu pekerjaan. Hampir semua lulusan
sarjana baik dari perkotaan maupun pedesaan berparadigma setali tiga uang.
Bahkan, sebagian besar mahasiswa berparadigma semacam itu sejak akan masuk
kuliah, sehingga orientasi kuliahnya sejatinya bukan untuk mengemban tugas
mulia yakni menuntut ilmu dalam rangka meningkatkan kualitas intelektual sesuai
dalam bidangnya, akan tetapi supaya ke depan mereka bisa mudah mencari suatu
pekerjaan dengan menggunakan ijazahnya.
Padahal, pada hakikatnya tujuan sejati kuliah adalah untuk
melahirkan para lulusan sarjana yang berkualitas. Artinya, setiap lulusan
sarjana idealnya mampu membentuk dirinya menjadi pribadi yang memang ahli dalam
bidang tertentu. Sehingga, diharapkan ke depan mereka bisa bermanfaaat bagi
umat yaitu dengan mengoptimalkan ilmu, kemampuan, dan skillnya sesuai
bidangnya kepada masyarakat. Dengan begitu, maka akan terwujud masyarakat yang
aman dan sejahtera karena urusan di semua bidang telah diurus oleh orang yang
benar-benar ahli dalam bidangnya.
Hal ini sesuai dengan salah satu hadist nabi yang diriwayatkan oleh
Bukhori Muslim yaitu secara substansial menyebutkan bahwa jika suatu urusan
diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tinggal menunggu
kehancurannya. Maka sangatlah tepat jika setiap urusan negara ini diurus oleh
orang yang kompeten di masing-masing bidangnya, yaitu paling tidak lulusan
sarjana. Sebab, jika urusan itu diorganisir oleh “sarjana abal-abal”, maka
sesuai hadist itu yaitu tinggal menunggu kehancuran negeri ini. Apabila
demikian terjadi, kesejahteraan rakyat pun hanya akan sebatas mimpi.
Di samping itu pula, dalam Al-Qur’an Surat Al-Nisa’: 58, Allah
telah memerintahkan kepada umatnya untuk menyerahkan suatu amanah kepada
ahlinya. Tujuannya selaras dengan kandungan hadist tersebut, yaitu supaya
urusan atau amanat itu mampu terealisasikan dengan baik dan tepat karena diurus
oleh orang yang memang kompeten dalam bidangnya.
Oleh sebab itu, sejak sekarang para lulusan sarjana dan calon
sarjana harus mengubah mindset sesatnya itu dengan melakukan beberapa
terapi. Pertama, mereka harus meluruskan niat mereka. Bagi para sarjana,
seharusnya mereka berfikiran bahwa dengan menjadi lulusan sarjana, maka mereka
memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakat. Ialah bukan mereka
berharap bisa menggunakan ijazahnya untuk melamar suatu pekerjaan sehingga
seolah-olah ketika mereka sedang kuliah pekerjaan telah menantinya. Akan tetapi,
justru dengan menjadi lulusan sarjana, mereka harus mampu membentuk mindsetnya untuk
menjadi insan yang lebih bermanfaat bagi umat, misalnya dengan membuka lapangan
pekerjaan baru untuk masyarakat luas. Dengan begitu, maka mereka akan sukses
meraih predikat insan bermanfaat yang sejati, khoirun nas anfa’uhum li
al-nas karena dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Sedangkan bagi para calon sarjana, mereka harus mau dan mampu
mengubah mindset dari yang semula berfikir bahwa dengan menjadi lulusan
sarjana akan bisa menggunakan ijazahnya untuk melamar pekerjaan, menjadi
menuntut ilmu pertama adalah karena Allah (lillahi ta’ala). Kedua,
diniati mengamalkan salah satu hadist nabi yang mewajibkan setiap orang agar
menuntut ilmu, pembukaan UUD 1945 alinea keempat, serta UU no. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas. Ketiga, berniat memperbaiki kualitas pendidikan bangsa dan
memajukan kesejahteraan umum melalui pendidikan sesuai bidang masing-masing.
Kedua, para sarjana harus mampu berkarya. Para sarjana harus
menyadari akan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Sebagai akademisi, mereka
harus mampu mengkontribusikan sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri, orang
lain dan bangsa. Meskipun sebenarnya secara formal dari pemerintah atau
masyarakat tidak mewajibkan mereka untuk berkarya, seharunya mereka menyadari
akan tanggung jawabnya. Sebagai akademisi yang dianggap sebagai intelektual
juga ataupun teknisi, mereka harus menyadarinya tanggungjawabnya dengan mewajibkan
dirinya untuk berkarya sesuai bidang, kemampuan, dan keahlinya sebagai tuntutan
secara kodrati. Misalkan, seorang lulusan sarjana pendidikan harus mampu
membuat sistem pendidikan yang inovatif, konstruktif, serta futuristik.
Setidaknya dengan melakukan kedua poin itu, para calon sarjana
terutama para sarjana harus mampu meluruskan paradigma sesatnya menjadi
paradigma tercerahkan. Dengan begitu, maka dalam menghadapi Masayrakat Ekonomi
ASEAN (MEA) dan bonus demografi bangsa Indonesia akan berpeluang besar mampu
bersaing dengan bangsa lain dari berbagai aspek, sehingga bangsa ini akan menjadi
bangsa yang lebih baik, bermartabat, berdikari, bersahaja, sejahtera, serta
adil dan makmur yang diridloi Allah SWT. Wallahu a’lam bimurodihi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar