Sabtu, 16 Mei 2015

Melurskan Paradigma Sesat Sarjana (Koran Rakyat Jateng: 12 Februari 2015)



MELURUSKAN PARADIGMA SESAT SARJANA
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Pendidik di MILB YKTM Budi Asih; Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Sarjana merupakan satuan tingkat pendidikan tertinggi, dan kebanyakan orang menginginkannya. Di era modern ini, tidak hanya orang di perkotaan saja yang mengidamkan bisa melanjutkan studi hingga ke jenjang perkuliahan, tapi juga orang di pedesaan. Setelah lulus sarjana, harapan mereka agar ijasahnya bisa dijadikan sebagai “senjata ampuh” guna melamar suatu pekerjaan. Sehingga, dalam kacamata mereka, seolah gelar sarjana bisa menjamin kehidupan mereka menuju kemapanan. Dengan begitu, maka hidup mereka akan damai dan tenang karena kebutuhan finansial mereka akan terpenuhi dengan jelas tiap bulannya.
Menurut sebagian masyarakat, paradigma seperti itu tidak salah dan wajar. Sebab, salah satu aspek untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan kualitas pendidikan yang tinggi, maka orang akan memiliki sarana untuk merealisasikan kesejahteraan hidup. Hal ini paling tidak selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 aline keempat dan Undang-Undang (UU) no. 20 tahun 2003.
Namun, sayangnya pada saat ini paradigma masyarakat tentang sarjana mengalami distorsi. Pasalnya, kebanyakan lulusan kuliah (sarjana) beranggapan bahwa mereka telah berada di garis aman setelah memiliki ijazah sarjana. Artinya, dalam benak mereka pada umumnya ketika mereka telah lulus sarjana mereka bisa menggunakan ijazahnya untuk melamar suatu pekerjaan. Hampir semua lulusan sarjana baik dari perkotaan maupun pedesaan berparadigma setali tiga uang. Bahkan, sebagian besar mahasiswa berparadigma semacam itu sejak akan masuk kuliah, sehingga orientasi kuliahnya sejatinya bukan untuk mengemban tugas mulia yakni menuntut ilmu dalam rangka meningkatkan kualitas intelektual sesuai dalam bidangnya, akan tetapi supaya ke depan mereka bisa mudah mencari suatu pekerjaan dengan menggunakan ijazahnya.
Padahal, pada hakikatnya tujuan sejati kuliah adalah untuk melahirkan para lulusan sarjana yang berkualitas. Artinya, setiap lulusan sarjana idealnya mampu membentuk dirinya menjadi pribadi yang memang ahli dalam bidang tertentu. Sehingga, diharapkan ke depan mereka bisa bermanfaaat bagi umat yaitu dengan mengoptimalkan ilmu, kemampuan, dan skillnya sesuai bidangnya kepada masyarakat. Dengan begitu, maka akan terwujud masyarakat yang aman dan sejahtera karena urusan di semua bidang telah diurus oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya.
Hal ini sesuai dengan salah satu hadist nabi yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim yaitu secara substansial menyebutkan bahwa jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tinggal menunggu kehancurannya. Maka sangatlah tepat jika setiap urusan negara ini diurus oleh orang yang kompeten di masing-masing bidangnya, yaitu paling tidak lulusan sarjana. Sebab, jika urusan itu diorganisir oleh “sarjana abal-abal”, maka sesuai hadist itu yaitu tinggal menunggu kehancuran negeri ini. Apabila demikian terjadi, kesejahteraan rakyat pun hanya akan sebatas  mimpi.
Di samping itu pula, dalam Al-Qur’an Surat Al-Nisa’: 58, Allah telah memerintahkan kepada umatnya untuk menyerahkan suatu amanah kepada ahlinya. Tujuannya selaras dengan kandungan hadist tersebut, yaitu supaya urusan atau amanat itu mampu terealisasikan dengan baik dan tepat karena diurus oleh orang yang memang kompeten dalam bidangnya.
Oleh sebab itu, sejak sekarang para lulusan sarjana dan calon sarjana harus mengubah mindset sesatnya itu dengan melakukan beberapa terapi. Pertama, mereka harus meluruskan niat mereka. Bagi para sarjana, seharusnya mereka berfikiran bahwa dengan menjadi lulusan sarjana, maka mereka memiliki tanggung jawab yang besar kepada masyarakat. Ialah bukan mereka berharap bisa menggunakan ijazahnya untuk melamar suatu pekerjaan sehingga seolah-olah ketika mereka sedang kuliah pekerjaan telah menantinya. Akan tetapi, justru dengan menjadi lulusan sarjana, mereka harus mampu membentuk mindsetnya untuk menjadi insan yang lebih bermanfaat bagi umat, misalnya dengan membuka lapangan pekerjaan baru untuk masyarakat luas. Dengan begitu, maka mereka akan sukses meraih predikat insan bermanfaat yang sejati, khoirun nas anfa’uhum li al-nas karena dapat mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Sedangkan bagi para calon sarjana, mereka harus mau dan mampu mengubah mindset dari yang semula berfikir bahwa dengan menjadi lulusan sarjana akan bisa menggunakan ijazahnya untuk melamar pekerjaan, menjadi menuntut ilmu pertama adalah karena Allah (lillahi ta’ala). Kedua, diniati mengamalkan salah satu hadist nabi yang mewajibkan setiap orang agar menuntut ilmu, pembukaan UUD 1945 alinea keempat, serta UU no. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Ketiga, berniat memperbaiki kualitas pendidikan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum melalui pendidikan sesuai bidang masing-masing.
Kedua, para sarjana harus mampu berkarya. Para sarjana harus menyadari akan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Sebagai akademisi, mereka harus mampu mengkontribusikan sesuatu yang bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain dan bangsa. Meskipun sebenarnya secara formal dari pemerintah atau masyarakat tidak mewajibkan mereka untuk berkarya, seharunya mereka menyadari akan tanggung jawabnya. Sebagai akademisi yang dianggap sebagai intelektual juga ataupun teknisi, mereka harus menyadarinya tanggungjawabnya dengan mewajibkan dirinya untuk berkarya sesuai bidang, kemampuan, dan keahlinya sebagai tuntutan secara kodrati. Misalkan, seorang lulusan sarjana pendidikan harus mampu membuat sistem pendidikan yang inovatif, konstruktif, serta futuristik.
Setidaknya dengan melakukan kedua poin itu, para calon sarjana terutama para sarjana harus mampu meluruskan paradigma sesatnya menjadi paradigma tercerahkan. Dengan begitu, maka dalam menghadapi Masayrakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan bonus demografi bangsa Indonesia akan berpeluang besar mampu bersaing dengan bangsa lain dari berbagai aspek, sehingga bangsa ini akan menjadi bangsa yang lebih baik, bermartabat, berdikari, bersahaja, sejahtera, serta adil dan makmur yang diridloi Allah SWT. Wallahu a’lam bimurodihi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar