Bersinergi Membentuk Kejujuran Siswa
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih Sampangan, Peraih Beasiswa
Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Kejujuran merupakan aspek fundamental yang harus melekat pada diri
setiap individu. Sebab, tanpa kejujuran, hidup seseorang tidak akan terhormat,
bahkan terhina. Saking fundamentalnya, ‘keindahan’ nilai kejujuran ibarat
mutiara di dasar laut. Karena begitu indahnya, setiap orang mencarinya
kemanapun mutiara itu berada meskipun hingga ke dasar laut. Begitu pun dengan nilai
kejujuran. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila seseorang yang terkenal
karena kejujurannya, konsekuensinya banyak orang melirik untuk ‘memilikinya’ bagaimanapun
caranya. Maka benar dengan pepatah jawa, “Yen jujur, uripmu bakal mulyo”.
Ya, memiliki sifat atau karakter jujur merupakan hal yang sangat
urgen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka, sudah
tepat jika pemerintah melibatkan aspek kejujuran dalam rumusan tujuan
pendidikan yang tertera baik dalam UUD 1945 (versi Amandemen) pasal 31 ayat 3
maupun Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) meskipn secara sbstantif.
Secara substansial dalam kedua dasar konstitusi tersebut, pelibatan
aspek kejujuran terletak pada frase “berakhlak mulia”. Memang dalam kedua
landasan pendidikan tersebut tidak disebutkan kata ‘membentuk kejujuran’ atau
sejenisnya secara eksplisit, akan tetapi secara implisit terlihat sangat jelas
pada frase tersebut bahwa tujuan pendidikan Indonesia sangat menekankan agar
sifat atau karakter jujur melekat pada diri setiap siswa, karena kejujuran
merupakan salah satu bentuk akhlak mulia.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW. telah memberikan suri tauladan (uswatun
hasanah) kepada seluruh umat manusia, yakni dengan membiasakan hidupnya
yang selalu diiringi dengan salah satu sifat profetik, yakni shidiq.
Sejak kecil, beliau senantiasa berkata dan bersikap jujur kepada siapapun,
dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun. Beliau tidak pernah berbohong sekalipun
dengan siapapun. Sehingga, beliau sebelum menjjadi nabi pun telah tampil
sebagai sosok insan mulia di mata masyarakat pada waktu itu. Secara etimologi
kata ‘shidiq’ berarti benar, dan secara terminologi berarti jujur.
Sejarah telah membuktikan,
sifat tersebut mampu menjadi ‘kunci’ dan ‘senjata’ ampuh dalam proses dakwahnya
menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru. Karena beliau telah terkenal
dengan kejujurannya sebelum menjadi nabi, maka banyak umat manusia beriman
terhadapnya atas seluruh risalah yang disampaikannya. Hingga pada akhirnya,
keberhasilan dakwahnya termanifestasikan dengan terwujudnya kondisi masyarakat
Arab yang sebelumnya bertradisi jahiliyah menjadi masyarakat yang bermartabat
dan beradab (baca: masyarakat madani).
Namun, kini seolah karakter jujur telah menjadi aspek yang sudah
tidak penting lagi di mata manusia. Ironisnya, sebagian kelompok percaya dengan ungkapan “jujur
ajur”. Pasalnya, perkataan dan sikap banyak orang dari berbagai kalangan terutama
para pemimpin dan politisi di republik ini telah menunjukkan semakin jauh dari
sifat dan karakter jujur. Maraknya kasus korupsi yang melibatkan berbagai
kalangan di negeri ini menjadi salah satu bukti konkrit yang tak terbantahkan
bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis kejujuran.
Tidak sedikit para pemimpin dan para politisi yang mengobral janji manis ketika kampanye namun tanpa
diiringi realisasi yang nyata setelah berhasil terpilih. Bahkan, parahnya
mereka yang seharusnya menjadi pengayom dan wakil rakyat justru karena
memperoleh ‘kesempatan emas’ mereka tega membohongi rakyat dengan melakukan
korupsi uang negara tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Fenomena tersebut menjadi bukti nyata kegagalan atau disfungsinya
pendidikan. Sebab, seorang yang berpendidikan tinggi bahkan telah menyandang
gelar profesor ikut terlibat kasus korupsi. Kenyataan ini sungguh miris dan
mengerikan bagi bangsa ini. Pada kasus lain, para anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah ‘mengkadali’ rakyat.
Pasalnya, mereka yang seharusnya bertugas menyusun, merumuskan, dan
memutuskan berbagai kebijakan yang pro-rakyat, justru mencekik rakyat.
Sehingga, berbagai kebijakan pemerintah hanya sebatas kesenangan semu karena
bersifat kapitalis. Implikasinya, angka kemiskinan semakin tinggi, PHK semakin
bertambah, hingga kriminalitas semakin merajalela. Semua itu disebabkan oleh
krisis karakter kejujuran.
Oleh sebab itu, salah satu solusi jitu untuk mengatasi masalah
krisis umat berkarakter jujur yaitu seluruh pihak harus terlibat dalam rangka
pembentukan karakter jujur sejak dini. Dalam hal ini, tidak boleh ada tanggung
jawab maupun peran yang diskriminatif. Artinya, baik keluarga terutama kedua
orang tua maupun guru di sekolah harus bersinergi bersama membentuk karakter
jujur siswa. Jangan sampai ada pihak yang tidak berperan dalam hal ini. Dengan
demikian, tidak hanya aspek IQ atau kecerdasan intelektual siswa yang diperhatikan,
namun juga aspek EQ dan SQ.
Dalam hal ini, Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, salah satu dosen FISIP
UI dan UMJ berpendapat, bahwa tanpa melibatkan kedua belah pihak, sama saja
bagaikan menegakkan tali yang basah. Sebab, jika siswa hanya dididik,
dibimbing, serta diawasi kedua orang tuanya ketika di lingkungan rumah untuk
berkata dan bersikap jujur, namun ternyata tidak demikian di lingkungan
sekolah, maka segala usaha dan upaya kedua orang tua tersebut tidak ada gunanya.
Efeknya, justru kedua orang tuanya akan semakin kewalahan untuk membentuk
karakter jujur pada anak. Begitu pun sebaliknya.
Maka, baik kedua orang tua maupun para guru di sekolah setidaknya
harus mengetahui dan menguasai teori belajar behavioristik yang dicetuskan oleh Gage
dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
Apabila kedua pihak dapat mengaplikasikannya dengan baik dalam mendidik anak
terutama dalam membentuk karakter jujur, maka hasilya akan sangat spektakuler.
Dalam praktiknya, kedua orang
tua dan guru harus memahami dengan betul bahwa metode belajar sang anak melalui
tiga tahap (Bruner), yakni tahap enaktif (anak terlibat langsung dalam
mengotak-atik objek nyata di sekitarnya), ikonik (visualisasi objek tertentu
yang menggambarkan kegiatan tertentu), dan simbolik (melalui bahasa, kata-kata,
alphabet, dan sejenisnya)
Dengan didasari dengan rasa
kasih sayang, ikhlas, dan senang, kedua pihak harus selalu mencermati dan
memantau segala perkataan dan perilaku anak. Keduanya harus melatih untuk berkata benar apa adanya,
bersikap jujur, tidak membuat suatu rekayasa atau palsu dalam aktivitas
kehidupan sehari-hari. Apabila ada indikasi dari anak berkata tidak atau
bersikap tidak jujur, maka keduanya harus segera bertindak untuk meluruskannya.
Namun dengan catatan, jangan sampai niat mulia untuk meluruskannya justru menjadi
boomerang akibat tidak didasari dengan cara atau metode yang baik dan
mulia pula.
Meskipun dalam UUD, UU, maupun
konstitusi apapun tidak disebutkan bahwa untuk membentuk karakter jujur siswa
merupakan peran utama kedua orang tua dan guru maupun dengan redaksi kalimat
lain, namun mereka harus menyadari dengan seutuhnya akan hal itu sebagai
fitrahnya. Sebab, jika tidak mereka, lantas siapa lagi yang dapat membentuk
karakter kejujuran siswa?
Jikalau mengandalkan salah satu
lingkungan saja, itu sungguh berat, apalagi jika mengandalkan lingkungan teman-teman
siswa dalam bersosial. Itu semakin jauh dari harapan. Sebab, mereka semua masih
membutuhkan pendidikan, pembimbingan, serta pengawasan intensif dari para orang
tua dan gurunya. Dengan begitu, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun
kondisinya, mereka akan selalu digiring untuk selalu berkata dan bersikap
jujur, hingga pada akhirnya kejujuran tersebut dapat mengkarakter dalam benak
dan jiwa siswa.
Semoga, ke depan seluruh kedua
orang tua dan guru lebih peduli dan bersinergi kepada anak dalam rangka
membentuk karakter jujur padanya, sehingga terbentuk masyarakat Indonesia
yang cerdas secara komprehensif, yakni baik cerdas spiritual, emosional,
sosial, intelektual, maupun kinestetis. Dan harapannya itu mampu menjadi
jembatan yang kokoh untuk dapat mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang unggul, maju, terhormat, serta bermartabat. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar