Sabtu, 16 Mei 2015

Bersinergi Membentuk Kejujuran Siswa (Koran Muria: 1 April 2015)



Bersinergi Membentuk Kejujuran Siswa

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih Sampangan, Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang

Kejujuran merupakan aspek fundamental yang harus melekat pada diri setiap individu. Sebab, tanpa kejujuran, hidup seseorang tidak akan terhormat, bahkan terhina. Saking fundamentalnya, ‘keindahan’ nilai kejujuran ibarat mutiara di dasar laut. Karena begitu indahnya, setiap orang mencarinya kemanapun mutiara itu berada meskipun hingga ke dasar laut. Begitu pun dengan nilai kejujuran. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila seseorang yang terkenal karena kejujurannya, konsekuensinya banyak orang melirik untuk ‘memilikinya’ bagaimanapun caranya. Maka benar dengan pepatah jawa, “Yen jujur, uripmu bakal mulyo”.
Ya, memiliki sifat atau karakter jujur merupakan hal yang sangat urgen dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka, sudah tepat jika pemerintah melibatkan aspek kejujuran dalam rumusan tujuan pendidikan yang tertera baik dalam UUD 1945 (versi Amandemen) pasal 31 ayat 3 maupun Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) meskipn secara sbstantif.
Secara substansial dalam kedua dasar konstitusi tersebut, pelibatan aspek kejujuran terletak pada frase “berakhlak mulia”. Memang dalam kedua landasan pendidikan tersebut tidak disebutkan kata ‘membentuk kejujuran’ atau sejenisnya secara eksplisit, akan tetapi secara implisit terlihat sangat jelas pada frase tersebut bahwa tujuan pendidikan Indonesia sangat menekankan agar sifat atau karakter jujur melekat pada diri setiap siswa, karena kejujuran merupakan salah satu bentuk akhlak mulia.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad SAW. telah memberikan suri tauladan (uswatun hasanah) kepada seluruh umat manusia, yakni dengan membiasakan hidupnya yang selalu diiringi dengan salah satu sifat profetik, yakni shidiq. Sejak kecil, beliau senantiasa berkata dan bersikap jujur kepada siapapun, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun. Beliau tidak pernah berbohong sekalipun dengan siapapun. Sehingga, beliau sebelum menjjadi nabi pun telah tampil sebagai sosok insan mulia di mata masyarakat pada waktu itu. Secara etimologi kata ‘shidiq’ berarti benar, dan secara terminologi berarti jujur.
 Sejarah telah membuktikan, sifat tersebut mampu menjadi ‘kunci’ dan ‘senjata’ ampuh dalam proses dakwahnya menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru. Karena beliau telah terkenal dengan kejujurannya sebelum menjadi nabi, maka banyak umat manusia beriman terhadapnya atas seluruh risalah yang disampaikannya. Hingga pada akhirnya, keberhasilan dakwahnya termanifestasikan dengan terwujudnya kondisi masyarakat Arab yang sebelumnya bertradisi jahiliyah menjadi masyarakat yang bermartabat dan beradab (baca: masyarakat madani).
Namun, kini seolah karakter jujur telah menjadi aspek yang sudah tidak penting lagi di mata manusia. Ironisnya, sebagian  kelompok percaya dengan ungkapan “jujur ajur”. Pasalnya, perkataan dan sikap banyak orang dari berbagai kalangan terutama para pemimpin dan politisi di republik ini telah menunjukkan semakin jauh dari sifat dan karakter jujur. Maraknya kasus korupsi yang melibatkan berbagai kalangan di negeri ini menjadi salah satu bukti konkrit yang tak terbantahkan bahwa bangsa ini sedang dilanda krisis kejujuran.
Tidak sedikit para pemimpin dan para politisi yang mengobral  janji manis ketika kampanye namun tanpa diiringi realisasi yang nyata setelah berhasil terpilih. Bahkan, parahnya mereka yang seharusnya menjadi pengayom dan wakil rakyat justru karena memperoleh ‘kesempatan emas’ mereka tega membohongi rakyat dengan melakukan korupsi uang negara tanpa merasa berdosa sedikitpun.
Fenomena tersebut menjadi bukti nyata kegagalan atau disfungsinya pendidikan. Sebab, seorang yang berpendidikan tinggi bahkan telah menyandang gelar profesor ikut terlibat kasus korupsi. Kenyataan ini sungguh miris dan mengerikan bagi bangsa ini. Pada kasus lain, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah ‘mengkadali’ rakyat.
Pasalnya, mereka yang seharusnya bertugas menyusun, merumuskan, dan memutuskan berbagai kebijakan yang pro-rakyat, justru mencekik rakyat. Sehingga, berbagai kebijakan pemerintah hanya sebatas kesenangan semu karena bersifat kapitalis. Implikasinya, angka kemiskinan semakin tinggi, PHK semakin bertambah, hingga kriminalitas semakin merajalela. Semua itu disebabkan oleh krisis karakter kejujuran.
Oleh sebab itu, salah satu solusi jitu untuk mengatasi masalah krisis umat berkarakter jujur yaitu seluruh pihak harus terlibat dalam rangka pembentukan karakter jujur sejak dini. Dalam hal ini, tidak boleh ada tanggung jawab maupun peran yang diskriminatif. Artinya, baik keluarga terutama kedua orang tua maupun guru di sekolah harus bersinergi bersama membentuk karakter jujur siswa. Jangan sampai ada pihak yang tidak berperan dalam hal ini. Dengan demikian, tidak hanya aspek IQ atau kecerdasan intelektual siswa yang diperhatikan, namun juga aspek EQ dan SQ.
Dalam hal ini, Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, salah satu dosen FISIP UI dan UMJ berpendapat, bahwa tanpa melibatkan kedua belah pihak, sama saja bagaikan menegakkan tali yang basah. Sebab, jika siswa hanya dididik, dibimbing, serta diawasi kedua orang tuanya ketika di lingkungan rumah untuk berkata dan bersikap jujur, namun ternyata tidak demikian di lingkungan sekolah, maka segala usaha dan upaya kedua orang tua tersebut tidak ada gunanya. Efeknya, justru kedua orang tuanya akan semakin kewalahan untuk membentuk karakter jujur pada anak. Begitu pun sebaliknya.
Maka, baik kedua orang tua maupun para guru di sekolah setidaknya harus mengetahui dan menguasai teori belajar behavioristik yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Apabila kedua pihak dapat mengaplikasikannya dengan baik dalam mendidik anak terutama dalam membentuk karakter jujur, maka hasilya akan sangat spektakuler.
Dalam praktiknya, kedua orang tua dan guru harus memahami dengan betul bahwa metode belajar sang anak melalui tiga tahap (Bruner), yakni tahap enaktif (anak terlibat langsung dalam mengotak-atik objek nyata di sekitarnya), ikonik (visualisasi objek tertentu yang menggambarkan kegiatan tertentu), dan simbolik (melalui bahasa, kata-kata, alphabet, dan sejenisnya)
Dengan didasari dengan rasa kasih sayang, ikhlas, dan senang, kedua pihak harus selalu mencermati dan memantau segala perkataan dan perilaku anak. Keduanya harus  melatih untuk berkata benar apa adanya, bersikap jujur, tidak membuat suatu rekayasa atau palsu dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Apabila ada indikasi dari anak berkata tidak atau bersikap tidak jujur, maka keduanya harus segera bertindak untuk meluruskannya. Namun dengan catatan, jangan sampai niat mulia untuk meluruskannya justru menjadi boomerang akibat tidak didasari dengan cara atau metode yang baik dan mulia pula.
Meskipun dalam UUD, UU, maupun konstitusi apapun tidak disebutkan bahwa untuk membentuk karakter jujur siswa merupakan peran utama kedua orang tua dan guru maupun dengan redaksi kalimat lain, namun mereka harus menyadari dengan seutuhnya akan hal itu sebagai fitrahnya. Sebab, jika tidak mereka, lantas siapa lagi yang dapat membentuk karakter kejujuran siswa?
Jikalau mengandalkan salah satu lingkungan saja, itu sungguh berat, apalagi jika mengandalkan lingkungan teman-teman siswa dalam bersosial. Itu semakin jauh dari harapan. Sebab, mereka semua masih membutuhkan pendidikan, pembimbingan, serta pengawasan intensif dari para orang tua dan gurunya. Dengan begitu, dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun kondisinya, mereka akan selalu digiring untuk selalu berkata dan bersikap jujur, hingga pada akhirnya kejujuran tersebut dapat mengkarakter dalam benak dan jiwa siswa.
Semoga, ke depan seluruh kedua orang tua dan guru lebih peduli dan bersinergi kepada anak dalam rangka membentuk karakter jujur padanya, sehingga terbentuk masyarakat Indonesia yang cerdas secara komprehensif, yakni baik cerdas spiritual, emosional, sosial, intelektual, maupun kinestetis. Dan harapannya itu mampu menjadi jembatan yang kokoh untuk dapat mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang unggul, maju, terhormat, serta bermartabat. Wallahu a’lam bi al-showab.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar