http://riaumandiri.co/read/detail/8051/revitalisasi-menghormati-guru.html
Revitalisasi Menghormati Guru
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih, Peraih
Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Tak dapat dipungkiri, bagaimanapun juga, kehadiran pendidikan merupakan
aspek pertama dan utama dalam proses pembangunan serta kemajuan suatu bangsa.
Sebab, penguasaan dalam seluruh aspek kehidupan yang meliputi politik, sosial,
ekonomi, hukum, dan lainnya bermula dari penguasaan pendidikan. Tanpa menguasai
pendidikan, mutahil aspek lainnya bisa terlaksana, bagaikan menegakkan tali
yang basah.
Padahal, meskipun aspek pendidikan sudah dipenuhi, itu pun belum
menjamin ‘kesuksesan’ seseorang dalam menyelesaikan urusan aspek lain. Apalagi
jika aspek pendidikan disepelekan, tentu urusan seluruh aspek lainnya akan
carut-marut. Sebab, untuk dapat sukses mengurus seluruh aspek dibutuhkan ilmu. Sementara
ilmu diperoleh melalui pendidikan. Sedangkan salah satu syarat utama untuk
memperoleh ilmu yang bermanfaat yaitu pencari ilmu (siswa) harus menghormati
gurunya.
Ya, menghormati guru merupakan salah satu kunci sukses untuk meraih
ilmu sebanyak-banyaknya dan bermanfaat. Lebih tepatnya, menghormati guru bisa
dibilang menjadi kunci pengantar kesuksesan kehidupan baik di dunia maupun
akhirat kelak. Sebab, dengan begitu, maka ilmu kita akan bermanfaat. Hal ini
senada dengan salah satu hadist nabi yang secara substansial menjelaskan bahwa
untuk dapat menguasai segala urusan baik yang bersifat duniawi, ukhrowi, maupun
keduanya, maka kita harus berilmu.
Dalam salah satu kitab akhlak yang mengupas tuntas tentang
pendidikan yakni Ta’lim al-Mutaallim, Syekh Ibrahim ibnu Isma’il telah
menegaskan bahwa seorang pencari ilmu tidak akan pernah memperoleh ilmu yang
bermanfaat kecuali dengan menghormati ilmu, para ahlinya, serta guru.
Namun ironisnya, kini banyak siswa cerdas secara intelektual namun
tidak menghormati para gurunya, bahkan menyepelekannya. Padahal, mereka bisa
menjadi cerdas, berwawasan, dan mengetahui dunia lantaran melalui guru. Maka,
fenomena itu diibaratkan dalam satu pepatah, kacang lupa akan kulitnya. Sebagai
salah satu ekspresi “geramnya”, sehingga KH. Bisri Mustofa dalam kitab akhlaknya
membuat sya’ir “akeh bocah pinter nanging ora bagus-sebab budi pakertine
podo gemagus”.
Syair tersebut menggambarkan potret kondisi kaum muda masa kini
merupakan kaum yang terpelajar dan berpendidikan, namun tidak beradab.
Pasalnya, mereka bukannya menggunakan ilmu untuk kemaslahatan umat, namun
justru untuk ‘meliciki’ umat dan menjadikannya sombong. Maraknya perilaku
koruptif pada masa kini merupakan salah satu bukti konkritnya yang tidak dapat
dibantah.
Maka tidak heran jika kaum cendekiawan, terpelajar, bahkan kalangan
agamis pun terlibat dalam kasus korupsi. Itu merupakan salah satu akibat
ilmunya tidak bermanfaat dan tidak menghormati para gurunya. Sehingga, zaman
sekarang banyak orang yang cerdas secara intelektual, namun minim secara
spiritual. Maka, itu lebih berbahaya, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Jadi, percuma apabila kita berhasil memperoleh ilmu yang banyak
namun tidak bermanfaat. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim mengibaratkannya sebagai
orang hidup tapi pada hakikatnya dia ‘mati’. Artinya, meskipun seseorang telah
memiliki ilmu melimpah, tapi di tengah masyarakat keilmuanya tidak dapat
dinikmati, baik diri sendiri maupun orang lain. Karena itu, sungguh merugi
orang semacam itu. Meskipun dia memiliki nyawa dan berilmu, namun tidak berguna
bagi diri sendiri dan orang lain.
Padahal, para guru telah tulus ikhlas mentransfomasikan
ilmu-ilmunya kepada para siswanya di sekolah, demi mencerdaskan mereka. Dengan
bersusah dan segala jerih payahnya, para guru berusaha sekuat tenaga untuk
dapat mengentaskan para muridnya dari jurang kebodohan. Hingga mereka rela
meluangkan waktu, bahkan meninggalkan keluarganya demi meraih tujuan mulianya,
meskipun sebagian guru tidak demikian. Maka, sungguh tepat jika guru menyandang
gelar pahlawan tanpa tanda jasa.
Oleh sebab itu, setiap penuntut ilmu (siswa) secara mutlak harus
menghormati gurunya. Itu menjadi poin yang tidak boleh dilupakan oleh siapapun jika
dia ingin ilmunya bermanfaat dan berguna bagi nusa dan bangsa. Sehingga, dalam
konteks ini, Ustadz Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, ketua ICMI Pusat, menegaskan
bahwa siswa harus menghormati gurunya sebagaimana mereka menghormati kedua
orang tuanya. Sebab, pada hakikatnya, guru adalah orang tua kedua.
Beliau berani berkata demikian sebab ketika siswa berada di rumah,
pengelola utama yang mencerdaskannya ialah
kedua orang tua. Namun, ketika siswa sudah berada di sekolah, maka
pengelola utama yang mencerdaskannya ialah para gurunya. Sehingga, tanggung
jawab dalam hal mencerdaskan antara orang tua dan guru setali tiga uang. Maka
dari itu, bagaimanapun kondisinya, kapan pun, dan dimana pun berada, siswa
harus tetap menghormati para gurunya, baik yang mengajarnya saat ini maupun di
masa lampau. Terlebih, siswa harus menyayangi
gurunya sebagaimana mereka menyayangi kedua orang tuanya.
Pemisalan ini sungguh tepat mengingat salah satu hadist nabi, ‘Ridlallahu
bi al-Rilha al-Walidain”. Secara substansial, maksudnya ialah kerelaan (ridla)
Allah itu bergantung pada kerelaan (ridla) kedua orang tuanya. Maka,
konsep ini berlaku pula dalam hal menuntut ilmu. Apabila kedua orang tua ridla,
maka Allah pun akan meridloi ilmu seorang anak yang sedang mencari ilmu.
Begitu pula dengan guru sebagai orang tua kedua. Jika mereka meridloi,
maka Allah juga akan meridloi ilmu siswa guru tersebut. Dengan diridloi
ilmunya, maka siswa akan menjadi insan yang bermanfaat bagi siapapun, kapan
pun, dan dimana pun berada.
Saking urgennya perihal menghormati guru, hingga salah satu sahabat
nabi, yakni Sayyidina Ali RA. pernah berkata bahwa beliau merupakan ‘hamba’
orang yang mengajarinya ilmu. Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, perkataan Ali
tersebut diinterpretasikan bahwa Ali mengabdi (pasrah) sepenuhnya kepada para
gurunya, pengabdiannya ibarat pengabdian seorang pembantu kepada tuannya.
Perilaku tersebut benar-benar diamalkan oleh beliau, sehingga
beliau menjadi sosok insan yang cerdas dan bermanfaat bagi siapapun. Terbukti,
beliau sukses menyandang gelar “Babu al-‘Ilm” dari nabi Muhammad, yang
berarti pintu ilmu. Pengamalan Ali itu merupakan manifestasi dari salah satu
hadist nabi yang secara substansial menegaskan bahwa barang siapa yang
mengajarkan satu ayat dari Al-Qur’an kepada seorang hamba, maka dia (pengajar)
adalah tuannya (hamba).
Oleh karenanya, dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, dalam penjelasan
tentang penghormatan pencari ilmu kepada para pengajarnya, Syekh Ibrahim
menggunakan kata “ta’dzim”. Sedangkan, dalam interpretasinya kata itu
dimaknai dengan kata “ihtiram”, yang secara etimologi jelas berarti menghormati.
Sebab, kata “ta’dzim” jika diartikan dengan menghormati, maka posisinya
berada di atas arti menghormati dari terjemahan kata “ihtirom”. Maka,
kata menghormati dari terjemahan kata “ta’dzim”sederajat dengan kata
memuliakan.
Maka dari itu, di zaman modernisasi ini, kita semua harus
memperkuat kembali jiwa hormat kita kepada para guru kita bagaimanapun,
dimanapun, dan kapanpun, agar kita memperoleh ilmu yang bermanfaat. Dan yang
terpenting, semua itu harus didasari dengan niat tulus ikhlas sebagai balas
budi jasa guru kita. Dengan begitu, maka kita akan terhindar dari berbagai
perilaku maupun tindakan negative yang telah melanda di negeri ini, terutama
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar