Jumat, 15 Mei 2015

Urgensi Kemandirian Sektor Pangan (Koran Pelita: 27 Agustus 2014)

Urgensi Kemandirian Sektor Pangan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Bidikmisi Mahasiswi Fakulatas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisong Semarang

Salah satu indikator sebuah bangsa dikatakan maju, unggul dan bermartabat yaitu apabila suatu bangsa memiliki ketahanan nasional yang kokoh. Salah satu jalan utamanya adalah menyelesaikan aspek ketahanan pangan. Langkah strategis untuk itu adalah melalui kemandirian pangan. Sebab, kunci pembangunan semua sektor pada suatu bangsa terletak pada kemandirian pangan. Dengan begitu, maka suatu negara akan memiliki ketahanan pangan dan nasional yang kuat sehingga akan terlepas dari ketergantungan kepada bangsa lain.
Di Indonesia, sektor pangan menjadi fondasi utama bagi ketahanan nasional sehingga diatur dalam Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang pangan. UU tersebut menjelasksan bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Bila dipahami secara menyeluruh, dalam UU tersebut telah mencakup ekonomi makro yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan juga ekonomi mikro yaitu kebutuhan pangan di setiap rumah tangga dapat terpenuhi sehingga bisa hidup sehat dan terjamin.
Artinya,  dalam hal memenuhi sektor pangan, Indonesia jangan sampai mengandalkan barang impor dari bangsa lain. Sebab, Indonesia adalah bangsa yang serba kaya (gemah ripah loh jinawe) dalam berbagai aspek yang tersebar hampir di setiap wilayah tanah air, terutama sektor pangan; yaitu berbagai pertanian seperti beras, jagung, sagu, dan perkebunan seperti karet, teh, dan kopi.
Terbukti ketika masa pemerintahan Soeharto, Indonesia berhasil meraih predikat “macan Asia”. Ini karena pemerintah Indonesia pada saat itu berhasil mengolah dan mengoptimalkan bahan pangan terutama sebagai produsen beras terbesar di Asia, bahkan di dunia. Sehingga, Indonesia tidak hanya  menjadi bangsa andalan dari rakyat sendiri, tapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. Sebenarnya, dengan seluruh kekayaan yang dimiliki, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bahan pangan dari bangsa luar, tapi justru sebaliknya, bangsa asing yang seharusnya mengimpor bahan pangan dari bangsa Indonesia. Maka, dengan begitu akan meningkatkan devisa negara sehingga rayat Indonesia akan sejahtera.
Namun, sejak pemerintahan Gus Dur hingga Susilo Bambang Yudoyono (SBY) prestasi gemilang itu telah sirna. Tidak satu pun sektor di negeri menjadi andalan bangsa ini. Parahnya, akhir-akhir ini bangsa Indonesia mengandalkan beberapa produk asing. Indonesia yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian notabene merupakan sektor pangan, tapi pemerintah malah mengimpor beras dari negara lain. Selain itu, juga mengimpor daging sapi, berbagai tanaman holtikultura, dan masih banyak lagi. Akibatnya, hal itu menjadikan para petani dan tukang kebun sengsara karena hasil produksinya tidak laku terjual.  (banyak itunya)
Oleh sebab itu, pemerintah bersama dengan rakyat harus bisa bersinergi dalam rangka mengoptimalkan pangan di negeri ini. Untuk meraih kesuksesan itu, paling tidak mereka harus memperhatikan beberapa aspek penting. Pertama adalah aspek ketersediaan pangan (Food Availability). Artinya, dalam suatu bangsa harus tersedia bahan pangan yang bisa mencukupi rakyatnya sehingga terjamin kesehatan dan gizinya. Dalam hal ini, ketersediaan bahan pangan bisa berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan ataupun bantuan negara lain
Kedua, aspek akses pangan (Food Acces). Artinya, kemampuan setiap rumah tangga dengan sumberdaya yang dimiliki bisa dimanfaatkan untuk memperoleh pangan yang cukup . Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan gizi dari produksi pangan sendiri, pembelian, cadangan ataupun bantuan pangan.  Dalam hal ini, secara umum akses rumah tangga terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Adapaun akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Sedangkan akses fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi). Dan akses sosial berkaitan tentang referensi pangan.
Ketiga, aspek penyerapan pangan (Food Utilazation) . Artinya, penggunaan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat meliputi energi,  gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga terhadap sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita. Penyerapan pangan atau konsumsi berkaitan erat dengan kualitas dan keamanan jenis pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Keempat, aspek stabilitas (Stabilitly). Artinya, ketahanan pangan membutuhkan dimensi waktu yang terbagi menjadi kerawanan pangan kronis dan kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis adalah kegagalan memperoleh kebutuhan pangan setiap saat. Sedangkan kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi sementara disebabkan kekeringan, banjir, bencana, maupun konflik sosial (SARA).
Maka dari itu, untuk memiliki ketahanan nasional yang kuat, paling tidak pemerintah bersama dengan seluruh rakyat Indonesia harus memperhatikan dan mengimplementasikan beberapa aspek tersebut. Apabila salah satu aspek tersebut tidak terpenuhi, maka bagaikan menegakkan benang yang basah, alias percuma saja. Dengan mensinergikan semua aspek tersebut, maka tidak mustahil jika bangsa Indonesia akan memiliki ketahanan pangan yang unggul, sehingga ketahanan nasional kuat dan tercipta Negara yang aman dan sejahtera, baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Wallahu a’lam bi al’showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar