Urgensi Kemandirian
Sektor Pangan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Bidikmisi Mahasiswi Fakulatas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan IAIN Walisong Semarang
Salah
satu indikator sebuah bangsa dikatakan maju, unggul dan bermartabat yaitu apabila suatu bangsa memiliki
ketahanan nasional yang kokoh. Salah satu jalan utamanya adalah menyelesaikan aspek ketahanan pangan. Langkah
strategis untuk itu adalah melalui kemandirian pangan. Sebab, kunci pembangunan semua sektor pada
suatu bangsa terletak pada kemandirian pangan. Dengan begitu, maka suatu negara akan memiliki ketahanan
pangan dan nasional yang kuat sehingga akan terlepas dari ketergantungan kepada
bangsa lain.
Di Indonesia, sektor pangan menjadi fondasi utama bagi
ketahanan nasional sehingga diatur dalam Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 1996 tentang
pangan. UU tersebut menjelasksan
bahwa ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya
pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Bila dipahami secara menyeluruh, dalam UU tersebut
telah mencakup ekonomi makro yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan juga
ekonomi mikro yaitu kebutuhan pangan di setiap rumah tangga dapat terpenuhi
sehingga bisa hidup sehat dan terjamin.
Artinya, dalam
hal memenuhi sektor pangan, Indonesia jangan sampai mengandalkan barang impor
dari bangsa lain. Sebab, Indonesia adalah bangsa yang serba kaya (gemah
ripah loh jinawe) dalam berbagai aspek yang tersebar hampir di
setiap wilayah tanah air, terutama sektor pangan; yaitu berbagai pertanian
seperti beras, jagung, sagu, dan perkebunan seperti karet, teh, dan kopi.
Terbukti ketika masa pemerintahan Soeharto, Indonesia
berhasil meraih predikat “macan Asia”. Ini karena pemerintah Indonesia pada
saat itu berhasil
mengolah dan mengoptimalkan bahan pangan terutama sebagai produsen beras
terbesar di Asia, bahkan di dunia. Sehingga, Indonesia tidak hanya menjadi bangsa andalan dari rakyat sendiri,
tapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. Sebenarnya, dengan seluruh kekayaan yang
dimiliki, Indonesia tidak perlu lagi mengimpor bahan pangan dari bangsa luar,
tapi justru sebaliknya, bangsa asing yang seharusnya mengimpor bahan pangan
dari bangsa Indonesia. Maka, dengan begitu akan meningkatkan devisa negara
sehingga rayat Indonesia akan sejahtera.
Namun, sejak pemerintahan Gus Dur hingga Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) prestasi gemilang itu telah sirna. Tidak satu pun sektor
di negeri menjadi andalan bangsa ini. Parahnya, akhir-akhir ini bangsa
Indonesia mengandalkan beberapa produk asing. Indonesia yang mayoritas
penduduknya bekerja di sektor pertanian notabene merupakan sektor pangan, tapi
pemerintah malah mengimpor beras dari negara lain. Selain itu, juga mengimpor daging
sapi, berbagai tanaman holtikultura, dan masih banyak lagi. Akibatnya, hal itu
menjadikan para petani dan tukang kebun sengsara karena hasil produksinya tidak
laku terjual. (banyak
itunya)
Oleh sebab itu, pemerintah bersama dengan rakyat harus
bisa bersinergi dalam rangka mengoptimalkan pangan di negeri ini. Untuk meraih
kesuksesan itu, paling tidak mereka harus memperhatikan beberapa aspek penting.
Pertama adalah aspek ketersediaan pangan (Food Availability). Artinya, dalam suatu
bangsa harus tersedia bahan pangan yang bisa mencukupi rakyatnya sehingga
terjamin kesehatan dan gizinya. Dalam hal ini, ketersediaan bahan pangan bisa
berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan ataupun bantuan negara
lain
Kedua,
aspek
akses pangan (Food Acces). Artinya, kemampuan
setiap rumah tangga dengan
sumberdaya yang dimiliki bisa
dimanfaatkan untuk memperoleh pangan yang cukup . Hal ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan gizi dari
produksi pangan sendiri, pembelian,
cadangan ataupun
bantuan pangan. Dalam hal ini, secara umum akses
rumah tangga terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial. Adapaun akses ekonomi tergantung
pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Sedangkan akses fisik menyangkut tingkat
isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi).
Dan akses sosial berkaitan tentang referensi
pangan.
Ketiga,
aspek
penyerapan pangan (Food Utilazation) . Artinya,
penggunaan pangan untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehat meliputi energi, gizi, air dan kesehatan lingkungan.
Efektifitas penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan rumah tangga terhadap sanitasi dan
ketersediaan air, fasilitas kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan
balita. Penyerapan pangan atau
konsumsi berkaitan erat
dengan kualitas dan keamanan jenis pangan untuk
memenuhi kebutuhan gizi.
Keempat,
aspek
stabilitas
(Stabilitly). Artinya, ketahanan
pangan membutuhkan dimensi waktu yang
terbagi menjadi kerawanan pangan
kronis dan kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan kronis adalah kegagalan
memperoleh kebutuhan pangan setiap saat. Sedangkan
kerawanan pangan sementara adalah kerawanan pangan yang terjadi sementara disebabkan kekeringan, banjir, bencana,
maupun konflik sosial (SARA).
Maka dari itu, untuk memiliki ketahanan nasional yang
kuat, paling tidak pemerintah bersama dengan seluruh rakyat Indonesia harus
memperhatikan dan mengimplementasikan beberapa aspek tersebut. Apabila salah
satu aspek tersebut tidak terpenuhi, maka bagaikan menegakkan benang yang
basah, alias percuma saja. Dengan mensinergikan semua aspek tersebut, maka
tidak mustahil jika bangsa Indonesia akan memiliki ketahanan pangan yang
unggul, sehingga ketahanan nasional kuat dan tercipta Negara yang aman dan
sejahtera, baldatun thoyyibatun warobbun ghofur. Wallahu a’lam bi
al’showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar