http://issuu.com/metroriau/docs/05082014/4
Lahirkan Birokrat Bebas KKN
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi IAIN Walisongo Semarang
Selama ini masyarakat terlalu sering disuguhi berita tentang kasus
korupsi melalui media massa, baik cetak maupun online. Parahnya, mayoritas pelaku
korupsi merupakan kaum yang berlatar belakang pendidikan tinggi, paling tidak
lulusan sarjana. Bahkan, ironisnya sebagian mereka merupakan kaum intelektual,
misalnya profesor, dosen, atau guru. Sehingga, masyarakat menjadi jenuh dan
muak dengan kebobrokan negeri ini, terutama di kalangan birokrat. Sebab, mayoritas
koruptor adalah dari kaum birokrat.
Sehubungan dengan hal itu, mengingat sebentar lagi pemerintah akan
melaksanakan tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) tepatnya pada tanggal 8
September, maka saat ini momentum
tersebut menjadi salah satu gerbong utama untuk mewujudkan negeri ini bebas
dari “hama koruptor”. Sebab, salah satu faktor utama penyebab mengguritanya
koruptor di negeri ini adalah terkontaminasinya proses pelaksanaan CPNS.
Pasalnya, seringkali banyak oknum baik birokrat, para calo, atau
rakyat sendiri yang memanfaatkan dan menyelewengkannya untuk memenuhi
kepentingan pribadi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk bisa lolos dan
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), masyarakat harus melakukan ritual saling
suap. Salah satu model praktiknya yaitu ketika menjelang masa seleksi tes CPNS
seringkali terjadi perjanjian transaksional antara oknum yang memberikan janji
dan jaminan kelulusan kepada peserta CPNS yang ingin lolos tes dengan mudah dan
praktis, ialah dengan menyuap.
Parahnya, praktik ini telah membudaya di negeri ini. Sehingga,
muncul istilah dalam bahasa jawa “ora suap, ora lolos”. Maka tak heran jika
setelah menjadi PNS banyak dari mereka melakukan korupsi. Itu disebabkan oleh paradigma
sesat mereka yang berorientasi mengembalikan dananya yang digunakan untuk
menyuap dahulu. Maka dari itu, mereka “saling mendahului” satu sama lain untuk
memperebutkan kursi jatah PNS. Ironisnya, demi kelancaran hajatnya, mereka mau
menempuhnya dengan berbagai cara tanpa memperhatikan kualitasnya, apakah halal
atau haram. Dalam fikirannya, yang penting mereka berhasil meraih kursi PNS.
Padahal, tes CPNS merupakan salah satu gerbong untuk melahirkan
para aparatur negara yang kompeten, profesional, amanah, berkualitas, dan
bertanggung jawab. Namun, apabila proses seleksi tes CPNS dinodai oleh
oknum-oknum tertentu yang hanya mengedepankan kepentingan pribadi di atas kepentingan umat dengan praktik-praktik
kotornya, maka kepemerintahan ini hanya akan dipenuhi oleh orang-orang busuk
dan jahat. Sebab, bermula dari proses seleksi CPNS. Apabila dari situ sudah ada
unsur KKN, maka akan berpeluang besar melahirkan banyak koruptor. Bila itu
terjadi, maka akan membahayakan nasib bangsa Indonesia dan menyebabkan
malapetaka. Sebab, negeri ini akan disetir oleh orang-orang jahat yang bukannya
memikirkan kesejahteraan rakyat, tapi kesejahteraan diri sendiri ataupun
kelompoknya.
Paradigma ingin menjadi PNS sebenarnya wajar saja dan tidak
bermasalah jika berorientasi ingin meraih kehidupan yang terjamin dan sejahtera.
Apalagi bila mengacu pada Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27 ayat 2
tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang
layak. Maka, bekerja menjadi suatu keniscayaan dan kewajiban bagi setiap insan.
Sebab, kita sebagai manusia biasa (human being) pasti membutuhkan makan
setiap hari. Kita bisa memperoleh makan apabila kita mau bekerja. Dengan
begitu, maka mereka akan berhasil meraih kesejahteraan hidup secara finansial.
Dalam konteks ini berlaku teori kausalitas (sebab-akibat) yang
pertama kali dicetuskan oleh Von Buri pada tahun 1873, seorang ahli hukum dari
Jerman. Maka dari itu, Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan umatnya untuk
bekerja keras. Sebab, kemiskinan akan menghantarkan umatnya kepada jalur
kekafiran. Maka, dengan bekerja keras, keimanan umatnya akan terjaga pula,
bahkan meningkat.
Dalam konteks membahas masalah mencari pekerjaan, teori kausalitas
itu dinilai adil dan pas, meskipun pada mulanya teori itu diberlakukan dalam
masalah hukum. Sebab, mustahil orang yang tidak mau bekerja keras bisa
memperoleh hasil yang bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari kecuali ada “rezeki
khusus” dari Tuhan. Bila orang semacam itu bisa memperoleh penghasilan untuk
mencukupi hidupnya, maka secara otomatis akan menimbulkan kecemburuaan sosial
bagi kaum yang mau bekerja keras untuk memperoleh penghasilan. Jika dengan
tidak bekerja tapi bisa memperoleh penghasilan, maka banyak orang tidak akan
bekerja. Sebab, dengan duduk manis saja mereka bisa hidup dengan berkecukupan.
Namun, dalam kehidupan ini, kondisi seperti hanya berlaku pada kondisi-kondisi
tertentu saja.
Oleh sebab itu, praktik-praktir kotor semacam itu harus segera
dimusnahkan dari negeri ini jika ingin rakyat Indonesia sejahtera. Sebab,
kesejahteraan rakyat bermula dari para birokrat. Apabila mereka profesional dan
amanah dalam mengemban tugas-tugasnya, maka tidak akan mustahil rakyat akan
sejahtera. Begitu pula sebaliknya.
Untuk bisa membersihkannya dari negeri ini, diperlukan sinergi
antara pemerintah dan rakyat. Di satu pihak, pemerintah harus tegas memberikan
sanksi hukum yang adil dan bijak kepada para pelaku praktik busuk itu. Jangan
sampai pemerintah lengah menghadapi masalah ini. Atau bahkan pemerintah
terlibat dalam praktik menjijikkan itu. Di sisi lain, bagi rakyat yang
mengikuti seleksi tes CPNS harus mau mengikuti seleksi sesuai prosedur yang
telah ditentukan pemerintah dan dengan jalan yang benar. Sedangkan bagi rakyat
yang tidak mengikuti seleksi, mereka ikut serta memantau proses pelaksanaan
seleksi. Apabila ada indikasi kecurangan, maka harus segera melaporkan kepada
pihak yang berwenang, selanjutnya ditindak tegas secara hukum. Dengan begitu,
maka tidak mustahil Indonesia akan dikelola oleh orang-orang yang berada di
jalan kebenaran, sehingga terwujud Indonesia bebas KKN. Wallahu a’lam bi
al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar