Melestarikan Budaya Wayang
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN
Walisongo Semarang
Wayang merupakan salah satu warisan budaya founding father yang
sangat unik di Indonesia, tepatnya di Jawa. Eksotismenya mampu membuat orang
terpesona melihatnya, tidak hanya dari kaum pribumi, melainkan juga bangsa
asing. Terbukti, tidak sedikit bangsa asing yang melakukan penelitian terhadap
asal-usul dan eksistensi wayang di Jawa. Di antara mereka adalah Hazeau, Kats,
Rentse, dan Kruyt. Mereka tertarik meneliti asal-usul wayang di Jawa karena
budaya tersebut tidak ditemukan di Negara lain. Jikalau ada, itu pun setelah
diteliti, memang wayang merupakan murni budaya peninggalan leluhur Jawa, bukan
merupakan produk impor dari negara lain.
Namun, mirisnya, kini kebudayaan wayang tampak seolah sudah tidak
memiliki nilai keunikan lagi di kacamata masyarakat Jawa, terutama generasi
muda. Pasalnya, generasi muda saat ini lebih memilih menonton musik band yang
notabene merupakan produk asing. Sebut
saja musik pop, rege, rock, dan lainnya. Fenomena tersebut sudah menadi rahasia
umum yang dapat kita temui dengan mudah di sekitar kita, terutama di lingkungan
kota metropolitan seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Lebih tragisnya,
tidak sedikit timbul perkelahian atau tawuran di kalangan mereka ketika sedang
asyik menontonnya.
Hal itu sungguh ironis. Sebab, generasi muda yang menjadi calon
penerus bangsa seharusnya mampu melestarikan budaya daerah, khususnya wayang
untuk pemda Jawa, namun faktanya justru sebaliknya. Jangankan melestarikan,
memiliki daya tarik saja hampir tidak terbesit sedikitpun dalam benak para
generasi muda saat ini. Mereka lebih bangga meniru budaya asing (baca: barat) dari pada jika
mereka harus melestarikan budaya sendiri. Bahkan, ironsnya, mncul perasaan malu
di sanubarinya kerika mereka harus melestarikan budaya jawa, terutama wayang.
Sebab, dalam paradigma mereka, melestarikan wayang merupakan suatu
perilaku yang dipandang tidak keren dan tidak menyenangkan, sehingga mereka
apatis terhadap nasib eksistensi wayang. Tampak bahwa mereka tidak peduli
apakah budaya wayang harus masih terjaga aau tidak. Terbukti, ketika sedang
diadakan pagelaran wayang di sejumlah daerah, kaum muda hanya bias dihitung jari. Itu pun mereka menonton tidak
sampai selesai dan tidak tertarik unutk memahami maksud dari kisah pewayangan.
Lebih banyak kaum tua yang menontonnya hingga selesai.
Mengetahui kondisi ‘mengenaskan’ demikian, sudah seharusnya seluruh
elemen masyarakat jawa terbuka hatinya dan tergerak untuk melestarikan wayang aga eksistensinya tetap
terjaga. Seba, jika bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga eksistensinya?
Jika kita teap apatis terhadapnya, maka eksistensi wayang dapat diprediksi
tinggal menghitung hari akan tergerus oleh budaya lain, alias punah.
Padahal, para pujangga jawa bisa dikatakan telah bersusah payah
menciptakan budaya tersebut. Selain itu, pagelaran wayang dapat dimanfaatkan
untuk berbagai hal, di antaranya ialah sebagai media berdakwah, menyeimbangkan
budaya rohaniah khas jawa, penghubung budaya tradisional klasik dan kerakyatan,
dan sebagainya.
Maka dari itu, diperlukan sejumlah langkah konkrit dalam rangka
menajga eksistensi budaya wayang. Di antaranya, pertama, mengetahui dan
memahami sejarah asal-usul dunia pewayangan. Langkah ini merupkan mutlak untuk
dilakukan oleh seluruh orang jawa. Sebab, salah satu factor pemicu lahirnya
suatu perasaan cinta dan kasih dayang terhadap sesuatu, itu bermula dari
pengetahuan kita atas sesuatu tersebut. Missal, jika kita mengetahui banyak
tentang seseorang yang kita cintai, maka akan tumbuh rasa cinta dan asih saying dalam benak kita yang tiada tara.
Sebab, kita akan memahami urgensi kecintaan kita terhadapnya. Pun terhadap
wayang.
Kedua, mendirikan komunitas peduli wayang. Langkah ini bisa kita
laksanakan untuk memperlancar langkah pertama, yakni memahami dnia pewayangan
dengan komprehensif. Dengan membentuk komunitas semcam ini, baik dari kalangan
pelajar, mahasiswa, mapun masyarakat, maka akan menjadi “kompor” bagi yang lain
agar menjadi lebih tertarik dan semangat memahami wayang. Dengan begitu, maka
mereka akan tergerak hatinya untuk melestarikan eksistensi budaya wayang.
Ketiga, lebih memperioritaskan mengadakan pagelaran wayang untuk
merayakan moementum tertentu dari pada band atau budaya lain yang bukan produk
lokal (produk asing). Langkah tersebut sangat solutif. Sebab, mungkin untuk
sekali dua kali kaum muda tidak akan begitu tertarik untuk menontonnya. Namun,
setelah terintervensi dari langkah pertama dan kedua, maka langkah ketiga itu
bisa menjadi penstimulus memunculkan rasa perhatian, ketertarikan, senang, dan
selanjutnya kepedulian terhadapnya. Jika demikian dapat terwujud, maka generasi
muda tidak akan rela jika budaya wayang akan tergerus oleh budaya lain akibat
perkembangan zaman di era globalisasi ini.
Semoga, kaum muda mudi era saat ini dapat tergugah hatinya untuk
senantiasa menjaga kelestarian budaya wayang yang merupakan produk lokal. Kita
harus bangga memiliki budaya yang sangat
unik, langka, dan tiada duanya di negeri manapun itu. Salam eksistensi wayang. Wallahu
a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar