Sekolah yang (Tidak) Memenjarakan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih Sampangan, Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN
Walisongo Semarang
“Barang siapa ingin menguasai dunia, maka dia harus menguasai
ilmu. Barang siapa ingin menguasai akhirat, maka dia harus menguasai ilmu. Dan
barang siapa ingin menguasai keduanya, maka dia harus menguasai ilmu pula”.
Demikian terjemahan bunyi salah satu hadist nabi Muhammad SAW. yang
menjelaskan tentang betapa urgennya ilmu berada di posisi tertinggi atas
segala-galanya. Dalam petikan hadist tersebut, Nabi dengan tegas berseru kepada
umatnya, bahwa untuk dapat menguasai segala-galanya baik yang bersifat duniawi
maupun ukhrowi, setiap orang harus berilmu. Artinya, mustahil apabila seseorang
ingin meraih suatu target tanpa didasari ilmu, bagaikan menegakkan tali yang
basah.
Kaum yang serius menekuni bidangnya, sejak zaman nabi hingga
sekarang, telah membuktikan kebenaran hadist tersebut. Apapun profesinya baik
sebagai kaum cendekiawan, pengusaha, pemimpin, telebih pendidik, mereka semua
sukses meraih cita-citanya dikarenakan mereka sebelumnya telah mendalami ilmu
di bidang masing-masing dengan serius. Dengan menguasai ilmu, sehingga
masing-masing pihak dapat menjalankan tugas dan urusannya dengan baik dan
lancar. Hukum alam itu berlaku siapapun, tidak ada pendiskriditan antar
kelompok, suku, ras, maupun agama tertentu.
Hal itu sangat berbaeda dengan kaum yang ingin berhasil meraih
cita-citanya namun tanpa diiringi usaha dan upaya menimba ilmu di bidangnya
dengan serius, maka cita-citanya hingga kapanpun tidak akan dapat
terealisasikan, alias hanya sebatas mimpi. Kenyataan itu merupakan konsekuansi
logis bagi siapapun, jika ingin meraih suatu target dengan lancar, maka dia
harus berilmu untuk menjadi jembatan penghantar keberhasilannya. Jika itu tidak
dilakukan, ibarat orang yang ingin mneyeberang sungai, namun dia tidak mau
memikirkan bagaimana caranya agar dia dapat menyeberanginya, bahkan apa yang
harus dilakukannya. Maka, hingga matipun dia tetap tidak akan dapat menyeberang sungai tesebut. Jika itu sampai
terwujud dalam kehidupan kita, maka sungguh sia-sia hidup kita.
Seiring perkembangan zaman, tempat menimba ilmu (baca: sekolah)
yang dulunya hanya berupa tempat yang luas dan terpenting cukup untuk berkumpul
untuk mentransformasikan ilmu, kini telah mengalami pertumbuhan dan kemajuan
yang sangat signifikan. Tempat pendidikan masa kini tidak lagi berwujud lapangan
yang bias digunakan berkumpul untuk bersekolah, namun telah berwujud bangunan
atau gedug yang sangat megah dan mewah. Bahkan, banyak sekolah di kota
metropolitan bisa disebut sebgagai sekolah VIP. Sebutan tersebut menggambarkan
betapa mewah dan lengkapnya fasilitas di sekolah-sekolah tesebut yang bernilai
cukup mahal.
Disamping itu, bentuk atau model sekolah khususnya di Indonesia juga
semakin bervariatif baik yang dinamakan sekolah, lembaga pendidikan, institusi,
maupun dengan mana lain. Secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sekolah modern
dan sekolah klasik. Adapun jenis sekolah modern terdiri dari Sekolah Dasar (SD)
hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) baik yang berbasis negeri maupun swasta,
baik formal maupun non formal, yang mata pelajarannya menyertakan materi-materi
ilmu modern, seperti bahasa inggris, bahasa arab, keterampilan teknologi dan
informatika, dan lainnya.
Sedangkan jenis sekolah klasik terdiri dari SD hingga SMA yang
mayoritas berbasis swasta dan tidak menyertakan mata pelajan modern, baik
formal maupun non formal. Bahkan, tidak hanya mata pelajarannya yang tergolong
klasik, bahkan metode pengajarannya dan kurikulumnya pun senantiasa
dilestarikan keklasikannya, misalnya pondok pesantren.
Sebenarnya baik sekolah modern maupun klasik itu perbedaannya
sungguh tipis, yakni setidaknya terletak pada aspek penyertaan mata pelajaran
modern, metode pengajarannya, dan kurikulumnya. Adapun tujuan semua sekolah
meskipun berbeda jenis tentu bertujuan untuk mencerdaskan umat. Maka, jika
sampai ada sekolah yang penyelenggaranya justru tidak berorientasi demikian,
itu dipertanyakan eksistensinya.
Ironisnya, kini ada sejumlah sekolah baik formal maupun non formal
bersifat ‘memenjarakan’ peserta didiknya. Pasalnya, kebijakan yang diterapkan
di sekolah tersebut sungguh kolot. Indikatornya, kebijakan tersebut bukannya
dapat menopang pengembangan dan kemajuan peserta didik, namun justru membuat
mereka ‘tersiksa’ meskipun itu diterapkan dengan dalih demi kebaikan siswa.
Jika benar demikian, namun apabila realitasnya justru
kebijakan-kebijakan di sekolah itu lebih menyebabkan banyak mudharat sehingga
membuat peserta didik tidak focus belajar, tidak semangat karena selalu
terfikirkan dengan kolotnya peraturan, bahkan menjadikan peserta didik stress,
maka sekolah semacam itu harus segera
berbenah diri, atau dibubarkan. Sebab, jika itu sampai berlarut-larut, maka
peserta didik yang akan banyak merugi dan juga orang tuanya.
Misalnya, larangan kepada peserta didik untuk mencari ilmu tambahan
(les) kepada guru di luar, bahkan les dengan guru sendiri di luar jam pelajaran
pun dilarang. Padahal, orientasi peserta didik itu sungguh mulia, yakni untuk
meningkatkan kepahamannya pada pelajaran tertentu dikarenakan banyaknya mata
pelajaran di sekolah, namun waktu sangat terbatas. Selain itu, peserta didik
dilarang mengikuti forum seminar ataupun perlombaan tertentu.
Padahal, pada hakikatnya ilmu tidak hanya dicari di kelas saja,
namun juga di luar kelas. Apalagi momentum seperti itu dapat menambah wawasan
dan khazanah intelektual peserta didik tidak hanya dalam teori, namun lebih
pada praktiknya. Maka semua itu akan sangat bermanfaat terutama bagi peserta
didik. Namun, jika semua itu dilarang,
itu artinya sekolah tersebut tidak ada bedanya dengan penjara yang memperlakuan
peserta didik seperti pelaku penjahat yang serba dilarang, padahal itu untuk
menunjang kemampuan dan kecerdasannya.
Semoga, sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan yang masih
memberlakukan kebijakan yang bersifat ‘memenjarakan’ para peserta didiknya
segera berbenah diri dan sadar bahwa sekolah merupakan rumah kedua bagi peserta
didik. Bahkan, penyelenggara sekolah harus mampu dan mampu berusaha semaksimal
mungkin agar dapat mewujudkan kondisi sekolah yang menyenangkan bagaikan taman.
Dengan begitu, maka para peserta didiknya akan betah dan nyaman menuntut illmu
di sekolah, sehingga harapannya tujuan pendidikan dapat terealisasikan dan
dapat mencetak generasi bangsa yang cerdas setidaknya baik secara intelektual,
emosial, maupun spiritual. Wallahu a’lam bi al showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar