Sabtu, 16 Mei 2015

Sekolah yang (Tidak) Memenjarakan (Koran Rakyat Jateng: 31 Maret 2015)



Sekolah yang (Tidak) Memenjarakan

Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Guru MILB YKTM Budi Asih Sampangan, Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang

Barang siapa ingin menguasai dunia, maka dia harus menguasai ilmu. Barang siapa ingin menguasai akhirat, maka dia harus menguasai ilmu. Dan barang siapa ingin menguasai keduanya, maka dia harus menguasai ilmu pula”.
Demikian terjemahan bunyi salah satu hadist nabi Muhammad SAW. yang menjelaskan tentang betapa urgennya ilmu berada di posisi tertinggi atas segala-galanya. Dalam petikan hadist tersebut, Nabi dengan tegas berseru kepada umatnya, bahwa untuk dapat menguasai segala-galanya baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi, setiap orang harus berilmu. Artinya, mustahil apabila seseorang ingin meraih suatu target tanpa didasari ilmu, bagaikan menegakkan tali yang basah.
Kaum yang serius menekuni bidangnya, sejak zaman nabi hingga sekarang, telah membuktikan kebenaran hadist tersebut. Apapun profesinya baik sebagai kaum cendekiawan, pengusaha, pemimpin, telebih pendidik, mereka semua sukses meraih cita-citanya dikarenakan mereka sebelumnya telah mendalami ilmu di bidang masing-masing dengan serius. Dengan menguasai ilmu, sehingga masing-masing pihak dapat menjalankan tugas dan urusannya dengan baik dan lancar. Hukum alam itu berlaku siapapun, tidak ada pendiskriditan antar kelompok, suku, ras, maupun agama tertentu.
Hal itu sangat berbaeda dengan kaum yang ingin berhasil meraih cita-citanya namun tanpa diiringi usaha dan upaya menimba ilmu di bidangnya dengan serius, maka cita-citanya hingga kapanpun tidak akan dapat terealisasikan, alias hanya sebatas mimpi. Kenyataan itu merupakan konsekuansi logis bagi siapapun, jika ingin meraih suatu target dengan lancar, maka dia harus berilmu untuk menjadi jembatan penghantar keberhasilannya. Jika itu tidak dilakukan, ibarat orang yang ingin mneyeberang sungai, namun dia tidak mau memikirkan bagaimana caranya agar dia dapat menyeberanginya, bahkan apa yang harus dilakukannya. Maka, hingga matipun dia tetap tidak akan dapat  menyeberang sungai tesebut. Jika itu sampai terwujud dalam kehidupan kita, maka sungguh sia-sia hidup kita.
Seiring perkembangan zaman, tempat menimba ilmu (baca: sekolah) yang dulunya hanya berupa tempat yang luas dan terpenting cukup untuk berkumpul untuk mentransformasikan ilmu, kini telah mengalami pertumbuhan dan kemajuan yang sangat signifikan. Tempat pendidikan masa kini tidak lagi berwujud lapangan yang bias digunakan berkumpul untuk bersekolah, namun telah berwujud bangunan atau gedug yang sangat megah dan mewah. Bahkan, banyak sekolah di kota metropolitan bisa disebut sebgagai sekolah VIP. Sebutan tersebut menggambarkan betapa mewah dan lengkapnya fasilitas di sekolah-sekolah tesebut yang bernilai cukup mahal.
Disamping itu, bentuk atau model sekolah khususnya di Indonesia juga semakin bervariatif baik yang dinamakan sekolah, lembaga pendidikan, institusi, maupun dengan mana lain. Secara umum terbagi menjadi dua, yaitu sekolah modern dan sekolah klasik. Adapun jenis sekolah modern terdiri dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) baik yang berbasis negeri maupun swasta, baik formal maupun non formal, yang mata pelajarannya menyertakan materi-materi ilmu modern, seperti bahasa inggris, bahasa arab, keterampilan teknologi dan informatika, dan lainnya.
Sedangkan jenis sekolah klasik terdiri dari SD hingga SMA yang mayoritas berbasis swasta dan tidak menyertakan mata pelajan modern, baik formal maupun non formal. Bahkan, tidak hanya mata pelajarannya yang tergolong klasik, bahkan metode pengajarannya dan kurikulumnya pun senantiasa dilestarikan keklasikannya, misalnya pondok pesantren.
Sebenarnya baik sekolah modern maupun klasik itu perbedaannya sungguh tipis, yakni setidaknya terletak pada aspek penyertaan mata pelajaran modern, metode pengajarannya, dan kurikulumnya. Adapun tujuan semua sekolah meskipun berbeda jenis tentu bertujuan untuk mencerdaskan umat. Maka, jika sampai ada sekolah yang penyelenggaranya justru tidak berorientasi demikian, itu dipertanyakan eksistensinya.
Ironisnya, kini ada sejumlah sekolah baik formal maupun non formal bersifat ‘memenjarakan’ peserta didiknya. Pasalnya, kebijakan yang diterapkan di sekolah tersebut sungguh kolot. Indikatornya, kebijakan tersebut bukannya dapat menopang pengembangan dan kemajuan peserta didik, namun justru membuat mereka ‘tersiksa’ meskipun itu diterapkan dengan dalih demi kebaikan siswa.
Jika benar demikian, namun apabila realitasnya justru kebijakan-kebijakan di sekolah itu lebih menyebabkan banyak mudharat sehingga membuat peserta didik tidak focus belajar, tidak semangat karena selalu terfikirkan dengan kolotnya peraturan, bahkan menjadikan peserta didik stress, maka sekolah semacam itu  harus segera berbenah diri, atau dibubarkan. Sebab, jika itu sampai berlarut-larut, maka peserta didik yang akan banyak merugi dan juga orang tuanya.
Misalnya, larangan kepada peserta didik untuk mencari ilmu tambahan (les) kepada guru di luar, bahkan les dengan guru sendiri di luar jam pelajaran pun dilarang. Padahal, orientasi peserta didik itu sungguh mulia, yakni untuk meningkatkan kepahamannya pada pelajaran tertentu dikarenakan banyaknya mata pelajaran di sekolah, namun waktu sangat terbatas. Selain itu, peserta didik dilarang mengikuti forum seminar ataupun perlombaan tertentu.
Padahal, pada hakikatnya ilmu tidak hanya dicari di kelas saja, namun juga di luar kelas. Apalagi momentum seperti itu dapat menambah wawasan dan khazanah intelektual peserta didik tidak hanya dalam teori, namun lebih pada praktiknya. Maka semua itu akan sangat bermanfaat terutama bagi peserta didik. Namun, jika semua  itu dilarang, itu artinya sekolah tersebut tidak ada bedanya dengan penjara yang memperlakuan peserta didik seperti pelaku penjahat yang serba dilarang, padahal itu untuk menunjang kemampuan dan kecerdasannya.
Semoga, sekolah-sekolah maupun lembaga pendidikan yang masih memberlakukan kebijakan yang bersifat ‘memenjarakan’ para peserta didiknya segera berbenah diri dan sadar bahwa sekolah merupakan rumah kedua bagi peserta didik. Bahkan, penyelenggara sekolah harus mampu dan mampu berusaha semaksimal mungkin agar dapat mewujudkan kondisi sekolah yang menyenangkan bagaikan taman. Dengan begitu, maka para peserta didiknya akan betah dan nyaman menuntut illmu di sekolah, sehingga harapannya tujuan pendidikan dapat terealisasikan dan dapat mencetak generasi bangsa yang cerdas setidaknya baik secara intelektual, emosial, maupun spiritual. Wallahu a’lam bi al showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar