Selasa, 19 Mei 2015

Melestarikan Budaya Wayang (Jateng Ekspres: 20 Mei 2015)



Melestarikan Budaya Wayang
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang
Wayang merupakan salah satu warisan budaya founding father yang sangat unik di Indonesia, tepatnya di Jawa. Eksotismenya mampu membuat orang terpesona melihatnya, tidak hanya dari kaum pribumi, melainkan juga bangsa asing. Terbukti, tidak sedikit bangsa asing yang melakukan penelitian terhadap asal-usul dan eksistensi wayang di Jawa. Di antara mereka adalah Hazeau, Kats, Rentse, dan Kruyt. Mereka tertarik meneliti asal-usul wayang di Jawa karena budaya tersebut tidak ditemukan di Negara lain. Jikalau ada, itu pun setelah diteliti, memang wayang merupakan murni budaya peninggalan leluhur Jawa, bukan merupakan produk impor dari negara lain.
Namun, mirisnya, kini kebudayaan wayang tampak seolah sudah tidak memiliki nilai keunikan lagi di kacamata masyarakat Jawa, terutama generasi muda. Pasalnya, generasi muda saat ini lebih memilih menonton musik band yang notabene  merupakan produk asing. Sebut saja musik pop, rege, rock, dan lainnya. Fenomena tersebut sudah menadi rahasia umum yang dapat kita temui dengan mudah di sekitar kita, terutama di lingkungan kota metropolitan seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Lebih tragisnya, tidak sedikit timbul perkelahian atau tawuran di kalangan mereka ketika sedang asyik menontonnya.
Hal itu sungguh ironis. Sebab, generasi muda yang menjadi calon penerus bangsa seharusnya mampu melestarikan budaya daerah, khususnya wayang untuk pemda Jawa, namun faktanya justru sebaliknya. Jangankan melestarikan, memiliki daya tarik saja hampir tidak terbesit sedikitpun dalam benak para generasi muda saat ini. Mereka lebih bangga meniru  budaya asing (baca: barat) dari pada jika mereka harus melestarikan budaya sendiri. Bahkan, ironsnya, mncul perasaan malu di sanubarinya kerika mereka harus melestarikan budaya jawa, terutama wayang.
Sebab, dalam paradigma mereka, melestarikan wayang merupakan suatu perilaku yang dipandang tidak keren dan tidak menyenangkan, sehingga mereka apatis terhadap nasib eksistensi wayang. Tampak bahwa mereka tidak peduli apakah budaya wayang harus masih terjaga aau tidak. Terbukti, ketika sedang diadakan pagelaran wayang di sejumlah daerah, kaum muda hanya bias  dihitung jari. Itu pun mereka menonton tidak sampai selesai dan tidak tertarik unutk memahami maksud dari kisah pewayangan. Lebih banyak kaum tua yang menontonnya hingga selesai.
Mengetahui kondisi ‘mengenaskan’ demikian, sudah seharusnya seluruh elemen masyarakat jawa terbuka hatinya dan tergerak untuk  melestarikan wayang aga eksistensinya tetap terjaga. Seba, jika bukan kita, siapa lagi yang akan menjaga eksistensinya? Jika kita teap apatis terhadapnya, maka eksistensi wayang dapat diprediksi tinggal menghitung hari akan tergerus oleh budaya lain, alias punah.
Padahal, para pujangga jawa bisa dikatakan telah bersusah payah menciptakan budaya tersebut. Selain itu, pagelaran wayang dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal, di antaranya ialah sebagai media berdakwah, menyeimbangkan budaya rohaniah khas jawa, penghubung budaya tradisional klasik dan kerakyatan, dan sebagainya.
Maka dari itu, diperlukan sejumlah langkah konkrit dalam rangka menajga eksistensi budaya wayang. Di antaranya, pertama, mengetahui dan memahami sejarah asal-usul dunia pewayangan. Langkah ini merupkan mutlak untuk dilakukan oleh seluruh orang jawa. Sebab, salah satu factor pemicu lahirnya suatu perasaan cinta dan kasih dayang terhadap sesuatu, itu bermula dari pengetahuan kita atas sesuatu tersebut. Missal, jika kita mengetahui banyak tentang seseorang yang kita cintai, maka akan tumbuh rasa cinta dan asih  saying dalam benak kita yang tiada tara. Sebab, kita akan memahami urgensi kecintaan kita terhadapnya. Pun terhadap wayang.
Kedua, mendirikan komunitas peduli wayang. Langkah ini bisa kita laksanakan untuk memperlancar langkah pertama, yakni memahami dnia pewayangan dengan komprehensif. Dengan membentuk komunitas semcam ini, baik dari kalangan pelajar, mahasiswa, mapun masyarakat, maka akan menjadi “kompor” bagi yang lain agar menjadi lebih tertarik dan semangat memahami wayang. Dengan begitu, maka mereka akan tergerak hatinya untuk melestarikan eksistensi budaya wayang.
Ketiga, lebih memperioritaskan mengadakan pagelaran wayang untuk merayakan moementum tertentu dari pada band atau budaya lain yang bukan produk lokal (produk asing). Langkah tersebut sangat solutif. Sebab, mungkin untuk sekali dua kali kaum muda tidak akan begitu tertarik untuk menontonnya. Namun, setelah terintervensi dari langkah pertama dan kedua, maka langkah ketiga itu bisa menjadi penstimulus memunculkan rasa perhatian, ketertarikan, senang, dan selanjutnya kepedulian terhadapnya. Jika demikian dapat terwujud, maka generasi muda tidak akan rela jika budaya wayang akan tergerus oleh budaya lain akibat perkembangan zaman di era globalisasi ini.
Semoga, kaum muda mudi era saat ini dapat tergugah hatinya untuk senantiasa menjaga kelestarian budaya wayang yang merupakan produk lokal. Kita harus bangga  memiliki budaya yang sangat unik, langka, dan tiada duanya di negeri manapun itu. Salam eksistensi wayang. Wallahu a’lam bi al-showab.