Tolikara dan Pentingnya Pendidikan Bermutu
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Sekitar dua minggu lalu, republik ini digemparkan dengan satu
peristiwa yang menyedihkan Pasalnya, ketika umat muslim di Kabupaten Tolikara,
Papua sedang melaksanakan sholat ‘ied hari raya idul fitri ada sejumlah
kelompok yang melakukan pembubaran secara paksa hingga melakukan pembakaran
mushola dan beberapa kios. Meskipun penjelasan berbagai sumber media massa baik
cetak maupun online bahwa akaar permasalahan itu dikarenakan karena faktor
minimnya sifat serta sikap toleransi antar mat beragama, unsur politis dari
oknum kelompok tertentu, maupun faktor sosisal-politik lainnya, namun apabila
kita mau menelaah lebih mendalam, rendahnya kualitas pendidikan di sana
merupakan faktor tak kalah penting munculnya peristiwa itu.
Ya, sudah menjadi rahasia umum bahwa aspek pendidikan merupakan
satu aspek yang sangat urgen bagi penentu kemajuan suatu negeri. Hingga Dr.
Mohammad Nasih, dosen Pascasarjana FISIP UI menegaskan bahwa tingkat kualitas
pendidikan suatu masyarakat sedikit banyak akan sangat mempengaruhi pola
kehidupan masyarakat itu. Terlebiih, juga akan sangat mempengaruhi tingkat
kriminalitas di lingkungan masyarakat itu. Apabila tingkat kualitas pendidikan
mereka tinggi, maka akan berpotensi minimnya munculnya kriminalitas di situ.
Pun sebaliknya.
Artinya, apabila masyarakat di situ memiliki tingkat pendidikan
yang tinggi, maka mereka akan berpikir seribu kali sebelum melakukan suatu aksi
kriminal. Hal itu bukan karena semata-mata mereka gengsi ketika mereka akan
melakukan suatu tndak criminal, mereka khawatir integritasnya akan luntur.
Sebenanrnya jika mereka melakukannya, hal itu secara otomatis juga akan
terjadi. Namun, lebih dari itu. Mereka berpikir seribu kali karena mereka
memiliki pengetahuan serat pengalaman hidu yang lebih luas. Kedua faktor itu
tentu akan sangat mempengaruhi tingkat kedewasaan dan kebijaksanaan mereka.
Semakin mereka berpengalaman dan berpengetahuan luas, maka akan semakin dewasa
dan bijak pula mereka untuk melangkah. Pun sebaliknya.
Oleh karena itu, salah satu faktor utama terjadinya peristiwa
kerusuhan tempo lalu di Tolikara sebenarnya ialah karena masih “rendahnya”
kualitas pendidikan di sana. Hal itu berdasarkan fakta di sana sejauh ini. Karena
“rendahnya” kualitas pendidikan, di sana tidak anya sekali dua kali terjadi
sejumlah peristiwa serupa. Dengan kata lain, berbagai tindakan kriminalitas
sudah sering terjadi di daerah sana, terutama yang menyangkut tentang masalah social,
politik, maupun ekonomi.
Berdasarkan data dari lembaga pemerintah Badan Pusat Statistik
(BPS), angka melek huruf di Papua sekitar 75, 83 persen. Namun, dalam satu
forum diskusi khusus di UGM Yogyakarta tahun lalu yang digelar oleh komunitas
mahasiswa asal Papua dengan bertemakan “Perspektif Pengembangan Pendidikan di
Papua: Problematika dan Strategi Pengembangan Pendidikan di Papua”, Bambang
Purwoko, selaku ketua Pokja Papua UGMdan sekaligus dosen Fisipol UGM membantah
bahwa data pemerintah itu tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Kondisi yang
sesungguhnya terutama di daerah pegunungan bahkan lebih buruk dari pada data itu.
Sebab katanya, membahas mengenai Papua, maka tidak hanya membahas tentang Jayapura
dan Merauke, namun juga Intan Jaya, Deiyai, dan Puncak. (okezone, 3/6/14).
Penyebab rendahnya pendidikan
Adapun penyebab masalah pendidikan di Papua hingga saat ini ialah
merupakan masalah klasik yang tidak kian terselaikan secara jelas dan pasti.
Pasalnya, dari dulu hingga kini, rendahnya kualitas pendidikan di Papua
disebabkan oleh sejumlah faktor utama, di antaranya berasal dari pihak
pemerintah dan sejumlah warga Papua sendiri.
Di satu sisi, masih minimnya perhatian pemerintah untuk menyentuh
wilayah Papua dalam rangka mengembangkan dan menigkatkan kualitas pendidikan di
sana, sehingga hal berdampak pada masih minimnya sarana dan prasarana
pendidikan di sana. Kondisi terpuru itu dapat kita ketahui misalnya hanya
melihat sekilas kondisi bangunannya, maka kita akan mengelus dada. Sebab,
kondisi bangunan serata fasislitas pendidikan di Papua jauh di bawah
representatif. Seperti meja-kursi/ bangku yang sudah tidak layak pakai,
bangunan yang tampak tua, bahkan dengan tembok yang sudah mendoyong pertanda
sudah berumur sangat tua, kurang terawatt, dan tinggal menghitung hari. Selain
itu, juga masih minimnya persebran guru professional di Papua. Sehingga hal itu
semakin melengkapi faktor penghambat majunya endidikan masyarakat Papua.
Generasi Indonesia di Papua tentu akan sangat terhambat uuntuk dapat
meningkatkan pengetahuan intelektualnya.
Di sisi lain, sebagian masyarakat Papua masih memiliki paradigma
yang terbelakang. Pasalnya, ada sebagian dari mereka yang masih belum menyadari
betapa pentingnya pendidikan. Sehingga faktor itu berdampak pada kurang
minatnya dari mereka untuk menitipkan putra-putri mereka di bangk sekolah.
Bahkan, sebagian dari mereka ada yang masih merasa tabu dengan pendidikan.
Dengan kata lain, system pendidikan di sana merpakan sesuatu yang dirasa dan
dipandang aneh atau asing. Sehingga, faktor itu juga menjadi satu penghambat
tersendiri bagi perkemangan pendidikan mereka. Dengan kondisi minimnya sarana prasarana,
persebran guru professional, serta kesadaran masyarakat Papua tentang
pentingnya pendidikan, maka komplitlah penghambat kemajuan pendidikan di Papua.
Oleh karena itu, maka tidak heran jika di sana sering terjadi
perselisihan atau tindak criminal yang bersifat antar ras, suku, atau umat
beragama hingga menimbulkan satu tawuran atau peperangan antar kelompok seperti
peristiwa pembakaran mushola dan kios-kios pada waktu lalu yang mengatasnamakan
satu kelompok tertentu.
Bersinergi meningkatkan kualitas pendidikan
Maka dari itu, penting kiranya khususnya baik bagi pemerintah
maupun juga masyarakat Papua sendiri agar dapat bersinergi dan bersatu untuk
meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat Papua. Caranya, bagi pemerintah, setidaknya
dengan berdasarkan UUD 1945 Pasal 31 tentang pemerataan pendidikan, pemerintah
harus segera meningkatkan fasilitas yang meliputi sarana dan prasarana
pendidikan di sana, termasuk persebaran guru professional dan ahli di sana
untuk memberikan “pencerahan” kepada rakyat Papua yang masih minim ilmu. Dengan
membantu berupa memperbanyak local sekolah, merenovasi sekolah-sekolah yang
sudah tua dan tidak representatif, maka akan dapat memenuhi hasrat masyarkat
Papua yang masih haus pendidikan.
Sedangkan bagi masyarakat Papua, mereka harus berani merevolusi
mental mereka sendiri. Artinya, mereka harus mau sadar betapa pentingnya
pendidikan. Sebab, kemajuan berawal dari pendidikan. Dengan memiliki tingkat
kualitas pendidikan yang tinggi, maka akan memulai karir kemajuan masyarakat Papua
di masa mendatang.
Setidaknya dengan melakukan kedua langkah strategis itu, maka
peristiwa kerusuhan Tolikara minggu lalu akan menajdi pelajaran berharaga bagi
kita semua khususnya bagi masyarakat Papua betapa pentingnya pendidikan untuk
mewujudkan kehidupan yang damai, harmonis, dan sejahtera. Wallahu a’lam bi
al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar