Sabtu, 01 Agustus 2015

Memaknai Halal bi Halal (Dimuat di koran Jateng Pos edisi Sabtu, 1 Agustus 2015)



 
Memaknai Halal bi Halal
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Hari raya idul fitri telah berlalu seminggu lalu. Meskipun begitu, hingga hari ini suasana hari spesial itu masih terasa kuat, khususnya di Indonesia. Faktor pengaruh kuatnya suasana lebaran itu tak lain karena adanya salah satu tradisi di Indonesia untuk saling bersilaturrahmi (mengunjungi) mulai dari sanak keluarga, kerabat, teman, hingga antar komunitas. Tradisi itu dikenal dengan sebutan “halal bi halal”.
Ya, halal bi halal merupakan satu tradisi unik yang ada di Indonesia. Tradisi itu merupakan kelanjutan dari perayaan momentum lebaran. Dan tradisi itu hanya berlaku bagi masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri dengan saling bersilaturrahmi ke sesama muslim. Di tanah arab pun yang merupakan jantung lahirnya agama Islam tidak ada perayaan itu. Biasanya, orientasi melaksanakan tradisi itu ialah untuk menyambung hubungan kekeluargaan, persaudaraan, kekerabatan, maupun persahabatan khususnya dalam lingkup komunitas masyarakat muslim.
Pada dasarnya, dalam Islam tidak ada landasan formal berupa dalil naqli untuk mengadakan agenda halal bi halal. Namun, yang ada dalam ajaran Islam ialah mendidik umatnya khususnya umat Islam agar saling menyambung hubungan silaturahmi, terutama antar sesama muslim. Hal itu sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Nisa’ ayat 1. Selain itu, Nabi Muhammad SAW. Juga pernah bersabda dalam hadistnya riwayat Imam Bukhori dari Anas ibn Malik yang secara subtsantif berisi himbauan kepada umatnya agar mendawamkan sillaturrahmi, karena itu dapat memperluas rizki kita. Atas dasar interpretasi dari dalil itu, maka masyarakat Indonesia mengimplementasikannya dengan salah satu bentuknya yaitu tradisi halal bi halal.
Sebenarnya, sah-sah saja jika kita sebagai masyarakat muslim Indonesia senantiasa memprogramkan agenda halal bi halal setiap tahun setelah hari raya idul fitri dengan bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi, baik dilakukan secara formal maupun non formal. Namun, ironisnya tidak sedikit pula dari kita yang belum mampu memahamai substansi utama dari perayaan halal bi halal. Padahal, itu merupakan suatu keniscayaan, terutama bagi kita yang melaksanakan ritual tahunan tersebut.
Jika kita mau bermuhasabah lebih mendalam, sebenarnya tujuan halal bi halal tidaklah sesempit itu, namun lebih dari itu. Tujuan yang sebenarnya selain untuk mempererat hubungan antar umat muslim ialah agar ke depan keharmonisan hubungan antar umat muslim khususnya senantiasa terjaga. Bukan setelah melakukan ritual itu namun beberapa bulan ke depan kita lantas melupakan esensi ritual itu dengan menodainya berupa perilaku kita yang bersifat tercela atau negatif, sehingga menyinggung atau bahkan merugikan pihak lain.
Lebih miris lagi jika kita lebih menonjolkan kepentingan pribadi kita di atas kepentingan umat, sehingga tradisi halal bi halal hanya sebatas ritual tahunan tanpa makna sedikitpun. Jika demikian faktanya, lantas untuk apa kita mengadakan halal bi halal setiap tahun? Masih perlukah kita adakan tradisi itu tiap tahun jika pada akhirnya perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari sama sekali tidak mengalami peruabahan ke arah positif sedikitpun ? yang ada hanyalah kita sudah membuang waktu, pikiran, tenaga, maupun material. Dengan kata lain, program tradisi itu muspro.
Jika kita memang masih “memerlukan” untuk mengadakan tradisi halal bi halal stiap tahunnya, maka kita tidak boleh menafikan substansi tujuan utamanya untuk membuat prubahan perilaku kita di masa depan agar menjadi pribadi yang lebih baik dan terpuji. Apabila setelah melaksanakan tradisi itu kita masih berperilaku hina seperti korupsi, mendhalimi diri sendiri maupun pihak lain, bahkan menghilangkan nyawa orang lain, itu artinya kita tak perlu mengadakan tradisi itu. Sebab, perilaku kita setali tiga uang antara sebelum dan sesudah merayakannya.
Maka, penulis menyarankan kepada seluruh umat muslim khususnya di Indonesia agar dapat memahami hakekat halal bi halal yang sesungguhnya, bukan untuk orientasi yang bersifat semu bak fatamorgana. Lebih dari itu, kita semua harus menyadari bahwa sebenarnya bahwa untuk mempererat hubungan persaudaraan, kekerabatan, persahabatan, maupun hubungan persatuan lainnya dengan pihak lain tidak perlu menunggu momentum sakral halal bi halal hingga satu tahun lamanya setelah hari raya idul fitri.
Sebab, keharmonisan antar umat manusia akan terwujud jika ada sifat serta sikap saling pengertian satu sama lain. Apabila ada suatu kesalahan atau kekhilafan yang kita perbuat baik sengaja maupun tidak, alangkah lebih baiknya jika kita segera mengklarifikasi dan meminta maaf kepada pihak yang sudah kita dhalimi dan merasa kita rugikan. Untuk meminta maaf, kita tidak perlu menunggu momentum halal bi halal hingga tahun mendatang. Dengan begitu, maka akan selalu eratlah hubungan antar umat manusia, tidak hanya antar sesama umat muslim.
Dengan demikian, artinya alangkah lebih baiknya jikalau kita mentradisikan halal bi halal setiap saat-mesikpun secara tidak formal-tidak hanya setelah lebaran. Sebab, setiap saat saat setiap pribadi pasti berpotensi dan berpeluang berbuat kesalahan atau kekhilafan baik kepada diri sendiri maupun pihak lain. Hal itu selaras dengan pepatah arab kuno yang berbunyi, “al insan mahallaun khotto’ wa al-nisyan” (manusia itu tempat bersalah dan lupa). Maka, sudah sepantasnya bagi kita untuk dapat mengatur mindset agar senantiasa mendawamkan tradisi halal bi halal setiap saat.  Dengan begitu, otomatis akan tercipta kehidupan yang aman, nyaman, tentram, damai, dan sentosa yang dirihloi oleh Allah. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar