Memaknai Halal bi Halal
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Hari raya idul fitri telah berlalu seminggu lalu. Meskipun begitu,
hingga hari ini suasana hari spesial itu masih terasa kuat, khususnya di
Indonesia. Faktor pengaruh kuatnya suasana lebaran itu tak lain karena adanya
salah satu tradisi di Indonesia untuk saling bersilaturrahmi (mengunjungi)
mulai dari sanak keluarga, kerabat, teman, hingga antar komunitas. Tradisi itu
dikenal dengan sebutan “halal bi halal”.
Ya, halal bi halal merupakan satu tradisi unik yang ada di
Indonesia. Tradisi itu merupakan kelanjutan dari perayaan momentum lebaran. Dan
tradisi itu hanya berlaku bagi masyarakat Indonesia, baik yang tinggal di
Indonesia maupun di luar negeri dengan saling bersilaturrahmi ke sesama
muslim. Di tanah arab pun yang merupakan jantung lahirnya agama Islam tidak ada
perayaan itu. Biasanya, orientasi melaksanakan tradisi itu ialah untuk
menyambung hubungan kekeluargaan, persaudaraan, kekerabatan, maupun
persahabatan khususnya dalam lingkup komunitas masyarakat muslim.
Pada dasarnya, dalam Islam tidak ada landasan formal berupa dalil
naqli untuk mengadakan agenda halal bi halal. Namun, yang ada dalam
ajaran Islam ialah mendidik umatnya khususnya umat Islam agar saling menyambung
hubungan silaturahmi, terutama antar sesama muslim. Hal itu sebagaimana
termaktub dalam QS. Al-Nisa’ ayat 1. Selain itu, Nabi Muhammad SAW. Juga pernah
bersabda dalam hadistnya riwayat Imam Bukhori dari Anas ibn Malik yang secara
subtsantif berisi himbauan kepada umatnya agar mendawamkan sillaturrahmi,
karena itu dapat memperluas rizki kita. Atas dasar interpretasi dari dalil itu,
maka masyarakat Indonesia mengimplementasikannya dengan salah satu bentuknya
yaitu tradisi halal bi halal.
Sebenarnya, sah-sah saja jika kita sebagai masyarakat muslim
Indonesia senantiasa memprogramkan agenda halal bi halal setiap tahun
setelah hari raya idul fitri dengan bertujuan untuk mempererat tali silaturrahmi,
baik dilakukan secara formal maupun non formal. Namun, ironisnya tidak sedikit
pula dari kita yang belum mampu memahamai substansi utama dari perayaan halal
bi halal. Padahal, itu merupakan suatu keniscayaan, terutama bagi kita yang
melaksanakan ritual tahunan tersebut.
Jika kita mau bermuhasabah lebih mendalam, sebenarnya tujuan
halal bi halal tidaklah sesempit itu, namun lebih dari itu. Tujuan yang
sebenarnya selain untuk mempererat hubungan antar umat muslim ialah agar ke
depan keharmonisan hubungan antar umat muslim khususnya senantiasa terjaga.
Bukan setelah melakukan ritual itu namun beberapa bulan ke depan kita lantas
melupakan esensi ritual itu dengan menodainya berupa perilaku kita yang bersifat
tercela atau negatif, sehingga menyinggung atau bahkan merugikan pihak lain.
Lebih miris lagi jika kita lebih menonjolkan kepentingan pribadi
kita di atas kepentingan umat, sehingga tradisi halal bi halal hanya
sebatas ritual tahunan tanpa makna sedikitpun. Jika demikian faktanya, lantas
untuk apa kita mengadakan halal bi halal setiap tahun? Masih perlukah
kita adakan tradisi itu tiap tahun jika pada akhirnya perilaku kita dalam
kehidupan sehari-hari sama sekali tidak mengalami peruabahan ke arah positif
sedikitpun ? yang ada hanyalah kita sudah membuang waktu, pikiran, tenaga,
maupun material. Dengan kata lain, program tradisi itu muspro.
Jika kita memang masih “memerlukan” untuk mengadakan tradisi halal
bi halal stiap tahunnya, maka kita tidak boleh menafikan substansi tujuan
utamanya untuk membuat prubahan perilaku kita di masa depan agar menjadi pribadi
yang lebih baik dan terpuji. Apabila setelah melaksanakan tradisi itu kita
masih berperilaku hina seperti korupsi, mendhalimi diri sendiri maupun pihak
lain, bahkan menghilangkan nyawa orang lain, itu artinya kita tak perlu
mengadakan tradisi itu. Sebab, perilaku kita setali tiga uang antara sebelum
dan sesudah merayakannya.
Maka, penulis menyarankan kepada seluruh umat muslim khususnya di
Indonesia agar dapat memahami hakekat halal bi halal yang sesungguhnya,
bukan untuk orientasi yang bersifat semu bak fatamorgana. Lebih dari itu, kita
semua harus menyadari bahwa sebenarnya bahwa untuk mempererat hubungan
persaudaraan, kekerabatan, persahabatan, maupun hubungan persatuan lainnya
dengan pihak lain tidak perlu menunggu momentum sakral halal bi halal
hingga satu tahun lamanya setelah hari raya idul fitri.
Sebab, keharmonisan antar umat manusia akan terwujud jika ada sifat
serta sikap saling pengertian satu sama lain. Apabila ada suatu kesalahan atau
kekhilafan yang kita perbuat baik sengaja maupun tidak, alangkah lebih
baiknya jika kita segera mengklarifikasi dan meminta maaf kepada pihak yang
sudah kita dhalimi dan merasa kita rugikan. Untuk meminta maaf, kita
tidak perlu menunggu momentum halal bi halal hingga tahun mendatang.
Dengan begitu, maka akan selalu eratlah hubungan antar umat manusia, tidak
hanya antar sesama umat muslim.
Dengan demikian, artinya alangkah lebih baiknya jikalau kita
mentradisikan halal bi halal setiap saat-mesikpun secara tidak
formal-tidak hanya setelah lebaran. Sebab, setiap saat saat setiap pribadi
pasti berpotensi dan berpeluang berbuat kesalahan atau kekhilafan baik
kepada diri sendiri maupun pihak lain. Hal itu selaras dengan pepatah arab kuno
yang berbunyi, “al insan mahallaun khotto’ wa al-nisyan” (manusia itu
tempat bersalah dan lupa). Maka, sudah sepantasnya bagi kita untuk dapat
mengatur mindset agar senantiasa mendawamkan tradisi halal bi halal
setiap saat. Dengan begitu, otomatis
akan tercipta kehidupan yang aman, nyaman, tentram, damai, dan sentosa yang
dirihloi oleh Allah. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar