Ijasah Palsu, Dekadensi Pendidikan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, tanah air kita sedang gencar dengan berita kasus
ijasah palsu. Kasus tersebut sebenarnya bukan merupakan kasus baru yang
membesit di dunia pendidikan. Namun, dalam perkembangan sejauh ini, praktik itu
dapat dinilai tergolong parah. Pasalnya, persebaran praktik jual beli ijasah
palsu tidak hanya melalui orang-orang tertentu, melainkan telah dilakukan
secara terang-terangan. Bahkan, kita dapat menemukan dengan mudah praktik busuk
tersebut ketika kita sedang ‘googling’. Klimaksnya, pada bulan Mei lalu, tim
Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di bawah
pimpinan Muhammad Nasir berhasil menguak praktik menjijikkan tersebut di salah
satu Universitas di Jakarta dan Medan.
Praktik ijasah palsu itu tentu sangat meresahkan para sivitas
akademik sejati. Sebab, selain merusak citra pendidikan nsional di republik ini,
praktik tersebut juga menyebabkan melemahnya kualitas pendidikan kita. Dan poin
kedua itu justru yang perlu kita perhatikan dengan seksama. Kita haarus
menyadari bahwa hal itu sungguh berbahaya bagi nasib eksistensi negeri ini.
Sebab, perkembangan seluruh aspek dalam kehidupan ini baik politik, hukum,
ekonomi, budaya, maupun aspek lainnya bermula dari aspek pendidikan. Dengan
kata lain, aspek pendidikan menjadi pondasi atau kunci penentu nasib masa depan
bangsa.
Ya, pendidikan merupakan aspek yang sangat fundamental bagi negeri
manapun, termasuk Indonesia. Namun, lantas bagaimana jika sampai dunia
pendidikan kini ternodai oleh praktik jual beli ijasah palsu oleh sejumlah
oknum tidak bertanggung jawab? Jawabannya tentu jelas, yakni praktik tersebut
otomatis akan mereduksi kualitas pendidikan generasi bangsa kita. Analogi
sederhananya, setiap generasi yang lahir dari produk ‘ijasah palsu’, tentu
kualitasnya juga berpotensi palsu. Karena keotentikan ijasah telah sirna, maka
otomatis keotentikan kualitas diri pun ikut sirna. Gambaran sederana itu
merupakan sunnatullah (hukum alam).
Di sisi lain, praktik tersebut merupakan bukti salah satu rusaknya
mental anak bangsa. Sebab, praktik ijasah palsu menggambarkan telah merebaknya
‘virus’ pragmatisme di dunia pendidikan. Dan segala bentuk praktik pragmatisme di semua lini baik politik,
ekonomi, hukum, pendidikan, maupun aspek lainnya bisa dipastikan akan
menyebabkan efek negatif. Sebab, untuk mencapai suatu prestasi, hasil, atau
target, orang yang menempuhnya dengan jalan pragmatis, maka bisa dipastikan dia
melakukan cara yang tidak benar dan tidak dibenarkan baik dalam norma agama,
adat, maupun negara. Salah satu bukti konkritnya ialah praktik ijasah palsu.
Itu merupakan ‘capaian’ yang diraih oleh seseorang tanpa melalui proses
pembelajaran yang benar dan dibenarkan
baik secara norma agama, adat, maupun negara.
Artinya, pelaku yang terlibat dalam ‘transaksi’ jual beli ijasah
palsu bisa dianggap tidak menghormati hakikat proses pendidikan di lembaga
sekolah, baik dari jenjang sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) maupun
hingga perguruan tinggi. Otomatis, integritas sekelompok orang semacam itu pun
tiada artinya lagi. Dalam hal ini Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, dosen UI mengungkapkan,
masa lalu yang ‘membunuh’ masa depan. Kalimat tersebut sungguh tepat untuk
mengungkapkan kondisi praktik busuk jual beli ijasah palsu.
Mencuatnya praktik itu, maka dipertanyakan pula orientasi oknum
para pelakunya. Bagi para pembelinya, bisa dinilai bahwa mereka tidak
menghormati proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah maupun kampus. Munculnya
sikap tersebut jelas mengindikasikan ketidakpahaman mereka atas nilai-nilai
pendidikan. Selain itu, mereka juga bisa dibilang tidak menghormati ilmu.
Bahkan, mereka bisa dibilang cacat moral atau mengalami degradasi moral. Sebab,
sangat kontradiktif jika mereka dikatakan ingin meraih ilmu yang berada dalam
bingkai lembaga pendidikan beserta prosesnya, namun perilakunya justru
menodainya.
Padahal, dalam kitab “Ta’lim al-Muta’akkim” telah jelas diterangkan
bahwa salah satu syarat seseorang ingin meraih ilmu yang manfaat dan barokah
ialah “thulul waqtu” (waktu lama). Waktu lama dalam konteks ini
maksudnya ialah untuk dapat meraih ilmu yang benar-benar mapan, orang tersebut
harus ‘mengorbankan’ sebagian waktunya untuk fokus dalam mempelajarinya.
Mustahil seseorang dapat menguasai suatu ilmu hanya dengan mempalajarinya dalam
waktu yang singkat (baca: tidak wajar). Seperti dalam kasus ijasah palsu, yaitu
sebagian dikatakan palsu dikarenakan pembawa ijasah itu tidak melalui proses
embelajaran yang wajar. Pasalnya, proses belajar antara guru (dosen) dengan
siswa/ mahasiswa cukup melalui dunia maya, alias internet. Maka, proses itu
sungguh tidak selaras nilai-nilai pendidikan, baik dalam perspekif agama maupun
perundang-undangan negara.
Sementara bagi penjual ijasah, oknum pihak ini sebagian merupakan
dari golongan akademis dan sebagian lain merupakan golongan non akadmis. Sangat
disayangkan ketika proses sidak dadakan tim Menteri Nasir membuktikan bahwa
pihak sivitas akademik terlibat dalam transaksi jual beli ijasah palsu. Namun,
pada dasarnya, baik dari golongan manapun, pelaku penjual ijasal palsu tetap
tidak dibenarkan.
Dalam gambaran lain, kasus peredaran ijasah palsu tidak jauh
berbeda dengan proses transaksi jual beli barang di pasar. Padahal, semua elemen telah
mengetahui bahwa ijasah bukan merupakan suatu produk untuk diperjual belikan,
melainkan suatu symbol capaian prestasi seseorang karena telah sukses meraih
prestasi akademik dalam jenjang tertentu. Namun, fenomena ijasah palsu sungguh
tampak sebagai perwujudan telah adanya pendistorsian atas ijasah palsu. Ijasah
yang semula menjadi suatu benda untuk mengetahui hasil prestasi seseorang, kini
tampak hanya sebatas sebagai ‘jembatan’ bagi kalangan tertentu guna memperoleh
jabatan atau posisi strategis demi meraih gaji melimah. Lagi-lagi mindset orang
semacam ini merupakan efek akibat virus pragmatism.
Semoga, dengan terkuaknya praktik ijasah palsu di negeri ini, pemerintah beserta
masyarakat dapat bersinergi memberantas hingga tntas. Selain itu, pihak
berwajib harus menghukum dengan tegas kepada oknum yang terlibat yang diketahi
karena unsure kesengajaan. Dengan
dbegitu, maka tidak akan ada lagi penodaan di dunia pendidikan. Wallahu a’lam
bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar