Kamis, 20 Agustus 2015

Ijasah Palsu, Dekadensi Pendidikan (Dimuat di koran Jateng Ekspres edisi 14 Juni 2015)


Ijasah Palsu, Dekadensi Pendidikan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, tanah air kita sedang gencar dengan berita kasus ijasah palsu. Kasus tersebut sebenarnya bukan merupakan kasus baru yang membesit di dunia pendidikan. Namun, dalam perkembangan sejauh ini, praktik itu dapat dinilai tergolong parah. Pasalnya, persebaran praktik jual beli ijasah palsu tidak hanya melalui orang-orang tertentu, melainkan telah dilakukan secara terang-terangan. Bahkan, kita dapat menemukan dengan mudah praktik busuk tersebut ketika kita sedang ‘googling’. Klimaksnya, pada bulan Mei lalu, tim Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di bawah pimpinan Muhammad Nasir berhasil menguak praktik menjijikkan tersebut di salah satu Universitas di Jakarta dan Medan.
Praktik ijasah palsu itu tentu sangat meresahkan para sivitas akademik sejati. Sebab, selain merusak citra pendidikan nsional di republik ini, praktik tersebut juga menyebabkan melemahnya kualitas pendidikan kita. Dan poin kedua itu justru yang perlu kita perhatikan dengan seksama. Kita haarus menyadari bahwa hal itu sungguh berbahaya bagi nasib eksistensi negeri ini. Sebab, perkembangan seluruh aspek dalam kehidupan ini baik politik, hukum, ekonomi, budaya, maupun aspek lainnya bermula dari aspek pendidikan. Dengan kata lain, aspek pendidikan menjadi pondasi atau kunci penentu nasib masa depan bangsa.
Ya, pendidikan merupakan aspek yang sangat fundamental bagi negeri manapun, termasuk Indonesia. Namun, lantas bagaimana jika sampai dunia pendidikan kini ternodai oleh praktik jual beli ijasah palsu oleh sejumlah oknum tidak bertanggung jawab? Jawabannya tentu jelas, yakni praktik tersebut otomatis akan mereduksi kualitas pendidikan generasi bangsa kita. Analogi sederhananya, setiap generasi yang lahir dari produk ‘ijasah palsu’, tentu kualitasnya juga berpotensi palsu. Karena keotentikan ijasah telah sirna, maka otomatis keotentikan kualitas diri pun ikut sirna. Gambaran sederana itu merupakan sunnatullah (hukum alam).
Di sisi lain, praktik tersebut merupakan bukti salah satu rusaknya mental anak bangsa. Sebab, praktik ijasah palsu menggambarkan telah merebaknya ‘virus’ pragmatisme di dunia pendidikan. Dan segala bentuk praktik  pragmatisme di semua lini baik politik, ekonomi, hukum, pendidikan, maupun aspek lainnya bisa dipastikan akan menyebabkan efek negatif. Sebab, untuk mencapai suatu prestasi, hasil, atau target, orang yang menempuhnya dengan jalan pragmatis, maka bisa dipastikan dia melakukan cara yang tidak benar dan tidak dibenarkan baik dalam norma agama, adat, maupun negara. Salah satu bukti konkritnya ialah praktik ijasah palsu. Itu merupakan ‘capaian’ yang diraih oleh seseorang tanpa melalui proses pembelajaran yang benar  dan dibenarkan baik secara norma agama, adat, maupun negara.
Artinya, pelaku yang terlibat dalam ‘transaksi’ jual beli ijasah palsu bisa dianggap tidak menghormati hakikat proses pendidikan di lembaga sekolah, baik dari jenjang sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) maupun hingga perguruan tinggi. Otomatis, integritas sekelompok orang semacam itu pun tiada artinya lagi. Dalam hal ini Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, dosen UI mengungkapkan, masa lalu yang ‘membunuh’ masa depan. Kalimat tersebut sungguh tepat untuk mengungkapkan kondisi praktik busuk jual beli ijasah palsu.
Mencuatnya praktik itu, maka dipertanyakan pula orientasi oknum para pelakunya. Bagi para pembelinya, bisa dinilai bahwa mereka tidak menghormati proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah maupun kampus. Munculnya sikap tersebut jelas mengindikasikan ketidakpahaman mereka atas nilai-nilai pendidikan. Selain itu, mereka juga bisa dibilang tidak menghormati ilmu. Bahkan, mereka bisa dibilang cacat moral atau mengalami degradasi moral. Sebab, sangat kontradiktif jika mereka dikatakan ingin meraih ilmu yang berada dalam bingkai lembaga pendidikan beserta prosesnya, namun perilakunya justru menodainya.
Padahal, dalam kitab “Ta’lim al-Muta’akkim” telah jelas diterangkan bahwa salah satu syarat seseorang ingin meraih ilmu yang manfaat dan barokah ialah “thulul waqtu” (waktu lama). Waktu lama dalam konteks ini maksudnya ialah untuk dapat meraih ilmu yang benar-benar mapan, orang tersebut harus ‘mengorbankan’ sebagian waktunya untuk fokus dalam mempelajarinya. Mustahil seseorang dapat menguasai suatu ilmu hanya dengan mempalajarinya dalam waktu yang singkat (baca: tidak wajar). Seperti dalam kasus ijasah palsu, yaitu sebagian dikatakan palsu dikarenakan pembawa ijasah itu tidak melalui proses embelajaran yang wajar. Pasalnya, proses belajar antara guru (dosen) dengan siswa/ mahasiswa cukup melalui dunia maya, alias internet. Maka, proses itu sungguh tidak selaras nilai-nilai pendidikan, baik dalam perspekif agama maupun perundang-undangan negara.
Sementara bagi penjual ijasah, oknum pihak ini sebagian merupakan dari golongan akademis dan sebagian lain merupakan golongan non akadmis. Sangat disayangkan ketika proses sidak dadakan tim Menteri Nasir membuktikan bahwa pihak sivitas akademik terlibat dalam transaksi jual beli ijasah palsu. Namun, pada dasarnya, baik dari golongan manapun, pelaku penjual ijasal palsu tetap tidak dibenarkan.
Dalam gambaran lain, kasus peredaran ijasah palsu tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli barang  di pasar. Padahal, semua elemen telah mengetahui bahwa ijasah bukan merupakan suatu produk untuk diperjual belikan, melainkan suatu symbol capaian prestasi seseorang karena telah sukses meraih prestasi akademik dalam jenjang tertentu. Namun, fenomena ijasah palsu sungguh tampak sebagai perwujudan telah adanya pendistorsian atas ijasah palsu. Ijasah yang semula menjadi suatu benda untuk mengetahui hasil prestasi seseorang, kini tampak hanya sebatas sebagai ‘jembatan’ bagi kalangan tertentu guna memperoleh jabatan atau posisi strategis demi meraih gaji melimah. Lagi-lagi mindset orang semacam ini merupakan efek akibat virus pragmatism.
Semoga, dengan terkuaknya praktik ijasah  palsu di negeri ini, pemerintah beserta masyarakat dapat bersinergi memberantas hingga tntas. Selain itu, pihak berwajib harus menghukum dengan tegas kepada oknum yang terlibat yang diketahi karena unsure kesengajaan.  Dengan dbegitu, maka tidak akan ada lagi penodaan di dunia pendidikan. Wallahu a’lam bi al-showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar