Kamis, 20 Agustus 2015

Menghapus Kemerdekaan Semu (dimuat di Koran Jateng Ekspres edisi Jum'at 21 Agustus 2015)


Menghapus Kemerdekaan Semu
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang di SMP Hidayatullah
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga berusia 70 tahun ini, bangsa Indonesia masih menyandang status sebagai negara berkembang. Secara tidak langsung, berarti kondisi bangsa Indonesia sejatinya masih terpuruk. Padahal, capaian prestasi kemerdekaan sudah melewati masa perak, yakni ke-70. Hal itu tergolong tidak muda lagi. Artinya, waktu tujuh puluh tahun kemerdekaan tepat pada 17 Agustus kemarin seharusnya cukup untuk mengubah kondisi keterpurukan bangsa ini akibat penjajahan yang “mencekik” rakyat menjadi sebuah bangsa yang berstatus maju.
Otomatis, di balik status itu, seharusnya dengan menikmati kemerdekaan sekian lamanya bangsa Indonesia dapat berbenah diri di seluruh lini kehidupan baik pendidikan, politik, ekonomi, maupun aspek lainnya, sehingga mampu terlahir menjadi bangsa berdikari. Bukan justru dengan kondisi merdeka, lantas kita menjadi terlena dan melupakan spirit perjuangan para pejuang di masa lalu. Itu bisa dibilang dhalim. Jika realitanya demikian, lantas mau sampai kapan bangsa Indonesia setia dengan status sebagai bangsa yang berkembang? Akankah bangsa ini menjadi negara berkembang selama-lamanya?
Jawabannya tentu jelas ada di pundak setiap pribadi warga negara Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan mengubah status negara kita dari negara berkembang menjadi negara maju ? Artinya, kita tidak semata-mata berjuang demi meraih status sebagai negara maju, melainkan yang terpenting ialah kita harus serius dan “mati-matian” memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita yang hakiki. Sebab, jika kita dapat memahami kondisi saat ini, sesungguhnya bangsa kita sedang berada dalam penjajahan oleh bangsa lain.
Pasalnya, meskipun secara yuridis status bangsa kita telah merdeka sejak tahun 1945, namun hakikatnya kita sedang dijajah oleh bangsa asing dalam sejumlah aspek kehidupan yang meliputi aspek politik, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Contohnya, roda perpolitikan pemerintah kita sedikit banyak telah dikendalikan oleh bangsa asing. Hal ini dapat kita ketahui dengan mudah dengan menengok pada melalui sejumlah perjanjian politis antara pemerintah Indonesia dengan pihak asing. Setelah kita telusuri dan kita pahami seutuhnya, sebenarnya perjanjian-perjanjian itu seperti PT. Free Port dan PT. Exon Mobil, yang seharusnya dapat menambah devisa negara sehingga untung namun justru berbalik. Hampir seluruh perjanjian atau kerjasama antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing pada akhirnya merugikan negara kita karena meraup berbagai macam kekayaan Indonesia.
Alhasil, hampir seluruh kekayaan alam Indonesia yang seharusnya kita bisa menjadi bos karena sebagai pemilik yang sah, namun faktanya masyarakat kita justru hanya sebatas menjadi para tenaga kerja bangsa asing di tempat kerja di negara sendiri. Hal ini sebagaimana uraian penulis di Koran wawasan edisi 7 Februari oleh 2015 yang berjudul “Menjadi Kuli di Negeri Sendiri”. Penulis hingga mengibaratkan para tenaga kerja bangsa pribumi sebagai “kuli” karena berdasarkan fakta di lapangan, sejumlah aset besar dan penting negara telah “dikuasai” oleh asing, dan pekerjanya adalah masyarakat Indonesia sendiri.
Kondisi itu seharusnya terbalik. Idealnya, masyarakat kita justru menjadi pihak yag mempekerjakan bangsa asing, bukan kita yang dipekerjakan di lahan sendiri. Itu merupakan sebagian potret kecil penjajahan bangsa asing di dunia politik. Pun dengan aspek-aspek lainnya hampir bernasib serupa. Meskipun selama ini kita menggembor-gemborkan sebagai bangsa yang telah sekian lama merdeka, namun sebenarnya kita sungguh menjadi bangsa yang “terjajah”, terjajah secara politis, ekonomis, edukasi, dan lainnya.
Maka dari itu, dalam rangka menyambut perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-70 besok pada 17 Agustus 2015, kita harus berbenah diri. Kita harus mau berkontemplasi, sebenarnya apa yang salah dari kita sehingga kita bisa sampai “terjajah” oleh bangsa asing. Jika benar demikian, artinya perolehan kemerdekaan yang telah kita nikmati selama ini tak lain hanyalah sebatas kemerdekaan semu. Kesenangan kemerdekaan yang kita nikmati saat ini sesungguhnya hanyalah fatamorgana, hingga kita terlena.
Untuk itu, kita harus mengobarkan kembali spirit perjuangan para founding father seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pejuang lain kita di masa lalu dengan menyusun dan merealisasikan berbagai langkah taktis, strategis, substantif, serta futuristik. Mengobarkan semangat kemerdekaan bukan berarti kita melakukan tindakan anarkhis seperti memerangi bangsa asing dengan menembaki, mengebom, atau bentuk lainnya. Melainkan, kita harus “memerangi” mereka dengan menjadi dan melahirkan generasi hybrid, yakni setidaknya menjadi generasi yang cerdas di bidang masing-masing. Sebab, penjajahan saat ini tidak berwujud kekerasan fisik seperti pada tempo lalu. Yang pasti, membebaskan Indonesia dari kemerdekaan semu menjadi tanggung jawab bersama.
Adapun wujudnya dapat bermacam-macam. Namun, kita perlu merumuskan langkah-langkahnya yang konkrit berdasarkan posisi dan perannya. Misal, apabila kita sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk dapat mencetak generasi yang kompetitif, unggul, berkualitas, dan profesional. Apalagi bila kita memiliki posisi strategis yang dapat berdampak besar, misalnya sebagai presiden, menteri, gubernur, atau posisi strategis lainnya, maka sudah semestinya kita dapat memanfaatkannya untuk “memerangi” para “penjajah” dengan tidak mudah terpolitisasi oleh mereka, sehingga menghasilka kebijakan-kebijakan yang merugikan negara sendiri.
Semoga, kita segera dapat meraih kemerdekaan yang hakiki dan sukses menyandang status sebagai negara maju. Sebab, status itu merupakan indkator bahwa negara ini mampu membuat peningkatan-peningkatan capaian dalam sejumlah aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selamat Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-70. Wallahu a’lam bi al-showab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar