Menghapus Kemerdekaan Semu
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Walisongo Semarang di SMP Hidayatullah
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga berusia 70 tahun ini,
bangsa Indonesia masih menyandang status sebagai negara berkembang. Secara
tidak langsung, berarti kondisi bangsa Indonesia sejatinya masih terpuruk. Padahal,
capaian prestasi kemerdekaan sudah melewati masa perak, yakni ke-70. Hal itu
tergolong tidak muda lagi. Artinya, waktu tujuh puluh tahun kemerdekaan tepat
pada 17 Agustus kemarin seharusnya cukup untuk mengubah kondisi keterpurukan
bangsa ini akibat penjajahan yang “mencekik” rakyat menjadi sebuah bangsa yang
berstatus maju.
Otomatis, di balik status itu, seharusnya dengan menikmati
kemerdekaan sekian lamanya bangsa Indonesia dapat berbenah diri di seluruh lini
kehidupan baik pendidikan, politik, ekonomi, maupun aspek lainnya, sehingga
mampu terlahir menjadi bangsa berdikari. Bukan justru dengan kondisi merdeka,
lantas kita menjadi terlena dan melupakan spirit perjuangan para pejuang di
masa lalu. Itu bisa dibilang dhalim. Jika realitanya demikian, lantas mau
sampai kapan bangsa Indonesia setia dengan status sebagai bangsa yang
berkembang? Akankah bangsa ini menjadi negara berkembang selama-lamanya?
Jawabannya tentu jelas ada di pundak setiap pribadi warga negara
Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan mengubah status negara kita
dari negara berkembang menjadi negara maju ? Artinya, kita tidak semata-mata
berjuang demi meraih status sebagai negara maju, melainkan yang terpenting
ialah kita harus serius dan “mati-matian” memperjuangkan kemerdekaan bangsa
kita yang hakiki. Sebab, jika kita dapat memahami kondisi saat ini,
sesungguhnya bangsa kita sedang berada dalam penjajahan oleh bangsa lain.
Pasalnya, meskipun secara yuridis status bangsa kita telah merdeka
sejak tahun 1945, namun hakikatnya kita sedang dijajah oleh bangsa asing dalam
sejumlah aspek kehidupan yang meliputi aspek politik, pendidikan, ekonomi, dan
lainnya. Contohnya, roda perpolitikan pemerintah kita sedikit banyak telah
dikendalikan oleh bangsa asing. Hal ini dapat kita ketahui dengan mudah dengan
menengok pada melalui sejumlah perjanjian politis antara pemerintah Indonesia
dengan pihak asing. Setelah kita telusuri dan kita pahami seutuhnya, sebenarnya
perjanjian-perjanjian itu seperti PT. Free Port dan PT. Exon Mobil, yang
seharusnya dapat menambah devisa negara sehingga untung namun justru berbalik.
Hampir seluruh perjanjian atau kerjasama antara bangsa Indonesia dengan bangsa
asing pada akhirnya merugikan negara kita karena meraup berbagai macam kekayaan
Indonesia.
Alhasil, hampir seluruh kekayaan alam Indonesia yang seharusnya
kita bisa menjadi bos karena sebagai pemilik yang sah, namun faktanya
masyarakat kita justru hanya sebatas menjadi para tenaga kerja bangsa asing di
tempat kerja di negara sendiri. Hal ini sebagaimana uraian penulis di Koran
wawasan edisi 7 Februari oleh 2015 yang berjudul “Menjadi Kuli di Negeri
Sendiri”. Penulis hingga mengibaratkan para tenaga kerja bangsa pribumi sebagai
“kuli” karena berdasarkan fakta di lapangan, sejumlah aset besar dan penting
negara telah “dikuasai” oleh asing, dan pekerjanya adalah masyarakat Indonesia
sendiri.
Kondisi itu seharusnya terbalik. Idealnya, masyarakat kita justru
menjadi pihak yag mempekerjakan bangsa asing, bukan kita yang dipekerjakan di
lahan sendiri. Itu merupakan sebagian potret kecil penjajahan bangsa asing di
dunia politik. Pun dengan aspek-aspek lainnya hampir bernasib serupa. Meskipun
selama ini kita menggembor-gemborkan sebagai bangsa yang telah sekian lama
merdeka, namun sebenarnya kita sungguh menjadi bangsa yang “terjajah”, terjajah
secara politis, ekonomis, edukasi, dan lainnya.
Maka dari itu, dalam rangka menyambut perayaan hari kemerdekaan
Indonesia ke-70 besok pada 17 Agustus 2015, kita harus berbenah diri. Kita harus
mau berkontemplasi, sebenarnya apa yang salah dari kita sehingga kita bisa
sampai “terjajah” oleh bangsa asing. Jika benar demikian, artinya perolehan
kemerdekaan yang telah kita nikmati selama ini tak lain hanyalah sebatas
kemerdekaan semu. Kesenangan kemerdekaan yang kita nikmati saat ini
sesungguhnya hanyalah fatamorgana, hingga kita terlena.
Untuk itu, kita harus mengobarkan kembali spirit perjuangan para founding
father seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pejuang lain kita di masa
lalu dengan menyusun dan merealisasikan berbagai langkah taktis, strategis,
substantif, serta futuristik. Mengobarkan semangat kemerdekaan bukan berarti
kita melakukan tindakan anarkhis seperti memerangi bangsa asing dengan
menembaki, mengebom, atau bentuk lainnya. Melainkan, kita harus “memerangi”
mereka dengan menjadi dan melahirkan generasi hybrid, yakni setidaknya
menjadi generasi yang cerdas di bidang masing-masing. Sebab, penjajahan saat
ini tidak berwujud kekerasan fisik seperti pada tempo lalu. Yang pasti,
membebaskan Indonesia dari kemerdekaan semu menjadi tanggung jawab bersama.
Adapun wujudnya dapat bermacam-macam. Namun, kita perlu merumuskan
langkah-langkahnya yang konkrit berdasarkan posisi dan perannya. Misal, apabila
kita sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk dapat mencetak generasi yang
kompetitif, unggul, berkualitas, dan profesional. Apalagi bila kita memiliki
posisi strategis yang dapat berdampak besar, misalnya sebagai presiden,
menteri, gubernur, atau posisi strategis lainnya, maka sudah semestinya kita
dapat memanfaatkannya untuk “memerangi” para “penjajah” dengan tidak mudah
terpolitisasi oleh mereka, sehingga menghasilka kebijakan-kebijakan yang
merugikan negara sendiri.
Semoga, kita segera dapat meraih kemerdekaan yang hakiki dan sukses
menyandang status sebagai negara maju. Sebab, status itu merupakan indkator
bahwa negara ini mampu membuat peningkatan-peningkatan capaian dalam sejumlah
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selamat Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia yang ke-70. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar