Menanti Prestasi Menteri Reshuffle
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL FITK UIN Walisongo Semarang di SMP Islam Hidayatullah
Menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) republik Indonesia
ke-70 minggu lalu, konstelasi perpolitikan di tanah air sempat ‘terguncangkan’
oleh satu peristiwa sakral dan bersejarah. Pasalnya, pada 12 Agustus lalu melalui
keputusan presiden (Keppres) RI nomor 79/P Tahun 2015, Presiden Joko Widodo
(Jokowi) positif merombak susunan Kabinet Kerja (baca: reshuffle).
Tercatat Jokowi me-reshuffle sebanyak lima pos kementrian, yakni Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Menkopolhukam,
Sofyan Djalil sebagai Menko Perekonomian, Indroyono Soesilo sebagai Menko
Kemaritiman, Rachmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan, Andrinof Chaniago
sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas, dan Andi Widjajanto sebagai sekretaris
kabinet.
Selanjutnya, melalui Keppres nomor 80/P Tahun 2015, Jokowi telah
menetapkan enam orang pengganti di lima pos kementerian dan sekretaris kabinet.
Mereka adalah Luhut B. Panjaitan
sebagai Menkopolhukam, Darmin Nasution
sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman, Thomas
Lembong sebagai Menteri Perdagangan, Sofyan Djalil sebagai Menteri Perencanaan
Pembangunan dan Kepala Bappenas, dan terakhir
Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet.
Sesungguhnya, keputusan reshuffle kabinet
kerja bukan tanpa dasar dan sebab. Yakni, berdasarkan laporan kinerja para
menteri kepada Presiden baik dari masing-masing menteri terkait maupun dari
pihak luar, serta cross-chek secara langsung oleh Presiden di lapangan.
Selain itu, yang tak kalah penting menjadi bahan pertimbangan bagi Jokowi ialah
mengetahui kondisi perkembangan secara fakta dari masing-masing kementerian,
misalnya melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika di bawah
koordinasi Menko Perekonomian. Berdasarkan itu semua, Jokowi memperoleh nilai hasil
kinerja para ‘pembantunya’ selama kurun waktu satu semester. Dan pada akhirnya,
dia yakin untuk me-reshuffle para menteri yang dinilai minim
berprestasi. Sehingga, proses reshuffle itu benar-benar diupayakan dapat
terlaksana secara objektif tanpa unsur intervensi dari pihak manapun.,
semata-mata memang bertujuan untuk memperbaiki berbagai macam ‘keterpurukan’
dalam beberapa pos kementrian, seperti politik, ekonomi, hukum, maupun aspek
lainnya guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam suatu negara yang menganut sistem kabinet presidensial
termasuk Indonesia, me-reshuffle kabinet merupakan langkah yang wajar dan
tidak menyalahi norma, baik adat, agama, maupun negara. Maka dari itu,
keputusan bersejarah itu pun juga dilakukan oleh para Presiden di masa llalu
sejak Ir. Soekarno hingga Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Secara yuridis, selaku Presiden RI Jokowi memiliki
fungsi yang tercakup luas dalam berbagai bidang, termasuk dalam me-reshuffle
kabinet. Sebagaimana kewenangan itu termaktub dengan UUD 1945 Pasal 17 Ayat 2,
selaku kepala eksekutif Jokowi memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan
memberhentikan menteri.
Oleh karena itu, reshuffle menjadi satu ritual
khas negara bersistem kabinet presidensial yang pelaksanaannya harus terwujud
dengan penuh kebijaksanaan, keadilan, transparan, serta tanggung jawab. Sebab,
pemilihan para menteri kabinet merupakan penentuan masa depan bangsa. Apabila
pemilihan itu tepat dan sesuai, maka akan maju negeri ini. Pun sebaliknya.
Karena kini reshuffle sudah terlaksana dengan
lancar, maka saatnya para menteri baru harus mau serta mampu berusaha dengan
sepenuh tenaga untuk dapat memperbaiki Indonesia di bidang masing-masing.
Adanya mereka dipilih untuk menjadi pengganti karena mereka dipercaya dan diharapkan
oleh Presiden Jokowi agar dapat mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya
dan tanggung jawab.
Artinya, para menteri dan sekretaris kabinet hasil reshuffle
memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari pada kabinet sebelumnya, pertama
yaitu mengembalikan kepercayaan publik dengan memperbaiki pos kementrian
masing-masing. Berbagai keterpurukan dan kemerosotan dalam berbagai aspek di
Indonesia saat ini seolah ‘memkasa’ Jokowi untuk me-reshuffle.
Idealnya, sesungguhnya maksud Jokowi mengganti
beberapa menteri dan juga sekretaris kabinet ialah karena dia merasa dan
menilai para menteri dan sekretaris kabinet sebelumnya belum mampu membantunya
dengan maksimal dan optimal dalam merealisasikan sejumlah program yang
terkumpul dalam nawa cita. Bisa jadi keputusan reshuffle itu merupakan
buah kekecewaannya karena hasil prestasi mereka tidak dapat mencapai bahkan
mendekati target. Sehingga, mau tidak mau Jokowi harus mengganti mereka dengan
sosok orang-orang yang dinilai mau dan mampu mewujudkan sejumlah visinya.
Hal itu wajar. Sebab, apapun hasil kinerja menteri,
otomatis publik akan mengembalikannya kepada Presiden, dikarenakan para menteri
merupakan orang-orang pilihannya. Maka, tanggung jawab atas hasil kinerja para
menteri pada akhirnya menjadi tanggung jawab presiden. Dengan kata lain,
‘nasib’ Presiden berada di pundak para menterinya.
Oleh karenanya, dalam konteks berumah tangga, menteri
itu ibarat seorang istri. Apabila seorang suami menemukan sosok istri yang
cerdas, profesional, dan trampil, otomatis suaminya pula yang akan memperoleh
nama baik. Reputasi pun akan sama-sama naik. Begitu pula hubungan antara
Presiden dengan menteri.
Kedua, mewujudkan visi-misi Presiden Jokowi. Untuk
dapat mewujudkannya, para menteri yang bersatu dalam kabinet kerja, khususnya menteri
hasil reshuffle yang menjadi harapan Jokowi, harus mau serta
mampu berusaha agar dapat mencapai ‘prestasi’ gemilang di bidang masing-masing.
Sebab, Jokowi menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. Caranya dapat beragam
tergantung dari kreatifitas masing-masing menteri. Sebab, seluruh menteri hasil
reshuffle saat ini hampir tidak ada yang tidak berpengalaman dan
profesional di bidangnya. Mayoritas mereka telah berpengalaman menangani bidang
yang ditempati saat ini dan telah terbukti memberikan kontibusi konkrit.
Maka dari itu, di satu sisi, Presiden Jokowi selaku koordinator
semua menteri, harus menentukan indikator-indikator capaian/ keberhasilan/
kemajuan yang konkrit, substantif, realistis, nan futuristik sesuai dengan bidang
masing-masing yang meliputi sejumlah aspek yang bersifat menyeluruh. Artinya, indikator-indikator
tersebut dapat dikatakan jelas dan berdampak mewujudkan peningkatan kemajuan
Indonesia ketika mereka benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat
Indonesia di masing-masing aspek sesuai posisinya.
Di sisi lain, para menteri harus mau serta mampu
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat memenuhi bahkan melampaui segala
target yang diberikan oleh sang Presiden. Untuk dapat mewujudkan sinergitas dan
kekompakan yang hebat di antara mereka, maka mereka harus mempererat komunikasi
satu sama lain berniat unuk ‘berlomba’ dalam kebaikan. Hal itu penting. Sebab,
kualitas komunikasi sangat menentukan tingkat keharmonisan hubungan antara
suami dengan istri. Pun antara Presiden dengan para menterinya.
Dengan mewujudkan itu semua, diharapkan ke depan para
menteri hasil reshuffle Presiden Jokowi mampu mengemban mandat Presiden
dan amanah rakyat dengan maksimal, optimal, dan sebaik-baiknya. Sehingga akan
kian terbuka lebar peluang tercipta Indonesia hebat nan bermartabat. Wallahu
a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar