Selasa, 11 Agustus 2015

Hilangnya Spirit Masa Orientasi (Dimuat di Koran Rakyat Jateng edisi 11 Agustus 2015)



 
Hilangnya Spirit Masa Orientasi
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmsi UIN Walisongo Semarang
Saat ini, waktunya sekolah-sekolah atau perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan pengenalan siswa atau mahasiswa baru di sekolah, atau sering disebut dengan masa orientasi siswa (MOS). Agenda tersebut sudah menjadi program rutin di setiap lembaga pendidikan di tanah air. Satu agenda tahunan tersebut dapat menjadi momentum strategis yang dapat bermanfaat bagi siswa/ mahasiswa baru untuk bisa mengetahui dan mengenal lingkungan serta warga baru yang meliputi guru, teman, dan petugas di sekolah baru mereka lebih mendalam, cepat, dan efektif. Sehingga, salah satu manfaat yang dapat dipetik adalah harapannya siswa/ mahasiswa baru nantinya dapat belajar di sekolah baru dengan nyaman dan tenang.
Namun sayangnya, selama ini tujuan utama MOS tampak telah disalahpahami oleh para penyelenggaranya, baik pihak OSIS maupun panitia khusus yang telah dibentuk oleh pihak sekolah untuk menghandel agenda penting itu. Bahkan ironisnya, para penyelenggaranya justru belum dapat dapat memahami tujuan utama diselenggarakannya kegiatan MOS. Pasalnya, setiap agenda MOS di setiap sekolah, baik di tingkat SMP, SMA, bahkan Perguruan Tinggi hampir tidak ada yang jauh dari perlakuan yang bersifat ‘mempeloncokan’ para siswa/ mahasiswa baru.
Adapun bentuknya sangat bervariatif. Hal itu tergantung dari selera para panitia penyelenggaranya. Contoh, di salah satu sekolah di Blora, para siswa baru disuruh oleh para panitia untuk menggunakan prabot aneh semisal topi buatan mereka sendiri dari bola yang dipotong setengah. Lalu, di pergelangan tangan mereka harus mengenakan gelang rafia berbentuk seperti pembersih meja/ kaca (baca: sulak). Selain itu, mereka juga disuruh untuk membuat tas dari kertas karton yang diorientasikan untuk mengambil sejumlah sampah di lingkungan sekolah. Semua itu diterapkan bagi semua siswa tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan.
“Tugas” yang diamanahkan kepada siswa demikian sungguh tidak layak untuk dijadikan cerminan sebagai jenis salah satu kegiatan yang mendidik. Justru kegiatan seperti itu merpakan “pembodohan” yang nyata. Sebab, tujuan MOS yang semula adalah untuk memperkenalkan para siswa baru di lingkunga belajar baru, justru faktanya bertolak belakang. Fakta di lapangan, tidak sedikit sekolah yang menerapkan MOS dengan kondisi demikian. Bahkan, terkadang ada panitia yang member intruksi tidak logis dan tidak relevan. Contoh, siswa baru disuruh mencari bolpoin dengan merek yang sebenarnya tidak ada. Sehingga, mereka menjadi kengungan dengan tjuan para panitia yang sesungguhnya. Alhasil, siswa bukannya mendapat perlakuan yang bersifat mendidik dari para panitia MOS yang notabene biasanya merpakan kakak kelas atau senior mereka, namun justru memperoleh “kekerasan” dari mereka.
Bahkan parahnya, kegiatan MOS justru menjadi “ajang balas dendam” bagi para siswa lama yang menjadi panitia MOS. Fakta tersebut sungguh hina. Sebab, kegiatan MOS seperti demikian itu bkannya mewarnai dunia pendidikan dengan nilai pendidikan yang positif, justru telah menodai dunia pendidikan di republik ini. Sebab, di sekolah negara maju semisal di Filipina (negara berpredikat terbaik sedunia dalam hal sistem pendidikan), tentu kita tidak akan menemukan hal demikian. Jika dikatakan itu merpakan kegatan yang berunsur merupakan inovasi baru, maka argumentasi itu sangat tidak tepat. Sebab, bagaiamnapn juga, kegiatannya sama sekali tidak mendidik siswa baru. Jikalau ada unsur edukasinya, itu pun sangat sedikit.
Maka dari itu, jika kita semua sepakat ingin segera memajukan Indonesia melalui aspek pendidikan, kita semua harus bersinergi untuk menolak dan memberantas MOS yang menyesatkan siswa baru. Khususnya bagi pihak sekolah, harus mau serta mampu berperan aktif dalam mengawal MOS yang berdasarkan dengan tujuan pendidikan kita sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (versi amandemen) pasal 1 ayat 3 dan 5 serta UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Selain itu, implementasi kegiatan MOS harus diluruskan sesuai visi utama nabi Muhammad, yaitu untuk memperbaiki moral umat manusia, bukan justru sebaliknya.
Lebih komprehensif, bagi pihak sekolah melalui guru dan khususnya guru yang akan terlibat aktif maupun pasif dalam membentuk panitia MOS, langkah pertama yang harus dilakukan ialah meluruskan niat pribadi dan memberikan bimbingan kepada para panitia agar memberikan aktifitas MOS yang bersifat mendidik. Hal itu menjadi suatu keniscayaan mengingat fungssi utama lembaga pendidikan memang demikian.
Lantas, apabila nanti ketika sebelum pelaksanaan MOS pihak sekolah ada menemukan suatu pertanda yang mengindikasikan aka nada perpeloncoan siswa kembali serta tidak bersifat mendidik, maka pihak sekolah harus segera menindak tegas kepada para panitia dan memberkan hukuman yang tegas kepada mereka agar memberikan efek jera dan tidak terulang kembali di masa mendatang.
Sedangkan untuk pihak panitia MOS, langkah pertama kali setelah mengikuti arahan dan bimbingan dari pihak sekolah terkait jenis kegiatan MOS yang mendidik, mereka juga harus mau merevolusi mental mereka. Artinya, paradigm sesat yang menempel pada pikiran mereka bahwa selama ini siswa baru merupakan target strategis untuk dijadikan sebagai ajang “balas dendam” tahunan harus segara dibuang jauh-jauh. Setelah itu, mereka harus menyusun dan melaksanakan agenda yang memang diorientasikan untuk pengenalan siswa baru dengan pihak sekolah, dan yang terpenting harus bersifat mendidik tanpa ada unsur perpeloncoan atau bahkan pelecehan.
Terakhir, untuk pihak orang tua siswa maupn masyarakat sekitar, apabila mereka menemukan perilaku atau aktifitas yang berindikasi ada unsur perpeloncoan, “pembodohan”, atau pelecehan, maka mereka harus segera menindak dengan tegas dengan menegur atau jika tidak memungkinkan langsug dilaporkan saja dengan pihak sekolah agar para “tersangka” dapat ditindak tegas oleh pihak sekolah dengan seadil-adilnya dan sebijak-bbjaknya.
Dengan sinergi dari semua pihak, semoga kegiatan MOS di sekolah-sekolah termasuk perguruan tinggi mulai tahun ini dapat diputus seakar-akarnya. Jangan sampai ada lagi perpeloncoan siswa di sekolah mana pun seperti yang ditemukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudyaan, Anies Baswedan di salah satu sekolah di Jawa Barat beberapa minggu lalu, sehingga kegiatan MOS dapat berjalan sesuai khittahnya. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar