Rabu, 19 Agustus 2015

Mensyukuri Kemerdekaan (Dimuat di Koran Wawasan edisi 18 Agstus 2015) http://issuu.com/koranpagiwawasan/docs/wawasan_20150818


Mensyukuri Kemerdekaan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang di SMP Islam Hidayatullah
Momentum hari perayaan kemerdekaan republik Indonesia ke-70 telah berlalu. Hampir tidak ada warga Indonesia yang tidak ikut andil ‘meramaikan’ perayaan menyambut hari bersejarah itu. Hal itu tampak dengan peran aktif masyarakat yang semangat memasang bendera merah putih dan bendera umbul-umbul dengan berbagai ukuran di sepanjang jalan, lorong, gang, gapura, gedung-gedung sekolah, perusahaan, serta kantor-kantor pemerintah. Selain itu, khususnya masyarakat di pedesaan dan pedalaman kota di sekitar Jawa Tengah yang terkoordinir dalam setiap RT atau RW menyambut hari kemerdekaan RI dengan mengadakan berbagai jenis perlombaan khas anak-anak, seperti lomba makan kerupuk, tarik tambang, lari kelereng, balap karung, dan lainnya.
Selanjutnya, di sejumlah daerah tertentu di Jawa Tengah misalnya di Blora, ketika menjelang jatuh hari proklamasi kemerdekaan RI masyarakat di situ menyambutnya dengan mengadakan ‘selametan’ di balai desa atau di tempat kediaman salah satu warga. Perayaan itu bukan berarti bentuk kesyirikan, melainkan dimaksudkan sebagai bentuk manifestasi rasa syukur masyarakat yang begitu besar atas karunia kemerdekaan dari Tuhan YME yang telah sukses diperoleh para founding father yang gigih berani di masa lalu.
Pada dasarnya, apapun bentuk perayaan setiap warga negara Indonesia untuk menyambut hari proklamasi kemerdekaan Indonesia besok tanggal 17 Agustus 2015 sebagai peringatan hari ke-70 tidak ada salahnya. Artinya, sah-sah saja ketika kita ingin merayakannya dalam upacara formal maupun non formal, secara adat, agama, atau lainnya. Yang terpenting, tidak bersifat euforia dan berlebihan (over). Sebab, segala sesuatu yang bersifat demikian itu tentu akan dibenci oleh Allah, karena pada akhirnya akan lebih banyak mengakibatkan mudharat dari pada manfaat. Pun dengan perayaan sambutan hari kemerdekaan.
Dr. Mohammad Nasih, dosen Pascasarjana FISI UI, menegaskan bahwa merayakan hari kemerdekaan merupakan bagian dari ungkapan cinta tanah air. Penegasan itu secara substantif selaras dengan salah satu hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi “hubbul wathon minal iman” yang artinya adalah cinta tanah air merupakan bagian dari iman.
Artinya, orang yang merayakan hari kemerdekaan termasuk orang beriman. Meskipun tidak sedikit pula pihak yang berpendapat bahwa hadist itu berkualitas maudhu’ (palsu). Artinya, ungkapan yang dibilang hadist itu hanya merupakan sebuah maqolah (perkataan) orang arab. Namun, jika memang benar demikian, tidak ada salahnya bila kita menjadikannya sebagai ‘pecut’ untuk membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme kita untuk tetap cinta tanah air.
Sementara dalam QS. Ibrahim: 7, Allah SWT telah menjelaskan kepada umat manusia tentang urgensi bersyukur. Dalam ayat tersebut, Dia juga menegaskan bahwa apabila ada hamba-Nya yang tidak bersyukur, maka dia akan memperoleh adzab yang sangat pedih dari-Nya.
Substansi firman Allah tersebut sangat berkaitan erat dengan momentum perayaan kemerdekaan mendatang yang dikategorikan sebagai bentuk syukur. Maka, apabila kita tidak  ‘mensyukuri’ karunia kemerdekaan ini, otomatis kita akan berpotensi mendapat ganjaran berupa adzab yang pedih dari-Nya.
Selanjutnya, setelah kita merasa memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi dengan bentuk perayaan hari kemerdekaan secara semarak dan semangat, kita perlu berkontemplasi lagi. Maksudnya, dalam melakukan perayaan, kita jangan asal menyelenggarakannya tanpa makna sedikitpun. Melainkan kita juga harus berpikir, apakah pelaksanaan perayaan kita hanya bersifat rutinitas tahunan atau memang bermakna signifikan.
Jika perayaan itu dikategorikan sebagai salah satu bentuk rasa syukur, lantas apakah kita hanya akan menyambutnya dengan sebatas merayakannya dengan mengadakan berbagai acara dan ritual seperti selametan ? Artinya, apakah bentuk syukur semacam itu saat ini masih relevan dan bermakna signifikan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan pemikiran dan pemahaman secara komprehensif serta mendalam dengan menengok sejarah lika-liku teraihnya kemerdekaan dari para penjajah. Berbagai usaha dan tekad yang gigih telah dicontohkan oleh para pahlawan dan leluhur dahulu. Sehingga, akhirnya mereka berhasil menorehkan prestasi gemilang berupa sukses meraih kemerdekaan.
Setelah itu, perlu kita pahami bersama. Syukur yang sebenarnya ialah tidak cukup hanya dengan merayakannya dengan mengadakan selametan, berbagai lomba anak-anak, atau lainnya. Apalagi hanya sebatas ucapan. Semua itu tiada artinya apabila setelah perayaan kita tidak memahami esensi perayaan itu. Alhasil, setelah perayaan, kita tidak ada perubahan positif sikap dan perilaku.
Maka dari itu, kita perlu membenahi ‘mindset kuno’ kita tentang arti mensyukuri kemerdekaan yang sesungguhnya. Yakni, selain kita menyambutnya dengan bentuk agenda sejenis selametan, perlombaan khas anak-anak, maupun jenis lainnya, kita juga harus mengatur mindset masing-masing agar kita mau serta mampu berusaha berperan aktif dan pasif dalam rangka memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia agara menjadi lebih baik dan teratur. Jangan sampai kita hanya memaknai menykuri kemerdekaan dengan pikiran sempit, sehingga perayaan itu ibarat menegakkan tali yang basah.
Artinya, perayaan kemerdekaan tidak sebatas ketika setiap menjelang tanggal 17 Agustus, melainkan di waktu lain pula. Kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun, kita harus senantiasa merayakan kemerdekaan. Adapun lebih komptrehensifnya, bentuk perayaannya setiap saat itu relative. Maksdunya, peran dan tanggung jawab berdasarkan posisi/ pangkat/ jabatan/ kedudukan, tergantung dari masin-masing pribadi. Untuk dapat disebut dengan mensyukuri, kita harus melanjutkan perjuangan para leluhur. Dan perjuangan dalam konteks kekinian harus dapat dipahami berbeda bila dibandingkan dengan bentuk perjuangan para leluhur di masa lalu. Jika dulu perjuangan cenderung lebih berbentuk secara fisik, jika sekarang perjuangan lebih berbentuk abstrak, yakni melalui berbagai sistem kehidupan sosial yang meliuti politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
Lebih jelasnya, setiap WNI di masing-masing bidang/ fokus/ jabatannya harus mau serta mampu berusaha agar menjadi insane yang bermanfaat bagi pribadi sendiri maupun orang lain dengan berkontribusi yang nyata. Misalnya, bagi gubernur, dia harus mau serta mampu melahirkan kebijakan-kebjakan yang dapat pro-rakyat dan memajkan warganya guna meraih kehidupan yang aman damai, dan sejahtera yang diridloi Allah SWT. Justru itu merupakan bentuk syukur yang sebenarnya yang justru saat ini tidak dipikirkan kecuali hanya sedikit orang saja.

Oleh karenanya, diperlukan persatuan dan kesatuan serta kerjasama dari seluruh pihak agar dapat bersinergi untuk memajukan bangsa ini menjadi negara maju sebagai bentuk rasa syukur merayakan kemerdekaan. Dengan begitu, maka perayaan kemerdekaan RI akan sangat bermakna setiap saat dan berimplikasi nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirilgoi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-showab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar