Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo
Semarang di SMP Islam Hidayatullah
Momentum hari perayaan kemerdekaan republik Indonesia ke-70 telah
berlalu. Hampir tidak ada warga Indonesia yang tidak ikut andil ‘meramaikan’
perayaan menyambut hari bersejarah itu. Hal itu tampak dengan peran aktif
masyarakat yang semangat memasang bendera merah putih dan bendera umbul-umbul
dengan berbagai ukuran di sepanjang jalan, lorong, gang, gapura, gedung-gedung
sekolah, perusahaan, serta kantor-kantor pemerintah. Selain itu, khususnya
masyarakat di pedesaan dan pedalaman kota di sekitar Jawa Tengah yang
terkoordinir dalam setiap RT atau RW menyambut hari kemerdekaan RI dengan
mengadakan berbagai jenis perlombaan khas anak-anak, seperti lomba makan
kerupuk, tarik tambang, lari kelereng, balap karung, dan lainnya.
Selanjutnya, di sejumlah daerah tertentu di Jawa Tengah misalnya di
Blora, ketika menjelang jatuh hari proklamasi kemerdekaan RI masyarakat di situ
menyambutnya dengan mengadakan ‘selametan’ di balai desa atau di tempat
kediaman salah satu warga. Perayaan itu bukan berarti bentuk kesyirikan,
melainkan dimaksudkan sebagai bentuk manifestasi rasa syukur masyarakat yang
begitu besar atas karunia kemerdekaan dari Tuhan YME yang telah sukses
diperoleh para founding father yang gigih berani di masa lalu.
Pada dasarnya, apapun bentuk perayaan setiap warga negara Indonesia
untuk menyambut hari proklamasi kemerdekaan Indonesia besok tanggal 17 Agustus
2015 sebagai peringatan hari ke-70 tidak ada salahnya. Artinya, sah-sah saja
ketika kita ingin merayakannya dalam upacara formal maupun non formal, secara
adat, agama, atau lainnya. Yang terpenting, tidak bersifat euforia dan
berlebihan (over). Sebab, segala sesuatu yang bersifat demikian itu
tentu akan dibenci oleh Allah, karena pada akhirnya akan lebih banyak
mengakibatkan mudharat dari pada manfaat. Pun dengan perayaan sambutan
hari kemerdekaan.
Dr. Mohammad Nasih, dosen Pascasarjana FISI UI, menegaskan bahwa
merayakan hari kemerdekaan merupakan bagian dari ungkapan cinta tanah air.
Penegasan itu secara substantif selaras dengan salah satu hadist nabi Muhammad
SAW yang berbunyi “hubbul wathon minal iman” yang artinya adalah cinta
tanah air merupakan bagian dari iman.
Artinya, orang yang merayakan hari kemerdekaan termasuk orang
beriman. Meskipun tidak sedikit pula pihak yang berpendapat bahwa hadist itu
berkualitas maudhu’ (palsu). Artinya, ungkapan yang dibilang hadist itu
hanya merupakan sebuah maqolah (perkataan) orang arab. Namun, jika
memang benar demikian, tidak ada salahnya bila kita menjadikannya sebagai
‘pecut’ untuk membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme kita untuk tetap cinta
tanah air.
Sementara dalam QS. Ibrahim: 7, Allah SWT telah menjelaskan kepada
umat manusia tentang urgensi bersyukur. Dalam ayat tersebut, Dia juga
menegaskan bahwa apabila ada hamba-Nya yang tidak bersyukur, maka dia akan
memperoleh adzab yang sangat pedih dari-Nya.
Substansi firman Allah tersebut sangat berkaitan erat dengan
momentum perayaan kemerdekaan mendatang yang dikategorikan sebagai bentuk
syukur. Maka, apabila kita tidak ‘mensyukuri’
karunia kemerdekaan ini, otomatis kita akan berpotensi mendapat ganjaran berupa
adzab yang pedih dari-Nya.
Selanjutnya, setelah kita merasa memiliki rasa cinta tanah air yang
tinggi dengan bentuk perayaan hari kemerdekaan secara semarak dan semangat,
kita perlu berkontemplasi lagi. Maksudnya, dalam melakukan perayaan, kita
jangan asal menyelenggarakannya tanpa makna sedikitpun. Melainkan kita juga
harus berpikir, apakah pelaksanaan perayaan kita hanya bersifat rutinitas
tahunan atau memang bermakna signifikan.
Jika perayaan itu dikategorikan sebagai salah satu bentuk rasa
syukur, lantas apakah kita hanya akan menyambutnya dengan sebatas merayakannya
dengan mengadakan berbagai acara dan ritual seperti selametan ? Artinya,
apakah bentuk syukur semacam itu saat ini masih relevan dan bermakna
signifikan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan pemikiran dan pemahaman
secara komprehensif serta mendalam dengan menengok sejarah lika-liku teraihnya
kemerdekaan dari para penjajah. Berbagai usaha dan tekad yang gigih telah
dicontohkan oleh para pahlawan dan leluhur dahulu. Sehingga, akhirnya mereka
berhasil menorehkan prestasi gemilang berupa sukses meraih kemerdekaan.
Setelah itu, perlu kita pahami bersama. Syukur yang sebenarnya
ialah tidak cukup hanya dengan merayakannya dengan mengadakan selametan,
berbagai lomba anak-anak, atau lainnya. Apalagi hanya sebatas ucapan. Semua itu
tiada artinya apabila setelah perayaan kita tidak memahami esensi perayaan itu.
Alhasil, setelah perayaan, kita tidak ada perubahan positif sikap dan perilaku.
Maka dari itu, kita perlu membenahi ‘mindset kuno’ kita
tentang arti mensyukuri kemerdekaan yang sesungguhnya. Yakni, selain kita
menyambutnya dengan bentuk agenda sejenis selametan, perlombaan khas
anak-anak, maupun jenis lainnya, kita juga harus mengatur mindset
masing-masing agar kita mau serta mampu berusaha berperan aktif dan pasif dalam
rangka memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia agara menjadi
lebih baik dan teratur. Jangan sampai kita hanya memaknai menykuri kemerdekaan
dengan pikiran sempit, sehingga perayaan itu ibarat menegakkan tali yang basah.
Artinya, perayaan kemerdekaan tidak sebatas ketika setiap menjelang
tanggal 17 Agustus, melainkan di waktu lain pula. Kapanpun, dimanapun, dan
bagaimanapun, kita harus senantiasa merayakan kemerdekaan. Adapun lebih
komptrehensifnya, bentuk perayaannya setiap saat itu relative. Maksdunya, peran
dan tanggung jawab berdasarkan posisi/ pangkat/ jabatan/ kedudukan, tergantung
dari masin-masing pribadi. Untuk dapat disebut dengan mensyukuri, kita harus
melanjutkan perjuangan para leluhur. Dan perjuangan dalam konteks kekinian
harus dapat dipahami berbeda bila dibandingkan dengan bentuk perjuangan para
leluhur di masa lalu. Jika dulu perjuangan cenderung lebih berbentuk secara
fisik, jika sekarang perjuangan lebih berbentuk abstrak, yakni melalui berbagai
sistem kehidupan sosial yang meliuti politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
Lebih jelasnya, setiap WNI di masing-masing bidang/ fokus/
jabatannya harus mau serta mampu berusaha agar menjadi insane yang bermanfaat
bagi pribadi sendiri maupun orang lain dengan berkontribusi yang nyata.
Misalnya, bagi gubernur, dia harus mau serta mampu melahirkan
kebijakan-kebjakan yang dapat pro-rakyat dan memajkan warganya guna meraih
kehidupan yang aman damai, dan sejahtera yang diridloi Allah SWT. Justru itu
merupakan bentuk syukur yang sebenarnya yang justru saat ini tidak dipikirkan
kecuali hanya sedikit orang saja.
Oleh karenanya, diperlukan persatuan dan kesatuan serta kerjasama
dari seluruh pihak agar dapat bersinergi untuk memajukan bangsa ini menjadi negara
maju sebagai bentuk rasa syukur merayakan kemerdekaan. Dengan begitu, maka
perayaan kemerdekaan RI akan sangat bermakna setiap saat dan berimplikasi nyata
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirilgoi Allah
SWT. Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar