Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, panggung politik republik Indonesia sedang
diguncang oleh isu reshuffle kabinet, selain juga isu revisi UU KPK dan
persetujuan dana aspirasi. Berkenaan dengan itu, sejauh ini Presiden Joko
Widodo (Jokowi) belum berkenan menyebutkan kementerian apa saja yang akan di-reshuffle
dan kapan akan dilakukan proses reshuffle. Di sejumlah media massa baik
cetak maupun online, disebutkan bahwa Presiden Jokowi hanya menyatakan
dia sendiri yang akan melakukan proses reshuffle kabinet. Sebab, hasil
rapor kinerja para menterinya selama setengah tahun lebih sudah diterimanya.
Jadi, dia sendiri yang akan menentukan proses sakral itu karena dia sudah
mengetahui menteri mana saja yang memperoleh rapor merah dan yang tidak.
Penilaian Jokowi atas kinerja para menterinya bukan hanya
berdasarkan pada laporan hitam di atas puthih dari masing-masing menteri,
melainkan juga atas dasar sejumlah informasi dari pihak yang terkait dengan
masing-masing pos kementrian serta pengecekan secara langsung di lapangan,
misalnya ketika sedang ada proyek di Batam. Dia benar-benar marah karena
ternyata hasil kinerja di lapangan tidak sesuai dengan target. Begitu pun
dengan cross check lapangan lainnya. Namun, tidak semuanya seperti
demikian. Sebagian proyek di lapangan sudah memenuhi target.
Dalam konteks ini, satu hal urgen yang harus selalu diingat oleh
Jokowi selaku presiden Indonesia yaitu dalam melakukan proses reshuffle, dia
harus benar-benar memastikan bahwa dia sedang berada dalam kondisi ‘sadar’.
Artinya, dalam proses me-reshuffle sejumlah menteri nantinya, harus
didasarkan pada unsur netralitas. Sebab, pelaksanaan proses reshuffle
merupakan momentum sakral yang sangat berharga sekaligus ‘berbahaya’.
Dikatakan sakral karena proses tersebut merupakan momentum
penentuan nasib bangsa Indonesia di masa mendatang. Artinya, apabila Jokowi
“teledor” dalam me-reshuffle sejumlah menteri (apakah karena unsur
lemahnya independensinya sehingga terhegemoni oleh kelompok oportunis atau
memang karena ‘ketidaktahuannya’), maka hal itu dapat dipastikan secara
otomatis akan berakibat fatal bagi bangsa ini.
Sebab, menteri hasil reshuffle itu nanti yang akan menghandle
negeri Indonesia. Jika kualitas menteri hasil reshuffle memang
memenuhi kualifikasi dan sesuai porsinya, tentu itu tidak menjadi masalah. Jika
demikian, bisa dipastikan kemajuan bangsa Indonesia akan berpeluang besar dapat
tercapai. Yang menjadi masalah besar yakni, apabila kualitas menteri hasil
proses sakral itu ternyata di bawah standard, tentu akan merugikan banyak
masyarakat Indonesia khususnya, bahkan dapat pula merugikan bangsa lain akibat
dampak ketidakmampuannya dalam mengelola bangsa Indonesia di bidang yang telah
diamanahkan oleh Presiden Jokowi.
Bahayanya, bahkan masa depan bangsa Indonesia akan hancur di tangan
orang “bodoh” yang menjabat sebagai menteri. Dalal hal ini, tauadan kita yakni
Nabi Muhamamd SAW pernah berpesan kepada umatnya yang secara substantif
maksudnya yaitu melarang kita agar tidak sembarangan memberikan amanah kepada
seseorang untuk mengembannya. Sebab, jika kita lakukan itu, dapat berakibat
fatal. Nabi menjelaskan, apabila hal itu terjadi, maka suatu kaum tinggal
menunggu saat kehancurannya.
Bila kita pahami, maka kita akan mengetahui bahwa substansi hadist
itu sungguh mengandung makna yang tepat bila dikaitkan dengan kondisi proses reshuffle
menteri yang sebentar lagi akan tiba. Artinya, apabila nantinya Jokowi
salah pilih menteri pengganti atau salah dalam mengganti (yang seharusnya tidak
diganti justru diganti oleh orang lain), implikasi konkritnya akan dapat
ditebak dengan mudah oleh setiap orang, yakni bangsa Indonesia akan tiba di
ambang pintu kehancuran.
Selanjutnya, dikatakan berbahaya karena proses itu tentu akan
menjadi momentum yang rawan konspirasi dari berbagai pihak, baik pihak Jokowi
maupun pihak lain. Artinya, di satu sisi (jika Jokowi merupakan tipologi
Presiden tidak amanah), momentum itu sangat memungkinkan akan dimanfaatkan oleh
Jokowi beserta para koalisinya untuk merap keuntungan yang sebesar-besarnya.
Hal itu mudah sekali baginya. Dengan hanya memilih menteri yang dapat diajak
‘bekerjasama’ dengannya, maka tujuan untuk meraih ‘kenikmatan duniawi’ akan
terwujud dengan mudah, ibarat mengedipkan mata.
Sedangkan di sisi lain (jika memang Jokowi merupakan tipologi
Presiden amanah), sangat memungkinkan bagi pihak-pihak luar untuk memanfaatkan
momentum berharga itu agar memperoleh peluang dengan selalu mengintervensi
Jokowi agar ‘mau’ diajak bekerjasama untuk meraup keuntungan pribadi bersama
(baca: korupsi berjama’ah).
Jika salah satu di antara keduanya benar-benar terjadi, maka dapat
dipastikan itu akan menjadi duri nyata kemajuan Indonesia. Otomatis,
kesejahteraan bangsa Indonesia akan tertunda semakin jauh. Sebab, bukannya
Jokowi memilih menteri demi mewujudkan kesejahteraan rakyat melainkan demi
keuntungan pribadi.
Oleh karena itu, diperlukan sejumlah langkah konkrit demi
terwujudnya proses reshuffle menteri yang benar-benar bersih dan
berkualitas (baca: objektif) serta jauh dari praktik-praktik negatif yang hanya
bersifat ‘mencekik’ rakyat.
Pertama, sebagai Presiden, Jokowi harus menjadi pemimpin amanah
yang hanya mementingkan segala urusannya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat.
Dalam hal ini, selain harus amanah, Jokowi juga harus menajdi pemimpin yang
konsisten serta independen. Jangan sampai karena terinveksi oleh intervensi
pihak luar sehingga menciderai proses sacral itu yang seharusnya menjadi kunci kemajuan Indonesia
justru menajdi kunci kehancuran Indonesia.
Kedua, Jokowi harus menjunjng tinggi asas objektivitas. Poin ini menajdi
sangat penting. Sebab, ketentuannya tentu akan menjadi penentu masa depan
bangsa Indoneia. Dengan kata lain, masa depan bangsa ini berada di tangannya
melalui proses me-reshuffle menteri. Jika memang menteri ayng sudah
bekerja selama ini terbukti berapor merah (berdasarkan hasil laporan, fakta
lapangan, serta bukti lain), sudah menjadi kewajiban Jokowi untuk menggantinya
dengan sosok menteri yang dinilai lebih mampu dan sesuai. Jangankan berapor
merah, jika perlu apabila menteri berapor kuning, dia ganti pula. Sebab, masih
ada sosok calon menteri yang lebih layak dan bersedia untuk emngemban amanah
sakral itu.
Ketiga, jika ternyata Jokowi harus mengganti beberapa menteri, maka
dia harus mampu memastikan bahwa calon pengganti menteri yang akan diganti
merupakan sosok yang lebih berkualitas dari pada sebelumnya.
Setidaknya dengan berdasarkan tiga pertimbangan itu, diharapkan
Presidenen Jokowi dapat menjadi pemimpin amanah, terpercaya, independen, serta
konsisten dengan memilih menteri yang memang berkualitas menteri (bukan menteri
abal-abal). Dengan begitu, maka kemungkinan besar kesejahteraan rakyat akan
dapat tercapai. Semoga! Wallahu a’lam bi alshowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar