Menelusuri Tradisi ‘Ngalungi’ di Blora
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Jurusan PBI FITK UIN Walisongo Semarang
Secara umum, budaya atau tradisi dapat dipahami sebagai suatu
aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat tertentu secara kontinyu
(baca: kebiasaan) dengan maksud tertentu. Terkadang, tradisi kelompok tertentu
dilakukan di waktu khusus yang telah disepakati bersama. Di antara latar
belakang munculnya suatu tradisi tertentu di tengah masyarakat ialah karena
adanya kesamaan ras, suku, nasib atau kondisi, sehingga ‘memaksa’ mereka untuk
melakukan suatu tindakan dengan orientasi tertentu.
Bermula dari itu, maka muncul perilaku atau aktivitas yang
berulang-ulang di kelompok masyarakat tersebut dengan orientasi tertentu yang
dilakukan secara berulang, baik setiap hari maupun setiap bulan, bahkan setiap
tahun. Dan karena kondisi kehidupan masyarakat di setiap daerah berbeda-beda,
maka otomatis secara sunnatullah (hukum alam) memunculkan tradisi di
setiap kelompok masyarakat yang berbeda pula. Sehingga, itu yang menjadikan
ciri khas dan keunikan setiap kelompok. Dan itu yang menjadi ‘senjata’ ampuh
untuk mempersatukan satu kelompok masyarakat hingga mereka dapat menjadi umat
yang kompak.
Di kabupaten Blora, salah satu tradisi khasnya ialah ‘ngalungi’.
Ya, ngalungi merupakan salah satu tradisi yang menjadi satu keunikan tersendiri
bagi masyarakat Blora, khususnya bagi mereka yang memiliki ternak (ingon-ingon)
sapi atau kerbau yang biasa digunakan oleh mereka untuk membantu dalam proses
pembajakan ladang sawah.
Karena dianggap telah ‘berjasa’ dalam pelaksanaan proses
pembajakan, konsekuensinya atas dasar kepercayaan serta kesadaran mereka,
akhirnya mereka mengadakan ritual syukuran (baca: selametan) yang
diperuntukkan bagi para hewan ternak sapi atau kerbau mereka guna mendoakannya
agar selalu sehat dan selamat, sehingga mereka (sapi dan kerbau) dapat
dimanfaatkan kembali oleh pemiliknya untuk membantu pekerjaan mereka dalam
membajak sawah di masa mendatang.
Adapun wujud perayaannya yaitu kelompok masyarakat Blora di wilayah
tertentu yang tentunya memiliki sapi atau kerbau dan ladang sawah secara
serentak memasak menu tertentu untuk dibagi-bagikan (ater-ater) ke
sejumlah tetangga sekitarnya. Pada umumnya, sajian menunya berupa makanan yang
terdiri dari ketupat, lepet, lontong, yang dicampur dengan sayur lodeh lembaran
sebagai lauk utamanya. Itu sudah menjadi kesepakatan dan kebiasaan menu khas
masyarakat Blora untuk merayakannya.
Sebenarnya menurut kepercayaan mereka, target yang akan diberi
‘sesajen’ itu tidak hanya sebatas tetangga yang tinggal di sekitar rumahnya
saja, namun bisa juga diberikan kepada masyarakat di luar wilayahnya, bahkan
masyarakat yang belum atau sudah merayakannya. Selain itu, target juga boleh
dari kalangan sekalipun yang tidak memiliki sapi atau kerbau untuk membajak
sawah. Namun, akan lebih tepat (baca: afdhol) apabila ‘sesajen’ itu
mereka berikan kepada warga sekitar terdekat baik yang memiliki sapi atau
kerbau maupun bagi mereka yang tidak memilikinya.
Dari uraian singkat tersebut, maka dapat kita pahami bahwa tradisi ‘ngalungi’
ialah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat luas Blora, khususnya bagi
mereka yang memiliki hewan sapi dan atau kerbau guna untuk mendoakannya agar
senantiasa berada dalam kondisi sehat dan selamat supaya dapat dimanfaatkan
kembali di masa mendatang dalam proses pembajakan sawah.
Upacara ‘ngalungi’ biasanya diselenggarakan serentak di setiap desa
namun berbeda waktu, meskipun masih berada dalam satu lingkup kabupaten yang
sama . Sebab, upacara itu dilaksanakan setelah proses penanaman padi, sehingga
adakalanya dalam satu tahun perayaannya bias sekali atau hingga dua kali. Itu
tergantung dari kondisi lading sawah yang memungkinkan siap untuk ditanami
padi.
Sedangkan waktu penanaman padi di setiap daerah biasanya berbeda
sedikit meskipun berada di bawah satu iklim tertentu yang sama. Misalnya,
ketika datang musim hujan (rendeng), maka otomatis di setiap wilayah
bagi masyarakat yang memiliki ladang sawah akan segera menanam padi. Dan setiap
kelompok masyarakat memiliki waktu tertentu di musim tersebut yang dianggap
‘keramat’ dan tepat untuk memulai bercocok tanam.
Untuk itu, sebagai rasa terimakasih kepada Tuhan yang telah
melancarkan proses pembajakan ladang sawahnya dengan menggunakan sapi atau
kerbau, maka mereka mewujudkannya dengan tradisi upacara ‘ngalungi’. Karena
itu, waktu perayaannya pun di tiap wilayah menjadi berbeda dan di waktu yang
tidak tentu pula. Dirayakan ketika siang atau malam tidak masalah. Itu menjadi
pilhan masing-masing kepala keluarga.
Yang perlu digarisbawahi bahwa tujuan pelaksanaan serentak agar lebih
meringankan beban perayaan bagi setiap warga yang merayakannya. Sebab, dapat
dibayangkan, betapa beratnya (rekoso) ketika setiap warga atau sebagian
kecil warga menyelenggarakannya secara individu. Tentu hal it akan memberatkan
mereka, terutama dalam aspek finansial. Sebab, untuk merayakannya, mereka harus
mengundang masyarakat sekitar dengan jumlah yang tidak sedikit. Maka, dengan
merayakan bersama, beban mereka akan menjadi sangat ringan.
Selanjutnya, ada ritual khusus nan unik yang perlu diketahui bersama
selain pemberian ‘sesajen’ kepada tetangga sekitar, yaitu mereka meminumkan air
ketupat (air bekas digunakan untuk masak ketupat) kepada sapi dan atau kerbau
mereka. Hal itu sebenarnya merupakan tindak lanjut dari upacara selametan yang
bertujuan agar lebih memantapkan kepercayaan mereka supaya hewan-hewan itu
selalu sehat dan selamat setelah mereka gunakan untuk membajak sawah.
Intensitas air minum itu menurut ala kadarnya sebagaimana biasanya mereka
memberi minum hewan-hewan itu dengan air biasa.
Selain itu, yang sering membuat orang penasaran adalah di saat hari
perayaan itu, mereka mengkalungkan ketupat dan atau lepet ke leher sapi dan
atau kerbau yang tentunya berisi nasi juga didalamnya. Itu merupakan satu
kesatuan tradisi ngalungi yang tidak dapat dipisahkan satu-persatu. Berdasarkan
kepercayaan dan keyakinan mereka, jika mereka tidak melakukan tradisi tersebut,
mereka sangat khawatir para sapi dan atau kerbau mereka tidak akan sehat dan
selamat, alias mati. Sehingga, selain tradisi itu sakral, juga menjadi sangat
urgen bagi mereka dan menyatu dalam kehidupan mereka dengan penuh
ke-tradisional-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar