Minggu, 12 Juli 2015

Mahasiswa dan Tradisi Intelektual (Dimuat di Koran Rakyat Jateng kolom BAIT edisi Sabtu 11 Juli 2015)



 
Mahasiswa dan Tradisi Intelektual
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Selama ini, mayoritas masyarakat menganggap bahwa kodrat mahasiswa dilahirkan sebagai insan yang membanggakan karena diharapkan dapat bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Dengan kodrat berbagai perannya, di antaranya sebagai direct of change (perubahan langsung), agent of social change (sumber perubahan sosial), iron stock (tidak pernah habis), maupun peran lainnya, kaum mahasiswa dinilai mampu menjadi actor yang membanggakan dan dapat diandalkan.
Namun, kini citra mahasiswa di kalangan masyarakat luas tampak mulai terkikis. Hal itu akibat ‘ulah’ dari kaum mahasiswa sendiri. Dengan kata lain, dalam kacamata masyarakat luas, mahasiswa mendapat stigma negatif. Anggapan negatif itu tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya, banyak mahasiswa yang sudah tidak lagi peduli dengan tradisi intelektual. Tradisi membaca,  jurnalistik, diskusi kelompok, berorganisasi, maupun tradisi lainnya yang mendukung meningkatkan kualitas intelektual mahasiswa kini seolah menjadi tradisi yang membosankan di kalangan mereka. Tradisi-tradisi mulia itu kini seolah hanya sebatas teori belaka. Implikasinya, harapan dan cita-cita masyarakat dianggap ‘gagal’ terealisasi’.
Ya, anggapan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai aktor yang membanggakan masyarakat kini telah terdistorsi menjadi aktor yang mengecewakan. Kaum mahasiswa kini dinilai telah kehilangan jati diri. Tradisi intelektual yang pada dasarnya merupakan aktivitas primer mereka (karena merupakan kebutuhan pokoknya), justru terabaikan. Mereka lebih tertarik dengan melakukan sejumlah aktivitas yang justru sebenarnya tergolong aktivitas sekunder, semisal berwisata, mendaki gunung, atau lainnya.
Parahnya, tidak sedikit pula di antara mereka yang masuk dalam kategori jenis ‘mahasiswa malas’, sehingga tidak sedikit orang pula menyebutnya sebagai mahasiswa KUPU (kuliah-pulang), KUPER (kurang pergaulan), KUNO (kuliah-nongkrong), maupun sebutan lainnya. Alhasil, eksistensi mahasiswa di tengah masyarakat di masa kini dinilai disfungsi. Dalam kitab pendidikan menyebut fenomena itu dengan “wujuduhu ka’adamihi”.
Berkaitan dengan kondisi itu, secara substantif, sebutan itu menjelaskan bahwa keberadaan mahasiswa di tengah masyarakat setali tiga uang tidak ada. Artinya, jika benar kondisi perkembangan mahasiswa memang demikian, maka alangkah lebih baiknya tidak perlu ada mahasiswa. Sebab, astar keberadaan mereka tidak dapat ‘dinikmati’ oleh masyarakat luas.
Padahal jika disadari, sebenarnya orientasi utama eksistensi mahasiswa ialah agar mampu menjadi generasi penerus estafet kepemimpinan bangsa. Artinya, nasib maju tidaknya bangsa sangat ditentukan oleh mereka. Maka, sungguh disayangkan apabila mahasiswa yang seharusnya menjadi pusat/ ikon manusia beradab (baca: berintelektual) namun faktanya justru berbalik seratus delapan puluh derajat.
Terbukti, para founding father seperti Ir. Soekarno, BJ. Habibie, Soeharto, KH. Abdurrahman Wahid, dan para cendekiawan lainnya mampu memimpin bangsa Indonesia karena mereka memiliki bekal yang berhasil mereka raih dengan tekun, rajin, serta giat menggeluti tradisi intelektual seperti membaca, menulis, berdiskusi, dan lainnya. Bahkan, sebagai aplikasi satu hadist nabi yang berarti “tuntutlah ilmu hingga ke negeri China”, mantan presiden Republik Indonesia (RI) yang sering disapa Gus Dur yang sekaligus merupakan ulama’, cendekiawan, sivitas akademika, dan juga politisi rela berkelana hingga ke berbagai negara seperti Chairo Mesir guna menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Hal itu sungguh berbeda bila kita bandingkan dengan kondisi mahasiswa saat ini yang cenderung lebih memilih untuk ‘bersenang-senang’ dari pada ‘bersakit-sakit’ sebagaimana yang telah dilakukan oleh para cendekiawan pada masa lalu. Implikasi konkritnya, calon intelektual saat ini (mahasiswa) miskin ilmu dan karya.
Sesungguhnya, ada sejumlah faktor penyebab meredupnya tradisi intelektual di kalangan mahasiswa. Di antaranya, krisis kesadaran, miskin wawasan dan pengalaman, di tambah dengan virus globalisasi yang kian menderu di seluruh negeri, termasuk Republik Indonesia.
Maka dari itu, perlu diadakan gerakan massif dari seluruh pihak terutama bagi warga kampus baik dosen, staff, maupun mahasiswa sendiri untuk membangkitkan gairah kaum mahasiswa agar kembali semangat berdinamika dalam aspek intelektual. Sebab, tingkat intelektualitas suatu bangsa merupakan aspek yang dijadikan sebagai tolok ukur tingkat kemajuan suatu bangsa.
Adapun salah satu langkah konkritnya ialah mahasiswa harus sadar bahwa masa depan terletak di pundak mereka. Artinya, mereka kelak akan menjadi penentu nasib bangsa. Dengan begitu, maka mahasiswa akan dapat memiliki ghirah untuk menghidpkan kembali tradisi intelektual yang kian pudar.
Dengan bersama-sama bangkit menghidupkan kembali tradisi intelektual di kalangan mahasiswa, diharapkan mampu melahirkan generi hybrid yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang dalam rangka untuk mensejahterakan rakyat. Wallahu a’lam bi alshowab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar