Mahasiswa dan Tradisi Intelektual
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Selama ini, mayoritas masyarakat menganggap bahwa kodrat mahasiswa
dilahirkan sebagai insan yang membanggakan karena diharapkan dapat bermanfaat
bagi orang di sekitarnya. Dengan kodrat berbagai perannya, di antaranya sebagai
direct of change (perubahan langsung), agent of social change (sumber
perubahan sosial), iron stock (tidak pernah habis), maupun peran
lainnya, kaum mahasiswa dinilai mampu menjadi actor yang membanggakan dan dapat
diandalkan.
Namun, kini citra mahasiswa di kalangan masyarakat luas tampak
mulai terkikis. Hal itu akibat ‘ulah’ dari kaum mahasiswa sendiri. Dengan kata
lain, dalam kacamata masyarakat luas, mahasiswa mendapat stigma negatif.
Anggapan negatif itu tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya, banyak mahasiswa yang
sudah tidak lagi peduli dengan tradisi intelektual. Tradisi membaca, jurnalistik, diskusi kelompok, berorganisasi,
maupun tradisi lainnya yang mendukung meningkatkan kualitas intelektual
mahasiswa kini seolah menjadi tradisi yang membosankan di kalangan mereka. Tradisi-tradisi
mulia itu kini seolah hanya sebatas teori belaka. Implikasinya, harapan dan
cita-cita masyarakat dianggap ‘gagal’ terealisasi’.
Ya, anggapan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai aktor yang
membanggakan masyarakat kini telah terdistorsi menjadi aktor yang mengecewakan.
Kaum mahasiswa kini dinilai telah kehilangan jati diri. Tradisi intelektual
yang pada dasarnya merupakan aktivitas primer mereka (karena merupakan
kebutuhan pokoknya), justru terabaikan. Mereka lebih tertarik dengan melakukan
sejumlah aktivitas yang justru sebenarnya tergolong aktivitas sekunder, semisal
berwisata, mendaki gunung, atau lainnya.
Parahnya, tidak sedikit pula di antara mereka yang masuk dalam
kategori jenis ‘mahasiswa malas’, sehingga tidak sedikit orang pula menyebutnya
sebagai mahasiswa KUPU (kuliah-pulang), KUPER (kurang pergaulan), KUNO (kuliah-nongkrong),
maupun sebutan lainnya. Alhasil, eksistensi mahasiswa di tengah masyarakat di
masa kini dinilai disfungsi. Dalam kitab pendidikan menyebut fenomena itu
dengan “wujuduhu ka’adamihi”.
Berkaitan dengan kondisi itu, secara substantif, sebutan itu
menjelaskan bahwa keberadaan mahasiswa di tengah masyarakat setali tiga uang
tidak ada. Artinya, jika benar kondisi perkembangan mahasiswa memang demikian,
maka alangkah lebih baiknya tidak perlu ada mahasiswa. Sebab, astar
keberadaan mereka tidak dapat ‘dinikmati’ oleh masyarakat luas.
Padahal jika disadari, sebenarnya orientasi utama eksistensi
mahasiswa ialah agar mampu menjadi generasi penerus estafet kepemimpinan
bangsa. Artinya, nasib maju tidaknya bangsa sangat ditentukan oleh mereka.
Maka, sungguh disayangkan apabila mahasiswa yang seharusnya menjadi pusat/ ikon
manusia beradab (baca: berintelektual) namun faktanya justru berbalik seratus
delapan puluh derajat.
Terbukti, para founding father seperti Ir. Soekarno, BJ.
Habibie, Soeharto, KH. Abdurrahman Wahid, dan para cendekiawan lainnya mampu
memimpin bangsa Indonesia karena mereka memiliki bekal yang berhasil mereka
raih dengan tekun, rajin, serta giat menggeluti tradisi intelektual seperti
membaca, menulis, berdiskusi, dan lainnya. Bahkan, sebagai aplikasi satu hadist
nabi yang berarti “tuntutlah ilmu hingga ke negeri China”, mantan presiden
Republik Indonesia (RI) yang sering disapa Gus Dur yang sekaligus merupakan
ulama’, cendekiawan, sivitas akademika, dan juga politisi rela berkelana hingga
ke berbagai negara seperti Chairo Mesir guna menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Hal itu sungguh berbeda bila kita bandingkan dengan kondisi
mahasiswa saat ini yang cenderung lebih memilih untuk ‘bersenang-senang’ dari
pada ‘bersakit-sakit’ sebagaimana yang telah dilakukan oleh para cendekiawan
pada masa lalu. Implikasi konkritnya, calon intelektual saat ini (mahasiswa)
miskin ilmu dan karya.
Sesungguhnya, ada sejumlah faktor penyebab meredupnya tradisi
intelektual di kalangan mahasiswa. Di antaranya, krisis kesadaran, miskin
wawasan dan pengalaman, di tambah dengan virus globalisasi yang kian menderu di
seluruh negeri, termasuk Republik Indonesia.
Maka dari itu, perlu diadakan gerakan massif dari seluruh pihak terutama
bagi warga kampus baik dosen, staff, maupun mahasiswa sendiri untuk
membangkitkan gairah kaum mahasiswa agar kembali semangat berdinamika dalam
aspek intelektual. Sebab, tingkat intelektualitas suatu bangsa merupakan aspek
yang dijadikan sebagai tolok ukur tingkat kemajuan suatu bangsa.
Adapun salah satu langkah konkritnya ialah mahasiswa harus sadar
bahwa masa depan terletak di pundak mereka. Artinya, mereka kelak akan menjadi
penentu nasib bangsa. Dengan begitu, maka mahasiswa akan dapat memiliki ghirah
untuk menghidpkan kembali tradisi intelektual yang kian pudar.
Dengan bersama-sama bangkit menghidupkan kembali tradisi
intelektual di kalangan mahasiswa, diharapkan mampu melahirkan generi hybrid
yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang dalam
rangka untuk mensejahterakan rakyat. Wallahu a’lam bi alshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar