Jumat, 28 Agustus 2015

Muslim Bermoral (Dimuat di Koran Rakyat Jateng edisi 28 Agustus 2015)


Muslim Bermoral
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Qari’ Juara 1 se-Jateng; Peraih Beasiswa Bidikmisi FITK UIN Walisongo Semarang
Saat ini, di tengah canggihnya teknologi modern, berbagai macam informasi datang dengan begitu derasnya tanpa batas. Akibatnya, setiap orang dapat mengaksesnya dengan bebas, baik yang bersifat positif maupun negatif. Sehingga hal itu menjadi salah satu penyebab terjadinya dekadensi moral umat Islam di negeri ini.
Terbukti, hamper setiap hari di media massa baik etak maupun elektronik memberitakan tentang beragam kasus kriminal, seperti korupsi, kenakalan remaja, pencurian, pelecehan, bahkan pembunuhan. Dan ironisnya, mayoritas pelakunya ialah dari kalangan yang ber-KTP Islam.
Dari gambaran umum itu, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa saat ini pokok permasalahan yang sedang melanda umat Islam khususnya di negeri ini ialah dekadensi moral. Oleh karenanya, penting kiranya bagi kita bersama-sama membenahi ‘moral’ umat Islam yang bermasalah itu. Dengan mensinergikan jargon pemerintah saat ini, “revolusi mental” kita umat Islam harus bahu-membahu dalam rangka membentuk generasi Islam yang bermoral (akhlaqul karmah).
Sebab, itu yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita semua. Bahkan, salah satu pokok latar belakang diutusnya Muhammad ialah untuk memperbaiki mora/ akhlak umat manusia. Keterangan itu sebagaimana dalam salah satu hadistnya, “Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq” yang artinya, sesungguhnya aku diutus untuk ‘menyempurnakan’ akhlak.
Menyempurnakan dalam konteks itu maksudnya ialah memperbaiki. Sebab, pada zaman dahulu sebelum kehadiran Nabi Muhammad, moral masyarakat Arab pagan berada di titik gawat darurat (jahiliyah). Pasalnya, mereka hobi berpesta sambil mabuk-mabukkan dengan minum arak, berjudi, berkurban untuk berhala, serta mengundi nasib (QS. Al-Maidah: 90). Selain itu, kaum laki-laki jahiliyah juga hobi mengubur anak-anak perempuan mereka karena itu dianggap aib (QS. Al-Takwir: 8-9). Dan yang tidak kalah ‘menarik’, mereka juga hobi memakan harta orang lain dengan cara yang bathil (baca: korupsi), sebagaimana seperti penjelasan QS. Al-Baqarah ayat 188. Hingga hal itu dijelaskan beberapa kali dalam al-Qur’an. Karena itu, nabi diutus untuk ‘memperbaiki’ moral mereka secara massif.
Dan karena sekarang Nabi telah wafat, maka kita sebagai sesama umat Islam harus memiliki hati nurani untuk saling menolong dan mengingatkan (QS. Al-Maidah: 6 dan QS. Al-‘Imron: 104). Tanpa bersinergi bersama-sama, maka akan sia-sia langkah kita dan tidak akan menemukan solusi yang tepat dan efektif.
Adapun wujudnya dapat beraneka ragam. Namun setidaknya, kita perlu membuat prioritas dan sistem untuk membendung berbagai macam budaya dari luar yang dapat merusak moral umat Islam.
Pertama, pemerintah harus mampu berlaku selektif dalam membatasi informasi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa hingga saat ini, meskipun sudah ada langkah konkrit dan tegas dari pemerintah untuk menghapus (banned) situs-situs negative, baik dari luar maupun dalam negeri, namun masih banyak sekali informasi-informasi yang dinilai tidak layak untuk dikonsumsi masyarakat secara luas.
Kedua, ketegasan pembatasan informasi dan pergaulan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Poin ini menjadi aspek yang tak kalah penting. Sebab, orang tua adalah pihak yang dapat mengontrol anak-anaknya setiap hari. Maka, apabila orang tua dapat mengontrol anaanaknya dalam mengasup informasi serta mengontrol pergaulannya setiap hari, maka itu akan menjadi langkah yang sangat efektif untuk menangkal virus negative yang akan mengkontaminasi pola pikir dan ppola hidup sang anak, sehingga anak-anak itu kelak diharapkan mamp tumbuh menjadi generasi yang bermoral dan bermartabat.
Ketiga, memberikan pengetahuan tentang keislaman baik secara teori maupun aplikatif (nilai-nilai qur’ani dalam kehidupan sehari-hari) secara kontinyu dan efektif. Langkah ini bisa dilakukan dengan cara atau kodel yang bermacam-macam. Bagi orang tua yang merasa kompeten dan memiliki pengetahuan keislaman yang memadai, dapat mendidik dan membimbing anak-anaknya sendiri di rumah. Jika merasa kurang, dapat menyekolahkan anak-anaknya di sekolah islam seperti taman pendidikan al-Qur’an (TPQ),madrasah diniyah, atau sejenisnya.
Setidaknya dengan mengaplikasikan ketiga langkah itu, akan dapat mencetak generasi Islam yang bermoral. Dengan begitu, umat Islam akan mampu menajdi umat tauladan di masyarakat dan menjadi umat yang kuat. Wallahu a’lam bi al-showab.


Rabu, 26 Agustus 2015

Menanti Prestasi Menteri Reshuffle (Dimuat di Koran Jateng Ekspres edisi 27 Agustus 2015)


Menanti Prestasi Menteri Reshuffle
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL FITK UIN Walisongo Semarang di SMP Islam Hidayatullah
Menjelang peringatan hari ulang tahun (HUT) republik Indonesia ke-70 minggu lalu, konstelasi perpolitikan di tanah air sempat ‘terguncangkan’ oleh satu peristiwa sakral dan bersejarah. Pasalnya, pada 12 Agustus lalu melalui keputusan presiden (Keppres) RI nomor 79/P Tahun 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) positif merombak susunan Kabinet Kerja (baca: reshuffle). Tercatat Jokowi me-reshuffle sebanyak lima pos kementrian, yakni Tedjo Edhy Purdijatno sebagai Menkopolhukam, Sofyan Djalil sebagai Menko Perekonomian, Indroyono Soesilo sebagai Menko Kemaritiman, Rachmat Gobel sebagai Menteri Perdagangan, Andrinof Chaniago sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas, dan Andi Widjajanto sebagai sekretaris kabinet.
Selanjutnya, melalui Keppres nomor 80/P Tahun 2015, Jokowi telah menetapkan enam orang pengganti di lima pos kementerian dan sekretaris kabinet. Mereka adalah Luhut B. Panjaitan sebagai Menkopolhukam, Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian, Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman, Thomas Lembong sebagai Menteri Perdagangan, Sofyan Djalil sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan dan Kepala Bappenas,  dan terakhir Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet.
Sesungguhnya, keputusan reshuffle kabinet kerja bukan tanpa dasar dan sebab. Yakni, berdasarkan laporan kinerja para menteri kepada Presiden baik dari masing-masing menteri terkait maupun dari pihak luar, serta cross-chek secara langsung oleh Presiden di lapangan. Selain itu, yang tak kalah penting menjadi bahan pertimbangan bagi Jokowi ialah mengetahui kondisi perkembangan secara fakta dari masing-masing kementerian, misalnya melemahnya nilai mata uang rupiah terhadap dollar Amerika di bawah koordinasi Menko Perekonomian. Berdasarkan itu semua, Jokowi memperoleh nilai hasil kinerja para ‘pembantunya’ selama kurun waktu satu semester. Dan pada akhirnya, dia yakin untuk me-reshuffle para menteri yang dinilai minim berprestasi. Sehingga, proses reshuffle itu benar-benar diupayakan dapat terlaksana secara objektif tanpa unsur intervensi dari pihak manapun., semata-mata memang bertujuan untuk memperbaiki berbagai macam ‘keterpurukan’ dalam beberapa pos kementrian, seperti politik, ekonomi, hukum, maupun aspek lainnya guna mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam suatu negara yang menganut sistem kabinet presidensial termasuk Indonesia, me-reshuffle kabinet merupakan langkah yang wajar dan tidak menyalahi norma, baik adat, agama, maupun negara. Maka dari itu, keputusan bersejarah itu pun juga dilakukan oleh para Presiden di masa llalu sejak Ir. Soekarno hingga Susilo Bambang Yudoyono (SBY).
Secara yuridis, selaku Presiden RI Jokowi memiliki fungsi yang tercakup luas dalam berbagai bidang, termasuk dalam me-reshuffle kabinet. Sebagaimana kewenangan itu termaktub dengan UUD 1945 Pasal 17 Ayat 2, selaku kepala eksekutif Jokowi memiliki hak prerogatif untuk mengangkat dan memberhentikan menteri.
Oleh karena itu, reshuffle menjadi satu ritual khas negara bersistem kabinet presidensial yang pelaksanaannya harus terwujud dengan penuh kebijaksanaan, keadilan, transparan, serta tanggung jawab. Sebab, pemilihan para menteri kabinet merupakan penentuan masa depan bangsa. Apabila pemilihan itu tepat dan sesuai, maka akan maju negeri ini. Pun sebaliknya.
Karena kini reshuffle sudah terlaksana dengan lancar, maka saatnya para menteri baru harus mau serta mampu berusaha dengan sepenuh tenaga untuk dapat memperbaiki Indonesia di bidang masing-masing. Adanya mereka dipilih untuk menjadi pengganti karena mereka dipercaya dan diharapkan oleh Presiden Jokowi agar dapat mengemban amanah rakyat dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab.
Artinya, para menteri dan sekretaris kabinet hasil reshuffle memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari pada kabinet sebelumnya, pertama yaitu mengembalikan kepercayaan publik dengan memperbaiki pos kementrian masing-masing. Berbagai keterpurukan dan kemerosotan dalam berbagai aspek di Indonesia saat ini seolah ‘memkasa’ Jokowi untuk me-reshuffle.
Idealnya, sesungguhnya maksud Jokowi mengganti beberapa menteri dan juga sekretaris kabinet ialah karena dia merasa dan menilai para menteri dan sekretaris kabinet sebelumnya belum mampu membantunya dengan maksimal dan optimal dalam merealisasikan sejumlah program yang terkumpul dalam nawa cita. Bisa jadi keputusan reshuffle itu merupakan buah kekecewaannya karena hasil prestasi mereka tidak dapat mencapai bahkan mendekati target. Sehingga, mau tidak mau Jokowi harus mengganti mereka dengan sosok orang-orang yang dinilai mau dan mampu mewujudkan sejumlah visinya.
Hal itu wajar. Sebab, apapun hasil kinerja menteri, otomatis publik akan mengembalikannya kepada Presiden, dikarenakan para menteri merupakan orang-orang pilihannya. Maka, tanggung jawab atas hasil kinerja para menteri pada akhirnya menjadi tanggung jawab presiden. Dengan kata lain, ‘nasib’ Presiden berada di pundak para menterinya.
Oleh karenanya, dalam konteks berumah tangga, menteri itu ibarat seorang istri. Apabila seorang suami menemukan sosok istri yang cerdas, profesional, dan trampil, otomatis suaminya pula yang akan memperoleh nama baik. Reputasi pun akan sama-sama naik. Begitu pula hubungan antara Presiden dengan menteri.
Kedua, mewujudkan visi-misi Presiden Jokowi. Untuk dapat mewujudkannya, para menteri yang bersatu dalam kabinet kerja, khususnya menteri hasil reshuffle yang menjadi harapan Jokowi, harus mau serta mampu berusaha agar dapat mencapai ‘prestasi’ gemilang di bidang masing-masing. Sebab, Jokowi menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. Caranya dapat beragam tergantung dari kreatifitas masing-masing menteri. Sebab, seluruh menteri hasil reshuffle saat ini hampir tidak ada yang tidak berpengalaman dan profesional di bidangnya. Mayoritas mereka telah berpengalaman menangani bidang yang ditempati saat ini dan telah terbukti memberikan kontibusi konkrit.
Maka dari itu, di satu sisi, Presiden Jokowi selaku koordinator semua menteri, harus menentukan indikator-indikator capaian/ keberhasilan/ kemajuan yang konkrit, substantif, realistis, nan futuristik sesuai dengan bidang masing-masing yang meliputi sejumlah aspek yang bersifat menyeluruh. Artinya, indikator-indikator tersebut dapat dikatakan jelas dan berdampak mewujudkan peningkatan kemajuan Indonesia ketika mereka benar-benar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia di masing-masing aspek sesuai posisinya.
Di sisi lain, para menteri harus mau serta mampu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat memenuhi bahkan melampaui segala target yang diberikan oleh sang Presiden. Untuk dapat mewujudkan sinergitas dan kekompakan yang hebat di antara mereka, maka mereka harus mempererat komunikasi satu sama lain berniat unuk ‘berlomba’ dalam kebaikan. Hal itu penting. Sebab, kualitas komunikasi sangat menentukan tingkat keharmonisan hubungan antara suami dengan istri. Pun antara Presiden dengan para menterinya.
Dengan mewujudkan itu semua, diharapkan ke depan para menteri hasil reshuffle Presiden Jokowi mampu mengemban mandat Presiden dan amanah rakyat dengan maksimal, optimal, dan sebaik-baiknya. Sehingga akan kian terbuka lebar peluang tercipta Indonesia hebat nan bermartabat. Wallahu a’lam bi al-showab.





Kamis, 20 Agustus 2015

Membebaskan Siswa dari Narkoba (Dimuat di koran Jateng Ekspres edisi 29 Juni 2015)

Membebaskan Siswa dari Narkoba
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Kalo loe gak pake narkoba, gak gaul loe. Kalo loe gak pake narkoba, gak keren loe !”
Demikian ucapan para remaja masa kini yang sangat memprihatinkan. Ucapan itu sudah sangat lazim didengar para remaja, khususnya bagi para siswa, baik di tingkat, Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), lalu siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), bahkan siswa Sekolah Dasar (SD), maupun mahasiswa Perguruan Tinggi (PT) sekalipun. Ucapan itu menunjukkan bahwa narkoba tampak sudah menjadi suatu “barang biasa” di kalangan mereka. Padahal, melalui Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 pemerintah secara tegas akan menghukum siapapun yang terlibat dalam sindikat narkoba. Klimaksnya, beberapa bulan lalu ditetapkanlah hukuman mati bagi mereka.
Ironisnya, tidak sedikit para siswa di republik ini yang terlibat menjadi tersangka narkoba, baik sebagai pengguna, pengedar, maupun pengguna sekaligus pengedar. Hal itu semakin membuktikan betapa ‘ampuhnya’ kalimat itu, ibarat ‘mantra’ bagi kaum terpelajar sehingga seolah tersihir untuk berani mencoba mengkonsumsi narkoba. Proses ajakan itu biasanya pada mulanya teman siswa yang sudah tercandu narkoba dahulu meminta teman siswa lain untuk mencobanya walau sedikit dan gratis. Lambat laun siswa yang awalnya hanya berniat coba-coba, karena kecanduan narkoba, akhirnya dia mengharuskan diri sendiri untuk selalu mengkonsumsi.
Di era modern ini, merupakan rahasia umum bahwa narkoba sudah menjadi produk orang dimanapun, tidak pandang usia, golongan, pekerjaan, maupun pendidikan. Hal itu dikarenakan telah menjamurnya barang haram itu di semua lini. Bahayanya, dari tahun ke tahun, mayoritas penggunanya justru merupakan dari golongan siswa di berbagai tingakatan. Kaum yang dipandang masyarakat sebagai kaum “berpengetahun” justru menjadi pelaku terbesar.
Fakta itu terbukti berdasarkan catatan Badan Narkotika Nasional (BNN) dan POLRI pada tahun 2013, pada tahun 2008 hingga 2012 jumlah tertinggi tersangka narkoba merupakan pelajar Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), lalu siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Dasar (SD), meskipun dari tahun ke tahun jumlahnya cenderung menurun. Pada tahun 2008, jumlah tersangka narkoba dari kalangan siswa tercatat sebanyak 28.479 jiwa, dan pada thun 2012 menjadi 19.730 jiwa.
Sedangkan berdasarkan catatan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO),  jumlah terbesar pasien rawat jalan dan rawat inap penyalahguna narkoba dari tahun 2009 hingga 2013 merupakan siswa SLTA (sebanyak 206 menjadi 298 jiwa), lalu diikuti S1 (sebanyak 81 menjadi113 jiwa) dan D3 (sebanyak 67 menjadi 46 jiwa). Senada dengan data itu, berdasarkan catatan kepolisian, pada tahun 2014 pelajar pengguna narkotika mengalami peningkatan yang  signifikan dari pada thun-tahun sebelumnya, yakni pelajar SD sebanyak 111 jiwa, SMP 35 jiwa, SMA 874 jiwa, dan mahasiswa mencapai 70 jiwa (Koran Sindo, 25/ 12/ 14).
Fakta itu menjadi bukti yang sangat kuat betapa ironisnya kondisi para siswa Indonesia yang terlibat dalam kasus narkoba, baik sebagai pengguna, pengedar, maupun sebagai keduanya. Kondisi demikian memunculkan pertanyaan besar bagaimana peran pemerintah, masyarakat, serta terutama sekolah dalam rangka meretas kaum siswa dari bahaya laten barang haram itu. Hingga pemerintah menetapkan hukuman mati bagi sejumlah tersangka narkoba pada beberapa bulan lalu enjadi salah satu alas an betapa bahayanya produk haram itu. Sebab, seperti diketahui bersama, produk haram itu dapat merusak masa depan generasi bangsa.
Padahal, mereka merupakan harapan bangsa. Sebab, bisa dikatakan nasib masa depan bangsa terletak di pundak mereka. Artinya, maju tidaknya bangsa ini tergantung dari mereka. Namun, apabila masa depan mereka telah rusak karena narkoba, mau jadi apa bangsa ini di masa mendatang? Jika kondisi kaum harapan bangsa justru demikian, bukan tidak mungkin bangsa ini akan menjadi kian dekat dengan jurang kehancuran. Sebab, sebenarnya, potensi kemajuan bangsa terletak pada mereka.
Maka dari itu, diperlukan mengadakan gerakan massif di seluruh lini kehidupan selain sudah adanya hukuman mati dari pemeintah sebagai upaya pemberantasan narkoba. Dalam konteks ini, kita harus benar-benar fokus, ikhlas, serius, serta mau berperan aktif dalam rangka menjauhkan kalangan siswa dari narkoba, mengingat bahayanya yang dapat berakibat fatal.
Karena dalam penanganan masalah ini tidak bisa dilakukan satu pihak saja untuk memantau, mengontrol, dan mencegah peredaran narkoba di semua lingkungan, maka diperlukan sinergitas dari seluruh pihak selain pemerintah, terutama lingkungan keluarga (orang tua) dan lingkungan sekolah. Sebab, kedua belah pihak merupakan orang-orang yang tentunya sering bergaul dengan para siswa. Maka, jika kedua belah pihak dapat mengawasi dan mengontrol siswa, otomatis akan dapat menekan menngkatnya tersangka narkoba dari kalangan siswa.
Adapun bentuk aplikasi di lapangannya bisa bermacam-macam, tergantung kondisi serta posisi.Misal, bagi kedau orang tua, sebelum mereka melakukan langkah dengan selalu mengawasi pergaulan putra-putrinya di lingkungan rumah dan sekitarnya, mereka harus senantiasa member pengetahuan tentang berbagai macam bahaya narkoba yang berakibat fatal.
Sedangkan untuk saudaranya, harus senantiasa mengawasi saudara lainnya agar jangan sampai sekali-kali bergaul dengan teman yang berpotensi mengkonsumsi narkoba. Sebab, sekali mendekati teman yang demikian, maka akan berpotensi mendekati naarkoba. Sekali mencoba narkoba, maka seterusnya akan kecanduan. Dan akibatnya akan merusak seluruh organ tubuhnya sendiri. Apabila menemukan saudaranya, kedua orang tua, saudaranya, atau masyarakat sekitar harus berani mencegahnya, baik ditindak sendiri maupun segera melaporkan ke pihak berwajib.
Adapun pihak sekolah, karena hampir setiap hari siswa belajar di sekolah, otomatis peran sekolah dalam mencegah para siswanya agar tidak mendekati barang haram itu tentu sangat besar. Misal cara pencegahannya yaitu, pertama, memberikan sanksi tegas terhadap siswa yang terlibat dalam sindikat narkoba. Kedua, memberikan pendidikan pengetahuan tentang narkoba, terutama tentang bahayanya yang dapat merusak masa depan siswa yang menjadi calon penerus masa depan bangsa.

Dalam rangka memperingati hari anti narkoba se-dunia pada tanggal 26 Juni kemarin, mari bersama-sama membebaskan siswa dari bahaya narkoba demi mewujudkan masa depan bangsa Indonesia yang cerah. Semoga peringatan hari special itu tidak hanya sebatas peringatan, tapi mampu menjadi pengingat bagi semua pihak terutama siswa agar selalu menjauhi narkoba. Tanpa peran semua pihak, mustahil upaya pencegahan narkoba di kalangan siswa dapat terwujud. Setidaknya dengan melakakukan langkah-langkah di atas sesuai kondisi dan posisinya, diharapkan ke depan jumlah pelajar pengguna maupun pengedar narkoba dapat ditekan. Semoga! Selamat Hari Anti Narkoba Se-Dunia. Wallahu a’lam bi al-showab.

Urgensi Kecerdasan Spiritual untuk Artis (Dimuat di koran Rakyat Jateng edisi 15 Juni 2015)


Urgensi Kecerdasan Spiritual untuk Artis
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, berbagai media sosial, baik cetak maupun online sedang ramai memberitakan tentang kasus prostitusi online. Ironisnya, ternyata tidak sedikit dari kalangan artis yang terlibat dalam lingkaran setan tersebut. Kasus tersebut mulai mencuat di media massa ketika beberapa minggu lalu seorang artis berinisial AA bersama dengan seorang mucikarinya berinisal AR tertangkap basah oleh anggota polisi yang menyamar berpura-pura menjadi pelanggannya di salah satu hotel berbintang di Jakarta. Sejauh ini, polisi telah menetapkan RA sebagai tersangka dan masih mengembangkan kasus tersebut.
Dari kasus tersebut pula, polisi berhasil membongkar daftar sejumlah inisial artis yang diduga terlibat dalam pekerjaan keji tersebut. Berdasarkan pengakuan si mucikari tersebut, sebanyak kurang lebih 200 artis menjadi pekerjanya. Implikasinya, persebaran info negatif tersebut tentu menjadikan citra negatif bagi kalangan artis lain yang tidak terlibat dalam pekerjaan haram tersebut, sehingga menjadi dirugikan. Khususnya, bagi mereka yang kebetulan namanya sama dengan inisial daftar artis yang diduga terlibat di dalamnya. Di sisi lain, kabar itu tentu tidak akan terlepas dari sikap kontroversi masyarakat atas tuduhan pekerjaan keji itu di kalangan artis.
Kemunculan kasus tersebut menjadi bukti kuat bahwa krisis kecerdasan spiritual telah melanda kalangan artis. Hal itu diperkuat dengan sejumlah komentar dari kalangan artis sendiri yang tampak terkesan apatis. Sikap apatis tersebut muncul karena tidak sedikit dalam paradigma kalangan artis yang menganggap bahwa pekerjaan itu di kalangan artis bukan merupakan suatu hal yang tabu. Dengan kata lain, pekerjaan haram itu telah menjadi suatu kebiasaan di kalangan artis.
Karena itu, paradigma mereka tampak mengalami distorsi. Artinya, karena mereka menganggap pekerjaan itu sebagai suatu kebiasaan, maka mereka menganggap itu merupakan suatu kewajaran di kalangan artis. Dengan kata lain pula, pekerjaan itu telah menjadi rahasia umum bagi mereka. Sehingga, seolah mereka sepakat ‘menghalalkan’ pekerjaan yang jelas dilarang, baik dalam perspektif norma agama (QS. Al-Isro’: 32, An-Nur: 2-3, An-Nisa: 15-16, Al-Furqan: 68), adat, hukum negara, maupun norma lainnya.
Jika kita cermati, tampak dengan jelas bahwa para artis yang rela menjual harga diri mereka itu tidak terlepas dari dua alasan utama. Pertama, perilaku hedonis. Ya, hedonis merupakan perilaku negatif yang menyebabkan berbagai kalangan (tidak hanya artis) terjerumus ke dalam langkah/ pekerjaan haram. Misal dari kalangan pejabat, karena terjangkit penyakit hedonis, mereka rela ‘menuhankan’ materi. Artinya, aspek materi menjadi parameter utama bagi mereka. Akibatnya, mereka melakukan segala cara untuk dapat meraih materi sebanyak-banyaknya agar dapat menikmati hidup bermewah-mewah. Akibatnya, terlaksanalah perilaku koruptif di berbagai kalangan pejabat di negeri ini, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Di kalangan artis, tidak jauh beda dengan perilaku hedonis para pejabat itu. Yang berbeda yakni hanya dalam objek yang ‘dituhankan’. Jika pejabat ‘mentuhankan’ uang, jika artis ‘menuhankan’ penampilan/ style. Dan semuanya bermuara pada sikap, perilaku, atau kebiasaan yang bernuansa serba berlebihan. Padahal, dalam perspektif Islam, Allah sangat benci tehadap siapapun yang bersikap berlebihan. Hal itu sebagaimana penjelasan dalam potongan ayat QS. Al-An’am: 141.  Akibatnya, tidak mengherankan apabila sejumlah artis hingga terjatuh ke dalam jurang dosa prostitusi.
Kedua, sikap pragmatis. Sikap kedua ini juga merupakan satu sikap negatif yang mampu mengantarkan manusia termasuk para artis hingga nekad menjerumuskan diri ke dalam jurang dosa. Bahkan, tidak jarang antara sikap pragmatis dengan sikap hedonis beriringan erat. Banyak orang lupa dosa karena setelah memiliki sifat hedonis, lantas diikuti dengan sikap pragmatis. Atau bisa juga sebaliknya, setelah memiliki sifat pragmatis baru diikuti dengan sifat hedonis. Namun, pada umumnya, banyak di antara kita tidak hanya kalangan artis yang terjerumus ke dalam peilaku negarif karena setelah memiliki perilaku atau kebiasaan yang bermewah-mewahan, lantas kita ingin meraihnya dengan tanpa melalui proses yang berliku-liku, bahkan harus berdarah-darah.
Artinya, kita ingin meraih materi sebanyak-banyaknya dengan cara atau langkah yang instan, cepat, dan mudah meskipun dengan cara yang sebenarnya dilarang, baik dalam norma agama, adat, hukum, maupun norma lainnya. Itulah potret singkat latar belakang penyebab utama mengapa kini para artis yang sebenarnya dengan popularitasnya bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya, namun justru mereka seolah tidak bersyukur dengan memanfaatkan popularitasnya untuk menjual harga diri mereka dengan harga yang mahal. Dalam standard mereka, semakin tinggi tingkat popularitasnya, semakin tinggi pula harga yang bisa dipasang mereka untuk menjual diri kepada lelaki hidung belang. Bahkan saking kejinya sikap tidak bersyukur, dalam perspektif Islam, mereka itu tergolong orang yang ‘kafir’ (QS. Ibrahim: 7). Maka, kelak nerakalah tempat bagi mereka sebagai balasannya.
Mengetahui kebobrokan moralitas kaum artis seperti itu, maka menjadi sangat perlu mengadakan pendidikan dalam rangka menanamkan kecerdasan spiritual bagi kalangan artis. Langkah tersebut juga dapat berguna untuk meluruskan orientasi paradigma sesat mereka yang menghalalkan segala cara untuk meraup uang sebanyak-banyaknya melalui langkah yang dilarang agama, adat, maupun negara. Agar kelak mereka menjadi takut untuk mencari rizki melalui jalan yang jelas dilarang.
Adapun realisasi penanaman tersebut dapat dilaksanakan lebih bagi kalangan artis sendiri. Artinya, bukan berarti tidak menjadi kewajiban pihak lain untuk terlibat ke dalam agenda penanaman kecerdasan spiritual kepada mereka. Namun, untuk melaksanakan langkah utama yang harus menempuh solusi tersebut yaitu kesadaran di kalangan artis menjadi suatu keniscayaan. Caranya, bisa dalam bentuk mereka memperdalam pengetahuan beragama dengan berkunjung ke para tokoh agama terdekat, membaca buku atau artikel tentang itu, ataupun cara lain. Maka, para artis harus mau berusaha meningkatkan kecerdasan spiritualnya dengan tulus ikhlas demi tercipta suasana yang kondusif, aman, tentram, serta memperoleh rizki yang halal dan barokah guna untuk beribadah agar memperoleh ridlo-Nya. Wallahu a’lam bi al-showab.


Ijasah Palsu, Dekadensi Pendidikan (Dimuat di koran Jateng Ekspres edisi 14 Juni 2015)


Ijasah Palsu, Dekadensi Pendidikan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, tanah air kita sedang gencar dengan berita kasus ijasah palsu. Kasus tersebut sebenarnya bukan merupakan kasus baru yang membesit di dunia pendidikan. Namun, dalam perkembangan sejauh ini, praktik itu dapat dinilai tergolong parah. Pasalnya, persebaran praktik jual beli ijasah palsu tidak hanya melalui orang-orang tertentu, melainkan telah dilakukan secara terang-terangan. Bahkan, kita dapat menemukan dengan mudah praktik busuk tersebut ketika kita sedang ‘googling’. Klimaksnya, pada bulan Mei lalu, tim Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di bawah pimpinan Muhammad Nasir berhasil menguak praktik menjijikkan tersebut di salah satu Universitas di Jakarta dan Medan.
Praktik ijasah palsu itu tentu sangat meresahkan para sivitas akademik sejati. Sebab, selain merusak citra pendidikan nsional di republik ini, praktik tersebut juga menyebabkan melemahnya kualitas pendidikan kita. Dan poin kedua itu justru yang perlu kita perhatikan dengan seksama. Kita haarus menyadari bahwa hal itu sungguh berbahaya bagi nasib eksistensi negeri ini. Sebab, perkembangan seluruh aspek dalam kehidupan ini baik politik, hukum, ekonomi, budaya, maupun aspek lainnya bermula dari aspek pendidikan. Dengan kata lain, aspek pendidikan menjadi pondasi atau kunci penentu nasib masa depan bangsa.
Ya, pendidikan merupakan aspek yang sangat fundamental bagi negeri manapun, termasuk Indonesia. Namun, lantas bagaimana jika sampai dunia pendidikan kini ternodai oleh praktik jual beli ijasah palsu oleh sejumlah oknum tidak bertanggung jawab? Jawabannya tentu jelas, yakni praktik tersebut otomatis akan mereduksi kualitas pendidikan generasi bangsa kita. Analogi sederhananya, setiap generasi yang lahir dari produk ‘ijasah palsu’, tentu kualitasnya juga berpotensi palsu. Karena keotentikan ijasah telah sirna, maka otomatis keotentikan kualitas diri pun ikut sirna. Gambaran sederana itu merupakan sunnatullah (hukum alam).
Di sisi lain, praktik tersebut merupakan bukti salah satu rusaknya mental anak bangsa. Sebab, praktik ijasah palsu menggambarkan telah merebaknya ‘virus’ pragmatisme di dunia pendidikan. Dan segala bentuk praktik  pragmatisme di semua lini baik politik, ekonomi, hukum, pendidikan, maupun aspek lainnya bisa dipastikan akan menyebabkan efek negatif. Sebab, untuk mencapai suatu prestasi, hasil, atau target, orang yang menempuhnya dengan jalan pragmatis, maka bisa dipastikan dia melakukan cara yang tidak benar dan tidak dibenarkan baik dalam norma agama, adat, maupun negara. Salah satu bukti konkritnya ialah praktik ijasah palsu. Itu merupakan ‘capaian’ yang diraih oleh seseorang tanpa melalui proses pembelajaran yang benar  dan dibenarkan baik secara norma agama, adat, maupun negara.
Artinya, pelaku yang terlibat dalam ‘transaksi’ jual beli ijasah palsu bisa dianggap tidak menghormati hakikat proses pendidikan di lembaga sekolah, baik dari jenjang sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) maupun hingga perguruan tinggi. Otomatis, integritas sekelompok orang semacam itu pun tiada artinya lagi. Dalam hal ini Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, dosen UI mengungkapkan, masa lalu yang ‘membunuh’ masa depan. Kalimat tersebut sungguh tepat untuk mengungkapkan kondisi praktik busuk jual beli ijasah palsu.
Mencuatnya praktik itu, maka dipertanyakan pula orientasi oknum para pelakunya. Bagi para pembelinya, bisa dinilai bahwa mereka tidak menghormati proses kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah maupun kampus. Munculnya sikap tersebut jelas mengindikasikan ketidakpahaman mereka atas nilai-nilai pendidikan. Selain itu, mereka juga bisa dibilang tidak menghormati ilmu. Bahkan, mereka bisa dibilang cacat moral atau mengalami degradasi moral. Sebab, sangat kontradiktif jika mereka dikatakan ingin meraih ilmu yang berada dalam bingkai lembaga pendidikan beserta prosesnya, namun perilakunya justru menodainya.
Padahal, dalam kitab “Ta’lim al-Muta’akkim” telah jelas diterangkan bahwa salah satu syarat seseorang ingin meraih ilmu yang manfaat dan barokah ialah “thulul waqtu” (waktu lama). Waktu lama dalam konteks ini maksudnya ialah untuk dapat meraih ilmu yang benar-benar mapan, orang tersebut harus ‘mengorbankan’ sebagian waktunya untuk fokus dalam mempelajarinya. Mustahil seseorang dapat menguasai suatu ilmu hanya dengan mempalajarinya dalam waktu yang singkat (baca: tidak wajar). Seperti dalam kasus ijasah palsu, yaitu sebagian dikatakan palsu dikarenakan pembawa ijasah itu tidak melalui proses embelajaran yang wajar. Pasalnya, proses belajar antara guru (dosen) dengan siswa/ mahasiswa cukup melalui dunia maya, alias internet. Maka, proses itu sungguh tidak selaras nilai-nilai pendidikan, baik dalam perspekif agama maupun perundang-undangan negara.
Sementara bagi penjual ijasah, oknum pihak ini sebagian merupakan dari golongan akademis dan sebagian lain merupakan golongan non akadmis. Sangat disayangkan ketika proses sidak dadakan tim Menteri Nasir membuktikan bahwa pihak sivitas akademik terlibat dalam transaksi jual beli ijasah palsu. Namun, pada dasarnya, baik dari golongan manapun, pelaku penjual ijasal palsu tetap tidak dibenarkan.
Dalam gambaran lain, kasus peredaran ijasah palsu tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli barang  di pasar. Padahal, semua elemen telah mengetahui bahwa ijasah bukan merupakan suatu produk untuk diperjual belikan, melainkan suatu symbol capaian prestasi seseorang karena telah sukses meraih prestasi akademik dalam jenjang tertentu. Namun, fenomena ijasah palsu sungguh tampak sebagai perwujudan telah adanya pendistorsian atas ijasah palsu. Ijasah yang semula menjadi suatu benda untuk mengetahui hasil prestasi seseorang, kini tampak hanya sebatas sebagai ‘jembatan’ bagi kalangan tertentu guna memperoleh jabatan atau posisi strategis demi meraih gaji melimah. Lagi-lagi mindset orang semacam ini merupakan efek akibat virus pragmatism.
Semoga, dengan terkuaknya praktik ijasah  palsu di negeri ini, pemerintah beserta masyarakat dapat bersinergi memberantas hingga tntas. Selain itu, pihak berwajib harus menghukum dengan tegas kepada oknum yang terlibat yang diketahi karena unsure kesengajaan.  Dengan dbegitu, maka tidak akan ada lagi penodaan di dunia pendidikan. Wallahu a’lam bi al-showab.


Menghapus Kemerdekaan Semu (dimuat di Koran Jateng Ekspres edisi Jum'at 21 Agustus 2015)


Menghapus Kemerdekaan Semu
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang di SMP Hidayatullah
Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga berusia 70 tahun ini, bangsa Indonesia masih menyandang status sebagai negara berkembang. Secara tidak langsung, berarti kondisi bangsa Indonesia sejatinya masih terpuruk. Padahal, capaian prestasi kemerdekaan sudah melewati masa perak, yakni ke-70. Hal itu tergolong tidak muda lagi. Artinya, waktu tujuh puluh tahun kemerdekaan tepat pada 17 Agustus kemarin seharusnya cukup untuk mengubah kondisi keterpurukan bangsa ini akibat penjajahan yang “mencekik” rakyat menjadi sebuah bangsa yang berstatus maju.
Otomatis, di balik status itu, seharusnya dengan menikmati kemerdekaan sekian lamanya bangsa Indonesia dapat berbenah diri di seluruh lini kehidupan baik pendidikan, politik, ekonomi, maupun aspek lainnya, sehingga mampu terlahir menjadi bangsa berdikari. Bukan justru dengan kondisi merdeka, lantas kita menjadi terlena dan melupakan spirit perjuangan para pejuang di masa lalu. Itu bisa dibilang dhalim. Jika realitanya demikian, lantas mau sampai kapan bangsa Indonesia setia dengan status sebagai bangsa yang berkembang? Akankah bangsa ini menjadi negara berkembang selama-lamanya?
Jawabannya tentu jelas ada di pundak setiap pribadi warga negara Indonesia. Jika bukan kita, siapa lagi yang akan mengubah status negara kita dari negara berkembang menjadi negara maju ? Artinya, kita tidak semata-mata berjuang demi meraih status sebagai negara maju, melainkan yang terpenting ialah kita harus serius dan “mati-matian” memperjuangkan kemerdekaan bangsa kita yang hakiki. Sebab, jika kita dapat memahami kondisi saat ini, sesungguhnya bangsa kita sedang berada dalam penjajahan oleh bangsa lain.
Pasalnya, meskipun secara yuridis status bangsa kita telah merdeka sejak tahun 1945, namun hakikatnya kita sedang dijajah oleh bangsa asing dalam sejumlah aspek kehidupan yang meliputi aspek politik, pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Contohnya, roda perpolitikan pemerintah kita sedikit banyak telah dikendalikan oleh bangsa asing. Hal ini dapat kita ketahui dengan mudah dengan menengok pada melalui sejumlah perjanjian politis antara pemerintah Indonesia dengan pihak asing. Setelah kita telusuri dan kita pahami seutuhnya, sebenarnya perjanjian-perjanjian itu seperti PT. Free Port dan PT. Exon Mobil, yang seharusnya dapat menambah devisa negara sehingga untung namun justru berbalik. Hampir seluruh perjanjian atau kerjasama antara bangsa Indonesia dengan bangsa asing pada akhirnya merugikan negara kita karena meraup berbagai macam kekayaan Indonesia.
Alhasil, hampir seluruh kekayaan alam Indonesia yang seharusnya kita bisa menjadi bos karena sebagai pemilik yang sah, namun faktanya masyarakat kita justru hanya sebatas menjadi para tenaga kerja bangsa asing di tempat kerja di negara sendiri. Hal ini sebagaimana uraian penulis di Koran wawasan edisi 7 Februari oleh 2015 yang berjudul “Menjadi Kuli di Negeri Sendiri”. Penulis hingga mengibaratkan para tenaga kerja bangsa pribumi sebagai “kuli” karena berdasarkan fakta di lapangan, sejumlah aset besar dan penting negara telah “dikuasai” oleh asing, dan pekerjanya adalah masyarakat Indonesia sendiri.
Kondisi itu seharusnya terbalik. Idealnya, masyarakat kita justru menjadi pihak yag mempekerjakan bangsa asing, bukan kita yang dipekerjakan di lahan sendiri. Itu merupakan sebagian potret kecil penjajahan bangsa asing di dunia politik. Pun dengan aspek-aspek lainnya hampir bernasib serupa. Meskipun selama ini kita menggembor-gemborkan sebagai bangsa yang telah sekian lama merdeka, namun sebenarnya kita sungguh menjadi bangsa yang “terjajah”, terjajah secara politis, ekonomis, edukasi, dan lainnya.
Maka dari itu, dalam rangka menyambut perayaan hari kemerdekaan Indonesia ke-70 besok pada 17 Agustus 2015, kita harus berbenah diri. Kita harus mau berkontemplasi, sebenarnya apa yang salah dari kita sehingga kita bisa sampai “terjajah” oleh bangsa asing. Jika benar demikian, artinya perolehan kemerdekaan yang telah kita nikmati selama ini tak lain hanyalah sebatas kemerdekaan semu. Kesenangan kemerdekaan yang kita nikmati saat ini sesungguhnya hanyalah fatamorgana, hingga kita terlena.
Untuk itu, kita harus mengobarkan kembali spirit perjuangan para founding father seperti Bung Karno, Bung Hatta, serta para pejuang lain kita di masa lalu dengan menyusun dan merealisasikan berbagai langkah taktis, strategis, substantif, serta futuristik. Mengobarkan semangat kemerdekaan bukan berarti kita melakukan tindakan anarkhis seperti memerangi bangsa asing dengan menembaki, mengebom, atau bentuk lainnya. Melainkan, kita harus “memerangi” mereka dengan menjadi dan melahirkan generasi hybrid, yakni setidaknya menjadi generasi yang cerdas di bidang masing-masing. Sebab, penjajahan saat ini tidak berwujud kekerasan fisik seperti pada tempo lalu. Yang pasti, membebaskan Indonesia dari kemerdekaan semu menjadi tanggung jawab bersama.
Adapun wujudnya dapat bermacam-macam. Namun, kita perlu merumuskan langkah-langkahnya yang konkrit berdasarkan posisi dan perannya. Misal, apabila kita sebagai guru, kita bertanggung jawab untuk dapat mencetak generasi yang kompetitif, unggul, berkualitas, dan profesional. Apalagi bila kita memiliki posisi strategis yang dapat berdampak besar, misalnya sebagai presiden, menteri, gubernur, atau posisi strategis lainnya, maka sudah semestinya kita dapat memanfaatkannya untuk “memerangi” para “penjajah” dengan tidak mudah terpolitisasi oleh mereka, sehingga menghasilka kebijakan-kebijakan yang merugikan negara sendiri.
Semoga, kita segera dapat meraih kemerdekaan yang hakiki dan sukses menyandang status sebagai negara maju. Sebab, status itu merupakan indkator bahwa negara ini mampu membuat peningkatan-peningkatan capaian dalam sejumlah aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Selamat Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ke-70. Wallahu a’lam bi al-showab.



Rabu, 19 Agustus 2015

Mensyukuri Kemerdekaan (Dimuat di Koran Wawasan edisi 18 Agstus 2015) http://issuu.com/koranpagiwawasan/docs/wawasan_20150818


Mensyukuri Kemerdekaan
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa PPL Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang di SMP Islam Hidayatullah
Momentum hari perayaan kemerdekaan republik Indonesia ke-70 telah berlalu. Hampir tidak ada warga Indonesia yang tidak ikut andil ‘meramaikan’ perayaan menyambut hari bersejarah itu. Hal itu tampak dengan peran aktif masyarakat yang semangat memasang bendera merah putih dan bendera umbul-umbul dengan berbagai ukuran di sepanjang jalan, lorong, gang, gapura, gedung-gedung sekolah, perusahaan, serta kantor-kantor pemerintah. Selain itu, khususnya masyarakat di pedesaan dan pedalaman kota di sekitar Jawa Tengah yang terkoordinir dalam setiap RT atau RW menyambut hari kemerdekaan RI dengan mengadakan berbagai jenis perlombaan khas anak-anak, seperti lomba makan kerupuk, tarik tambang, lari kelereng, balap karung, dan lainnya.
Selanjutnya, di sejumlah daerah tertentu di Jawa Tengah misalnya di Blora, ketika menjelang jatuh hari proklamasi kemerdekaan RI masyarakat di situ menyambutnya dengan mengadakan ‘selametan’ di balai desa atau di tempat kediaman salah satu warga. Perayaan itu bukan berarti bentuk kesyirikan, melainkan dimaksudkan sebagai bentuk manifestasi rasa syukur masyarakat yang begitu besar atas karunia kemerdekaan dari Tuhan YME yang telah sukses diperoleh para founding father yang gigih berani di masa lalu.
Pada dasarnya, apapun bentuk perayaan setiap warga negara Indonesia untuk menyambut hari proklamasi kemerdekaan Indonesia besok tanggal 17 Agustus 2015 sebagai peringatan hari ke-70 tidak ada salahnya. Artinya, sah-sah saja ketika kita ingin merayakannya dalam upacara formal maupun non formal, secara adat, agama, atau lainnya. Yang terpenting, tidak bersifat euforia dan berlebihan (over). Sebab, segala sesuatu yang bersifat demikian itu tentu akan dibenci oleh Allah, karena pada akhirnya akan lebih banyak mengakibatkan mudharat dari pada manfaat. Pun dengan perayaan sambutan hari kemerdekaan.
Dr. Mohammad Nasih, dosen Pascasarjana FISI UI, menegaskan bahwa merayakan hari kemerdekaan merupakan bagian dari ungkapan cinta tanah air. Penegasan itu secara substantif selaras dengan salah satu hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi “hubbul wathon minal iman” yang artinya adalah cinta tanah air merupakan bagian dari iman.
Artinya, orang yang merayakan hari kemerdekaan termasuk orang beriman. Meskipun tidak sedikit pula pihak yang berpendapat bahwa hadist itu berkualitas maudhu’ (palsu). Artinya, ungkapan yang dibilang hadist itu hanya merupakan sebuah maqolah (perkataan) orang arab. Namun, jika memang benar demikian, tidak ada salahnya bila kita menjadikannya sebagai ‘pecut’ untuk membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme kita untuk tetap cinta tanah air.
Sementara dalam QS. Ibrahim: 7, Allah SWT telah menjelaskan kepada umat manusia tentang urgensi bersyukur. Dalam ayat tersebut, Dia juga menegaskan bahwa apabila ada hamba-Nya yang tidak bersyukur, maka dia akan memperoleh adzab yang sangat pedih dari-Nya.
Substansi firman Allah tersebut sangat berkaitan erat dengan momentum perayaan kemerdekaan mendatang yang dikategorikan sebagai bentuk syukur. Maka, apabila kita tidak  ‘mensyukuri’ karunia kemerdekaan ini, otomatis kita akan berpotensi mendapat ganjaran berupa adzab yang pedih dari-Nya.
Selanjutnya, setelah kita merasa memiliki rasa cinta tanah air yang tinggi dengan bentuk perayaan hari kemerdekaan secara semarak dan semangat, kita perlu berkontemplasi lagi. Maksudnya, dalam melakukan perayaan, kita jangan asal menyelenggarakannya tanpa makna sedikitpun. Melainkan kita juga harus berpikir, apakah pelaksanaan perayaan kita hanya bersifat rutinitas tahunan atau memang bermakna signifikan.
Jika perayaan itu dikategorikan sebagai salah satu bentuk rasa syukur, lantas apakah kita hanya akan menyambutnya dengan sebatas merayakannya dengan mengadakan berbagai acara dan ritual seperti selametan ? Artinya, apakah bentuk syukur semacam itu saat ini masih relevan dan bermakna signifikan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan pemikiran dan pemahaman secara komprehensif serta mendalam dengan menengok sejarah lika-liku teraihnya kemerdekaan dari para penjajah. Berbagai usaha dan tekad yang gigih telah dicontohkan oleh para pahlawan dan leluhur dahulu. Sehingga, akhirnya mereka berhasil menorehkan prestasi gemilang berupa sukses meraih kemerdekaan.
Setelah itu, perlu kita pahami bersama. Syukur yang sebenarnya ialah tidak cukup hanya dengan merayakannya dengan mengadakan selametan, berbagai lomba anak-anak, atau lainnya. Apalagi hanya sebatas ucapan. Semua itu tiada artinya apabila setelah perayaan kita tidak memahami esensi perayaan itu. Alhasil, setelah perayaan, kita tidak ada perubahan positif sikap dan perilaku.
Maka dari itu, kita perlu membenahi ‘mindset kuno’ kita tentang arti mensyukuri kemerdekaan yang sesungguhnya. Yakni, selain kita menyambutnya dengan bentuk agenda sejenis selametan, perlombaan khas anak-anak, maupun jenis lainnya, kita juga harus mengatur mindset masing-masing agar kita mau serta mampu berusaha berperan aktif dan pasif dalam rangka memperbaiki tatanan kehidupan sosial masyarakat Indonesia agara menjadi lebih baik dan teratur. Jangan sampai kita hanya memaknai menykuri kemerdekaan dengan pikiran sempit, sehingga perayaan itu ibarat menegakkan tali yang basah.
Artinya, perayaan kemerdekaan tidak sebatas ketika setiap menjelang tanggal 17 Agustus, melainkan di waktu lain pula. Kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun, kita harus senantiasa merayakan kemerdekaan. Adapun lebih komptrehensifnya, bentuk perayaannya setiap saat itu relative. Maksdunya, peran dan tanggung jawab berdasarkan posisi/ pangkat/ jabatan/ kedudukan, tergantung dari masin-masing pribadi. Untuk dapat disebut dengan mensyukuri, kita harus melanjutkan perjuangan para leluhur. Dan perjuangan dalam konteks kekinian harus dapat dipahami berbeda bila dibandingkan dengan bentuk perjuangan para leluhur di masa lalu. Jika dulu perjuangan cenderung lebih berbentuk secara fisik, jika sekarang perjuangan lebih berbentuk abstrak, yakni melalui berbagai sistem kehidupan sosial yang meliuti politik, ekonomi, pendidikan, dan lainnya.
Lebih jelasnya, setiap WNI di masing-masing bidang/ fokus/ jabatannya harus mau serta mampu berusaha agar menjadi insane yang bermanfaat bagi pribadi sendiri maupun orang lain dengan berkontribusi yang nyata. Misalnya, bagi gubernur, dia harus mau serta mampu melahirkan kebijakan-kebjakan yang dapat pro-rakyat dan memajkan warganya guna meraih kehidupan yang aman damai, dan sejahtera yang diridloi Allah SWT. Justru itu merupakan bentuk syukur yang sebenarnya yang justru saat ini tidak dipikirkan kecuali hanya sedikit orang saja.

Oleh karenanya, diperlukan persatuan dan kesatuan serta kerjasama dari seluruh pihak agar dapat bersinergi untuk memajukan bangsa ini menjadi negara maju sebagai bentuk rasa syukur merayakan kemerdekaan. Dengan begitu, maka perayaan kemerdekaan RI akan sangat bermakna setiap saat dan berimplikasi nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dirilgoi Allah SWT. Wallahu a’lam bi al-showab.

Selasa, 11 Agustus 2015

Hilangnya Spirit Masa Orientasi (Dimuat di Koran Rakyat Jateng edisi 11 Agustus 2015)



 
Hilangnya Spirit Masa Orientasi
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmsi UIN Walisongo Semarang
Saat ini, waktunya sekolah-sekolah atau perguruan tinggi menyelenggarakan kegiatan pengenalan siswa atau mahasiswa baru di sekolah, atau sering disebut dengan masa orientasi siswa (MOS). Agenda tersebut sudah menjadi program rutin di setiap lembaga pendidikan di tanah air. Satu agenda tahunan tersebut dapat menjadi momentum strategis yang dapat bermanfaat bagi siswa/ mahasiswa baru untuk bisa mengetahui dan mengenal lingkungan serta warga baru yang meliputi guru, teman, dan petugas di sekolah baru mereka lebih mendalam, cepat, dan efektif. Sehingga, salah satu manfaat yang dapat dipetik adalah harapannya siswa/ mahasiswa baru nantinya dapat belajar di sekolah baru dengan nyaman dan tenang.
Namun sayangnya, selama ini tujuan utama MOS tampak telah disalahpahami oleh para penyelenggaranya, baik pihak OSIS maupun panitia khusus yang telah dibentuk oleh pihak sekolah untuk menghandel agenda penting itu. Bahkan ironisnya, para penyelenggaranya justru belum dapat dapat memahami tujuan utama diselenggarakannya kegiatan MOS. Pasalnya, setiap agenda MOS di setiap sekolah, baik di tingkat SMP, SMA, bahkan Perguruan Tinggi hampir tidak ada yang jauh dari perlakuan yang bersifat ‘mempeloncokan’ para siswa/ mahasiswa baru.
Adapun bentuknya sangat bervariatif. Hal itu tergantung dari selera para panitia penyelenggaranya. Contoh, di salah satu sekolah di Blora, para siswa baru disuruh oleh para panitia untuk menggunakan prabot aneh semisal topi buatan mereka sendiri dari bola yang dipotong setengah. Lalu, di pergelangan tangan mereka harus mengenakan gelang rafia berbentuk seperti pembersih meja/ kaca (baca: sulak). Selain itu, mereka juga disuruh untuk membuat tas dari kertas karton yang diorientasikan untuk mengambil sejumlah sampah di lingkungan sekolah. Semua itu diterapkan bagi semua siswa tanpa terkecuali, baik laki-laki maupun perempuan.
“Tugas” yang diamanahkan kepada siswa demikian sungguh tidak layak untuk dijadikan cerminan sebagai jenis salah satu kegiatan yang mendidik. Justru kegiatan seperti itu merpakan “pembodohan” yang nyata. Sebab, tujuan MOS yang semula adalah untuk memperkenalkan para siswa baru di lingkunga belajar baru, justru faktanya bertolak belakang. Fakta di lapangan, tidak sedikit sekolah yang menerapkan MOS dengan kondisi demikian. Bahkan, terkadang ada panitia yang member intruksi tidak logis dan tidak relevan. Contoh, siswa baru disuruh mencari bolpoin dengan merek yang sebenarnya tidak ada. Sehingga, mereka menjadi kengungan dengan tjuan para panitia yang sesungguhnya. Alhasil, siswa bukannya mendapat perlakuan yang bersifat mendidik dari para panitia MOS yang notabene biasanya merpakan kakak kelas atau senior mereka, namun justru memperoleh “kekerasan” dari mereka.
Bahkan parahnya, kegiatan MOS justru menjadi “ajang balas dendam” bagi para siswa lama yang menjadi panitia MOS. Fakta tersebut sungguh hina. Sebab, kegiatan MOS seperti demikian itu bkannya mewarnai dunia pendidikan dengan nilai pendidikan yang positif, justru telah menodai dunia pendidikan di republik ini. Sebab, di sekolah negara maju semisal di Filipina (negara berpredikat terbaik sedunia dalam hal sistem pendidikan), tentu kita tidak akan menemukan hal demikian. Jika dikatakan itu merpakan kegatan yang berunsur merupakan inovasi baru, maka argumentasi itu sangat tidak tepat. Sebab, bagaiamnapn juga, kegiatannya sama sekali tidak mendidik siswa baru. Jikalau ada unsur edukasinya, itu pun sangat sedikit.
Maka dari itu, jika kita semua sepakat ingin segera memajukan Indonesia melalui aspek pendidikan, kita semua harus bersinergi untuk menolak dan memberantas MOS yang menyesatkan siswa baru. Khususnya bagi pihak sekolah, harus mau serta mampu berperan aktif dalam mengawal MOS yang berdasarkan dengan tujuan pendidikan kita sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 (versi amandemen) pasal 1 ayat 3 dan 5 serta UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Selain itu, implementasi kegiatan MOS harus diluruskan sesuai visi utama nabi Muhammad, yaitu untuk memperbaiki moral umat manusia, bukan justru sebaliknya.
Lebih komprehensif, bagi pihak sekolah melalui guru dan khususnya guru yang akan terlibat aktif maupun pasif dalam membentuk panitia MOS, langkah pertama yang harus dilakukan ialah meluruskan niat pribadi dan memberikan bimbingan kepada para panitia agar memberikan aktifitas MOS yang bersifat mendidik. Hal itu menjadi suatu keniscayaan mengingat fungssi utama lembaga pendidikan memang demikian.
Lantas, apabila nanti ketika sebelum pelaksanaan MOS pihak sekolah ada menemukan suatu pertanda yang mengindikasikan aka nada perpeloncoan siswa kembali serta tidak bersifat mendidik, maka pihak sekolah harus segera menindak tegas kepada para panitia dan memberkan hukuman yang tegas kepada mereka agar memberikan efek jera dan tidak terulang kembali di masa mendatang.
Sedangkan untuk pihak panitia MOS, langkah pertama kali setelah mengikuti arahan dan bimbingan dari pihak sekolah terkait jenis kegiatan MOS yang mendidik, mereka juga harus mau merevolusi mental mereka. Artinya, paradigm sesat yang menempel pada pikiran mereka bahwa selama ini siswa baru merupakan target strategis untuk dijadikan sebagai ajang “balas dendam” tahunan harus segara dibuang jauh-jauh. Setelah itu, mereka harus menyusun dan melaksanakan agenda yang memang diorientasikan untuk pengenalan siswa baru dengan pihak sekolah, dan yang terpenting harus bersifat mendidik tanpa ada unsur perpeloncoan atau bahkan pelecehan.
Terakhir, untuk pihak orang tua siswa maupn masyarakat sekitar, apabila mereka menemukan perilaku atau aktifitas yang berindikasi ada unsur perpeloncoan, “pembodohan”, atau pelecehan, maka mereka harus segera menindak dengan tegas dengan menegur atau jika tidak memungkinkan langsug dilaporkan saja dengan pihak sekolah agar para “tersangka” dapat ditindak tegas oleh pihak sekolah dengan seadil-adilnya dan sebijak-bbjaknya.
Dengan sinergi dari semua pihak, semoga kegiatan MOS di sekolah-sekolah termasuk perguruan tinggi mulai tahun ini dapat diputus seakar-akarnya. Jangan sampai ada lagi perpeloncoan siswa di sekolah mana pun seperti yang ditemukan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudyaan, Anies Baswedan di salah satu sekolah di Jawa Barat beberapa minggu lalu, sehingga kegiatan MOS dapat berjalan sesuai khittahnya. Wallahu a’lam bi al-showab.