Makalah Islam dan Budaya Jawa (DINAMIKA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DI ERA MODERN)
MAKALAH
DINAMIKA ISLAM DAN BUDAYA JAWA DI ERA MODERN
Dipresentasikan pada mata kuliah
Islam Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami M.SI.
Disusun Oleh:
Luluatul Musyafa’ah (123411062)
Maulana Ali Hakim (123411066)
Mifrohatunnisa (123411068)
Moch. Sayyidatthohirin (123411069)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
I.
PENDAHULUAN
Modernisasi menjadi fenomena yang sangat umum dan hampir seluruh pelosok dunia, terutama pada negara-negara berkembang. Seperti yang
dapat dilihat bahwa proses ini memberikan dampak terhadap berbagai lingkup tatanan duni terutama kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan kebudayaan manusia yang juga terpengaruhi.
Perkembangan kebudayaan ini terus berlanjut seiring dengan laju peradaban manusia sesuai dengan
berkembangannya pengetahuan manusia untuk menciptakan suatu hal yang baru.
Seperti halnya peradaban manusia yang berkembang secara bertahap dari zaman
prasejarah hingga sekarang. Kebudayaan juga berkembang secara bertahap mengikuti arus perkembangan
zaman. Modernisasi dalam bidang kebudayaan dapat dilihat dengan semakin
mudahnya masyarakat dunia mengenal suatu kebudayaan dari suatu daerah, terutama
Jawa yang notabene adalah plot area dimana banyak orang dari berbagai wilayah
berkumpul. Seperti yang diungkapan oleh Anthony Giddens bahwa modernitas
meruntuhkan jarak antar ruang dan waktu.
Islam dalam realitas konkret berkembang dengan deret ukur perkembangan modernitas,
bahkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Bagaimanapun juga tidak bisa
dipungkiri, cepat atau lambat budaya modernitas akan memasuki semua sektor
kehidupan, bahkan juga menyentuh pemikiran keislaman. Modernitas sebagai
penawar alternative, harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis bagi
perkembangan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas tidak
lepas dari akar sejarah awal Islam yang menyertai kehidupan kaum muslim
sedunia, termasuk Indonesia dan khususnya diwilayah Jawa.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana Jawa dan Modernisasi?
B.
Bagaimana Proses Modernisasi dalam Budaya Jawa?
C.
Bagaimana Perpaduan Nilai Budaya Jawa dan Islam?
D.
Bagaimana Enkulturasi Nilai Budaya Jawa-Islam?
E.
Isi dan Wujud
Budaya Jawa-Islam?
III.
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan
Jawa dan Modernisasi
1. Kebudayaan
Jawa
Jawa
adalah sebuah provinsi dimana banyak kebudayaan mulai dari ritual upacara, adat
kebiasaan, tata krama, cara berbahasa. Pakaian, dan lain-lain. Pada Provinsi
Jawa Tengah terutama, di Jawa Tengah banyak budaya Jawa yang berkembang karena
Jawa Tengah dahulu banyak Kerajaan berdiri yang memiliki cirri kultur
masing-masing, sebagai bukti, banyak peninggalan Candi-candi sebagai
peninggalan kerajaan baik itu Hindu maupun Budha.
Adat dan tradisi yang bersifat magis religious dari kehidupan
penduduk asli Jawa, yang antara lain mencakup sistem budaya seringkali
mengandung makna simbolik nilai-nilai etika, moral dan sosial yang menjadi
acuan normativ individu maupun masyarakat dalam menjalani kehidupan bersama.[1]
Masyarakat jawa memiliki berbagai macam jenis kebudayaan yang menjadi ciri khas
dan merupakan jati diri dan warisan
leluhur yang berkembang dari masa ke masa, bantuk-bentuk kebudayaan ini
diantaranya berbentuk fisik maupun non fisik, seperti bahasa dan sastra Jawa,
aksara Jawa, wayang, gamelan, bermacam-macam tarian, ilmu beladiri silat,
keris, ketoprak dan batik misalnya.[2]
Hidup bagi orang
Jawa adalah sebuah perjalanan, ungkapan yang sangat umum menggambarkan
pandangan hidup orang Jawa adalah sangkan paraning dumadi (dari mana mau
kemana). Bagi orang Jawa hidup di dunia ini harus memahami dari mana asal, akan, kemana tujuan perjalanan
hidup dengan benar. Bagaimana cara kita menanggulangi zaman globalisasi
tersebut, salah satunya adalah intropeksi diri, oleh karena itu perlunya
ditingkatkan kesadaran diri agar tidak terbawa kearah kebobrokan, yaitu dengan
kita menggunakan filsafat Jawa sehingga jangan sampai orang Jawa kehilangan
kepribadiannya.
Adapun potensi
filsafah jawa yang dapat digunakan sebagai tameng diri adalah sebagai berikut:
a.
Ajineng diri saka lathi, ajineng raga soko wusana. Artinya
nilai diri seseorang tercermin dari tutur katanya, dan secara fisik tercermin
dari penampilannya.
b.
Aja dhumuko, ojo gumon, ojo kagetan. Artinya jangan sok,
jangan mudah terkagum, jangan mudah terkejut.
c.
Ojo dhumeh, tepo sliroh, ngerti kualat. Artinya jangan
merasah hebat, terganung rasa,tahu karma. Dimanapun kita berada, jangan merasa
hebat berbuat semaunya.
d.
Sugih tanpa bondho, digdhoyo tanpa aji, ngalurung tanpa
bala, menang tanpa ngasarake. Artinya kaya tanpa harta, sakit tanpa azimat,
menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa merendahkan.[3]
e.
Rame
ing gawe,sepi ing pamrih, memayu hayuning bawono
(giat bekerja,membantu dengan tanpa pamrih,memelihara alam semesta/ mengendalikan hawa nafsu)
(giat bekerja,membantu dengan tanpa pamrih,memelihara alam semesta/ mengendalikan hawa nafsu)
f.
Ngunduh
wohing pakarti. Artinya orang dapat menerima hasil dari ulahnya sendiri
2. Modernisasi
Menurut
Wilbert E Moore, modernisasi adalah suatu transformasi total kehidupan bersama
yang tradisional atau pra modern dalam teknologi serta organisasi sosial ke arah pola-pola ekonomis dan politis
yang menjadi ciri Negara yang stabil.
Dapat
dijabarkan modernisasi yaitu suatu proses yang mengarah pada modern. Dimulai
dari revolusi industri. Dalam proses modernisasi, terdapat suatu proses
perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli manajemen pembangunan
menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan dimana terjadi proses perubahan
terarah dan direncanakan dari kehidupan tradisional menjadi modern.
Disamping
telah membawa kamajuan bagi kesejahteraan masyarakat pada umumnya, hal ini juga
telah membawa akibat-akibat negative yang tak terelakkan. Salah satu akibat
negative itu adalah terdesaknya masyarakat asli (indegeneus people) ke pingiran
baik keidupan masyarakat itu sendiri secara fisik maupun kebudayaan dan system
kepercayaan mereka. Karena gempuran modernisasi dan berbagai produknya itu,
masyarakat asli hampir-hampir kehilangan wahana untuk mengaktualisasikan
hak-hak dasar mereka; hak mendiami tempat turun temurun, hak untuk menunaikan
ritual, hak untuk pengembangan warisan budaya, dll. Hampir seluruh kehidupan
mereka bersifat dekaden, pasif dan tradisional, yang berarti anti-modernitas
dan kemauan, maka “pengemban-pengemban modernism” merasa perlu memodernisasikan
dan mencerahkan masyarakat suku. Lewat suatu proses yang taka rang sangat
keras, mereka menjadikan/dijadikan korban persembahan kepada dewa baru yng
bernama modernisasi.
Ada
yang berpendapat bahwa proses demikian itu merupakan konsekuensi dari
modernisasi dan harga yang harus dibayar bagi keinginan masyarakat untuk maju
secara bersama. Para pengikut pemikiran
ini berpendapat, jika memang demikian maka masalahnya adalah bagaimana agar
proses perubahan itu tidak membuat kejutan-kejutan dan frustasi-frustasi.
Dengan kata lain diperlukan cara dan system dalam proses perubahan itu agar
tidak menadikan mereka sebagai obyek yang disingkirkan dari proses kemauan,
sebaliknya sebagai subyek yang ikut menentukan dan menikmati kemajuan.
Pendapat lain memandang proses keterdesakan itu harus dilihat
tidak hanya sebagai konsekuensi dari modernisasi atau pembangunan, tapi tumbuh
dari suatu ideology moderisme yang bertendensi menaklukan dan menolak terhadap
eksistensi yang lain.
Proses
modernisasi dan pembangunan seringkali ditampilkan sebagai proses yang berjalan
sepihak dan tak mampu menyerap semangat dan kearifan mereka. Dengan demikian
pembangunan pada realitasnya adalah pemerkosaan terhadap suku-suku asli yang
notabene menjadi sasaran perubahan. Secara substansial diperlukan cara-cara
untuk menghormati kebebasan dan kebudayaan serta system kepercayaan mereka.
Secara
hokum, mereka jelas mempunyai hak-hak dasar, hak untuk beribadah sesuai dengan
kepercayaan mereka, hak untuk mengaktualisasikan adat istiadat dan lain-lain.
Akhirnya makin perlu disadari bahwa hak untuk mempertahankan jati diri dan
kebutuhan untuk memelihara warisan budaya/spiritual leluhur merupakan bagian
integral dari hak azasi manusia yang perlu dibela dan dilestarikan.[5]
B.
Proses Modernisasi dalam Budaya Jawa
Perkembangan titah manusia sebagai makhluk di bumi
ini, sudah sejak zaman Adam dan
Hawa dengan segala dinamikanya, yang melahirkan idealisme baik dalam bidang
teologi, budaya, ekonomi maupun sosial politik. Indonesia
merupakan bangsa yang kaya,
memilki keaneragaman suku
bangsa dan budaya. Dari perkembangan inilah akan melahirkan proses
modernisasi di segala bidang yang selalu melibatkan globalisasi.
Menurut
Kamus Besar Indonesia, kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin
(akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat
istiadat.[6]
Kebudayaan dipandang sebagai hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia memiliki
tiga wujud, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, wujud yang kedua sebagai
suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat,
dan wujud yang terakhir ialah sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Pada masa
lampau, ketiga wujud kebudayaan tersebut sangat dijunjung tinggi keberadaannya
di kalangan masayarakat Jawa, segala sesuatu hal yang menyangkut kehidupan
selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berbau kebudayaan lokal yang menjadi ciri
khas dan merupakan jati diri dan warisan leluhur yang terus berkembang di era
tersebut. Bentuk-bentuk kebudayaan lokal ini diantaranya berbentuk fisik maupun
non fisik, seperti bahasa Jawa, aksara Jawa, tata krama, wayang, gamelan Jawa,
bermacam-macam tarian, keris, ketoprak, dan batik[7].
Sedangkan
modernisasi merupakan proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup
sesuai dengan tuntutan masa kini.[8]
Sedangkan prosesnya terjadi dalam berbagai bidang, yakni berkembang melalui proses
panjang hingga membentuk pola-pola perilaku baru dalam kehidupan masyarakat.
Memang harus diakui bahwa negara-negara barat (Eropa dan Amerika) telah lebih maju dalam perkembangan dan teknologi,
sehingga banyak orang yang kemudian menjadi lebih modern dari budaya kita
sendiri. Cara pandang seperti ini membuat orang menjadi peniru tanpa sikap
selektif. Hal ini tentu keliru, karena sesungguhnya modernisasi berbeda dengan
westernisasi. Jika modernisasi merupakan proses perubahan dari cara-cara
tradisional ke cara-cara yang lebih maju, maka westernisasi adalah proses
peniruan oleh suatu masyarakat atau negara terhadap kebudayaan dari
negara-negara Barat yang dianggap lebih baik dari budaya daerahnya. Misalnya, kejadian-kejadian
seperti penyitaan tanah untuk pembangunan-pembangunan mall, koridor-koridor
transportasi atau usaha tanah (real estate), pembuatan robot-robot untuk membantu manusia dan
lain sebagainya yang merupakan
hal nyata
menuju proses modernisasi.
Di
masa sekarang, semua wujud kebudayaan lokal yang ada seakan-akan
telah terlupakan dan luntur dimakan oleh zaman,
dimana
menuntut segala sesuatunya harus berbau hal yang berstatus”modern” dan
mengikuti trend yang sedang berlaku secara internasional. Apalagi sekarang pemerintah di
negara-negara berkembang ditekan untuk memodernkan negaranya supaya dapat bersaing
dalam sistem pasar dunia. Jika mereka tidak menyesuaikan diri dengan
negara-negara maju berarti dapat dikatakan mereka disebut ‘ketinggalan zaman’
(backward) kemudian merasa terintimidasi.
Di dalam
proses perubahan kebudayaan ada unsur kebudayaan yang sukar berubah dan ada
yang mudah berubah. Dalam hal ini kebudayaan dibagi menjadi inti kebudayaan (covert
culture) dan perwujudan kebudayaan (overt culture).[9] Bagian ini terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan
keagamaan yang di anggap keramat, beberapa adat yang telah mapan dan telah
tersebar luas
di masyarakat. Bagian inti kebudayaan yang sulit
berubah, seperti keyakinan agama, adat istiadat, maupun
sistem nilai budaya. Sementara itu wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar
dari kebudayaan, seperti alat-alat atau benda-benda hasil seni budaya, yang mana mudah untuk berubah.
Jadi,
pada intinya nilai budaya dalam Jawa
Islam yang sulit berubah di masa modern ini adalah yang
terkait dengan keyakinan keagamaan dan adat istiadat. Dalam konteks terjadinya
perubahan ke arah modernisasi yang berciri rasionalistis, matrealistis, dan
egaliter, maka nilai budaya jawa di hadapkan pada tantangan budaya global yang
memiliki nilai dan perwujudan budaya yang pluralistik. Sebagai budaya lokal,
budaya Jawa Islam memang
memiliki nilai universal, di samping nilai lokalnya. Di antara nilai
keuniversalan itu terletak pada nilai spiritualnya yang religius magis. Nilai
yang religius magis pada masa modern ini juga
di temukan pada budaya-budaya negeri lain, tidak terbatas pada budaya Jawa.
Maka nilai itu tampaknya masih akan hidup di masyarakat penganutnya karena
adanya faktor penyebab, antara lain: nilai spiritual Jawa Islam yang sinkretis,
penganut budaya Islam,
dan adat itu telah mengakar
lama di masyarakat.
Berikut adalah dampak positi dan negatif teknologi
modernisasi:[10]
a.
Dampak positif
1) Perubahan
Tata Nilai dan Sikap
Adanya
modernisasi dalam zaman sekarang ini bisa dilihat dari cara
berpikir masyarakat yang irasional menjadi rasional.
2) Berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi
Dapat mendorong untuk berpikir
lebih maju dan kritis serta berpikir kedepan.
3) Tingkat
Kehidupan yang lebih Baik
b. Dampak
negatif
1) Pola
Hidup Konsumtif
Perkembangan teknologi industri
yang sudah modern dan semakin pesat membuat penyediaan barang kebutuhan
masyarakat melimpah.
2) Sikap
Individualistik
Masyarakat merasa dimudahkan dengan
teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan orang lain dalam
beraktivitas
3) Gaya
Hidup Kebarat-baratan
Budaya negatif yang mulai menggeser
budaya asli adalah anak tidak lagi hormat kepada orang tua, kehidupan bebas
remaja, dan lain-lain.
4) Kesenjangan
Sosial
Individu
yang dapat terus mengikuti perkembangan zaman memiliki kesenjangan tersendiri
terhadap individu yang tidak dapat mengikuti suatu proses modernisasi tersebut.
C.
Perpaduan Nilai Budaya Jawa dan Islam
Diawal kedatangannya, agama Islam masuk ke Indonesia dengan cara yang
damai. Pun ketika mulai merambah tanah Jawa. Tentang siapa pembawa ajaran Islam
ke tanah Jawa ini, hampir semua sejarawan sepakat menyebut satu nama, yakni Walisongo.
Abad XVII-XVII adalah rentang waktu paling ekstensif mengenai kapan ajaran
Islam menapakkan kakinya di tanah Jawadwipa.[11]
Kedatangan Islam ke Jawa membawa warna tersendiri yang tentu berbeda
dengan budaya masyarakat Jawa. Kala itu, masyarakat Jawa telah memiliki corak
kebudayaan yang lebih didominasi oleh ajaran Hindu-Budha. Berbicara tentang
budaya, hal itu bisa didefinisikan sebagai sebuah hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia.[12]
Ketika Islam masuk ke Jawa, ada dua
pendekatan dalam proses penyebarannya yang akhirnya melahirkan perpaduan nilai
dari masing-masing budaya itu sendiri. Pendekatan pertama disebut Islamisasi
kultur Jawa. Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan corak-corak Islam
dan budaya Jawa baik secara formal maupun substansial. Pendekatan yang kedua
disebut Jawanisasi Islam, yaitu pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam
ajaran-ajaran Islam.[13]
Penyebaran dengan jalan damai itulah yang kemudian menghasilkan sebuah
perpaduan yang serasi antara budaya Jawa dan Islam.
Budaya mengandung nilai-nilai yang tidak
bisa terlepas satu sama lain. Yang dimaksud nilai adalah “a normative
patterns which defines desirable behaviour for a system in relation to its
environment, without differentiation a term of the functional of unit or of
their particular situations.” (T. Parsons, 1973: 75). Artinya: suatu
perbedaan karakter tanpa membedakan fungsi dari kesatuan atau pun situasi.
Dengan kata lain ia selalu terangkum dalam segala perilaku atau bahkan menjadi
titik tolak dalam menentukan kerangka berpikir.[14]
Apabila ditilik lebih mendalam, Islam
dengan beberapa unsur budaya Jawa sebenarnya memiliki noktah kesamaan. Nilai
budaya Jawa (pra Hindu-Budha) yang animis dan magis sejalan dengan Hinduisme
dan Budhisme yang religius magis. Sewaktu budaya Jawa (yang telah bersatu
dengan Hindu-Budha) dan Islam yang monoteis bersatu, terjadilah pergumulan yang
menghasilkan Jawa yang sinkretis dan Islam yang puritan. Dalam memaknai Islam
Jawa, akhirnya bisa digambarkan bahwa Islam adalah ‘’wadah”, sedangkan Jawa adalah
“isi”.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Frans Magnis Suseno yang mengatakan bahwa
ciri khas nilai budaya Jawa adalah keterbukaan. Maksudnya, bahwa masyarakat
Jawa mampu menerima budaya baru dengan lentur dan terbuka, namun juga tetap
mempertahankan keasliannya.[15]
Selain dari sifat dasar kebudayaan di
masyarakat, integrasi budaya Jawa-Islam tersebut tidak lepas dari kiprah
Walisongo yang sangat toleran dalam menyampaikan ajaran Islam. Dengan metode manut
milining banyu, para wali membiarkan adat Jawa tetap hidup, tetapi memberi
warna keislaman. Sebagai contoh, acara sesajen diganti dengan kenduri
atau slametan.
D.
Enkulturasi Nilai Budaya Jawa-Islam
Nilai budaya Islam yang
terdiri dari gagasan atau konsep tentang berbagai hal, pada umumnya dijadikan pedoman
dalam kehidupan penganutnya. Nilai yang masih bersifat abstrak kemudian
diwujudkan dalam norma-norma untuk mengatur tindakan individu di berbagai
bidang. Maka muncul pranata-pranata bidang pendidikan, ekonomi, sosial,
kesenian, agama dan lain-lain. Pranata-pranata itu dipatuhi oleh penganut norma
suatu kebudayaan.
Masuknya norma-norma ke daerah
emosional para pendukung suatu kebudayaan tidak terlepas dari upaya enkulturasi
yang secara terus menerus dilakukan melalui tradisi lisan maupun tertulis. Proses
enkulturasi tersebut dapat
diterjemahkan dengan istilah pembudayaan. Dalam proses
enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup
didalamnya. Proses enkulturasi mula-mula dari orang didalam lingkungan
keluarganya, kemudian meniru berbagai macam tindakan yang diinternalisasi dalam
kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola
yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan.
Terkait dengan enkulturasi nilai budaya Jawa Islam, selain
dilakukan secara individual oleh masyarakat, didukung pula oleh penguasa.
Seperti yang dilakukan oleh Sultan Agung yang melakukan Islamisasi budaya jawa
melalui berbagai cara seperti penggantian kalender tahun Saka menjadi tahun
Jawa, yang mengadopsi hitungan kalender tahun hijriyah. Upaya menumbuh subur
kan budaya Jawa Islam itu juga dilanjutkan oleh keturunannya yaitu raja-raja
Surakarta dan Yogyakarta pada abad 19. Di antaranya melalui penulisan
serat-serat yang memuat ajaran moral maupun mistik Jawa yang dipadukan dengan
Islam. Karena raja memiliki pengaruh besar, maka penanaman nilai Jawa Islam
berjalan lancar. Dimana dalam konsep budaya Jawa raja memiliki kedudukan tinggi
yakni menguasai wilayah sekaligus penduduknya. Penduduk yang tinggal di wilayah
kerajaan harus patuh terhadap perintah raja, termasuk untuk nguri-nguri budaya
Jawa Islam.
Enkulturasi yang dilakukan oleh raja maupun masyarakat dalam
waktu yang lama menyebabkan nilai Budaya Jawa Islam sampai sekarang masih
melekat di masyarakat Jawa walaupun telah mengalami pergeseran, sebagaimana
lazimnya budaya lain yang mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi
masyarakat pencipta kebudayaan tersebut.[16]
E. Isi
dan Wujud Budaya Jawa-Islam
Manusia
dalam laku perbuatannya selalu memiliki tujuan yang berharga atau bernilai.Dan
nilai-nilai itulah yang menggerakkan manusia untuk melahirkan konsep, gagasan,
ide, perilaku, serta bentuk-bentuk kebudayaan fisik.Koentjaraningrat
menempatkan nilai budaya pada lingkaran yang dalam, Karena menempatkan pusat
dari unsur budaya lainnya.Kemudian disusul dengan lingkaran berikutnya yang
disebut dengan system budaya (berupa gagasan-gagasan) dan system social (berupa
tingkah laku) serta kebudayaan fisik yang merupakan wujud konkret dari
kebudayaan.
Dengan
menggunakan pola-pola yang telah disebutkan, maka nilai budaya Jawa Islam yang
religious magis menjadi penggerak diri munculnya corak pikiran, tingkah laku,
maupun perbuatan manusia Jawa Islam.Nilai budaya Jawa Islam yang religious itu
telah tertanam begitu kuat dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut.
Dilihat dari proses pertumbuhan nilai budaya Jawa Islam, nilai itu muncul dalam
masa transisi antara periode Jawa Hinduisme dengan Islam. Oleh karena itu,
nilai budaya pra Islam yang bercorak sinkretis tidak mudah untuk digantikan
oleh budaya Islam yang bersumber pada asas monotheistis.Jadi, yang tercipta
kemudian adalah perpaduan antara nilai budaya Jawa dengan nilai budaya Islam
(akulturasi). Dimana unsur budaya Jawa masih tampak, demikian pula unsur
Islamnya, misalnya puasa yang disertai puji dina.
Dikalangan
orang Jawa dikenal beberapa macam puasa seperti puasa mutih, patigeni,
ngebleng, dan lain-lain yang merupakan bentuk dari tirakat.Diantara puasa itu
ada yang disertai dengan dzikir yang diambil dari asma’ul husna. Seperti puasa
yang dilakukan pada hari Jum’at, dengan tidak makan nasi sehari semalam,
disertai dzikir: Ya Kafiyyu Ya Qowiyyu sebanyak 103 kali semalam. Selain bentuk
akulturasi, ada pula nilai budaya Jawa yang berpadu dengan nilai budaya Islam
dalam bentuk asimilasi, dimana unsur-unsur dua budaya itu dapat menyatu
sehingga tak dapat dipisahkan, misalnya gapura.Bentuk gapura itu tidak
mengalami perubahan pada budaya Jawa maupun Islam.Gapura yang terdapat ditempat
ibadah umat Hindu (pura), tidak berbeda dengan yang ada dimasjid maupun
makam-makam.[17]
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
a.
Kebudayaan Jawa dan Modernisasi
Kebudayaan
Jawa adalah segala hal yang
menjadi kebiasaan dan pedoman oleh masyarakat jawa mulai
dari ritual upacara, adat kebiasaan, tata krama, cara berbahasa. Pakaian, dan
lain-lain. Sedangkan, modernisasi
yaitu suatu proses yang mengarah pada modern. Dalam proses modernisasi,
terdapat suatu proses perubahan yang mengarah pada perbaikan, para ahli
manajemen pembangunan menganggapnya sebagai suatu proses pembangunan dimana
terjadi proses perubahan terarah dan direncanakan dari kehidupan tradisional
menjadi modern.
b.
Proses Modernisasi Dalam Budaya Jawa
Di dalam
proses perubahan kebudayaan ada unsur kebudayaan yang sukar berubah dan ada
yang mudah berubah. Dalam hal ini kebudayaan dibagi menjadi inti kebudayaan (covert
culture) dan perwujudan kebudayaan (overt culture). Terdiri dari sistem nilai budaya, keyakinan keagamaan
yang di anggap keramat, beberapa adat yang telah mapan dan telah tersebar luas
di masyarakat.
Sedangkan bagian inti kebudayaan yang sulit
berubah, seperti keyakinan agama, adat istiadat, maupun
sistem nilai budaya. Sementara itu wujud kebudayaan yang merupakan bagian luar
dari kebudayaan, seperti alat-alat atau benda-benda hasil seni budaya, yang mana mudah untuk berubah.
Kedatangan Islam ke Jawa membawa warna tersendiri yang tentu berbeda
dengan budaya masyarakat Jawa. Kala itu, masyarakat Jawa telah memiliki corak
kebudayaan yang lebih didominasi oleh ajaran Hindu-Budha. Berbicara tentang
budaya, hal itu bisa didefinisikan sebagai sebuah hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia.[18]
c.
Perpaduan Nilai Budaya Jawa dan Islam
Ketika
Islam masuk ke Jawa, ada dua pendekatan dalam proses penyebarannya yang
akhirnya melahirkan perpaduan nilai dari masing-masing budaya itu sendiri.
Pendekatan pertama disebut Islamisasi kultur Jawa. Islamisasi kultur Jawa
adalah proses pemasukan corak-corak Islam dan budaya Jawa baik secara formal
maupun substansial. Pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam, yaitu
pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam.[19]
Penyebaran dengan jalan damai itulah yang kemudian menghasilkan sebuah
perpaduan yang serasi antara budaya Jawa dan Islam.
d.
Enkulturasi Budaya Jawa
Proses enkulturasi tersebut dapat
diterjemahkan dengan istilah pembudayaan. Dalam proses
enkulturasi seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta
sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup
didalamnya. Proses enkulturasi mula-mula dari orang didalam lingkungan
keluarganya, kemudian meniru berbagai macam tindakan yang diinternalisasi dalam
kepribadiannya. Dengan berkali-kali meniru maka tindakannya menjadi suatu pola
yang mantap dan norma yang mengatur tindakannya dibudayakan.
e.
Isi dan Wujud Budaya Jawa
Dengan menggunakan pola-pola yang telah disebutkan,
maka nilai budaya Jawa Islam yang religious magis menjadi penggerak diri
munculnya corak pikiran, tingkah laku, maupun perbuatan manusia Jawa
Islam.Nilai budaya Jawa Islam yang religious itu telah tertanam begitu kuat
dalam jiwa masyarakat yang menganut budaya tersebut.
B.
Saran
Demikianlah makalah tentang Dinamika Islam dan Budaya Jawa di Era Modern yang dapat kami buat.
Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh mencapai kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran konstruktif dari pembaca sangat diharapkan agar
lebih baik di masa mendatang. Semoga makalah ini bermanfaat untuk semua pihak,
pembaca yang budiman umumnya, dan penulis khususnya. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
AminDarori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media,2002.
Depdiknas, KBBI edisike-III, Jakarta:
BalaiPustaka, 2002.
Fatah Amin, Kisah
Dari Kampong Halaman Masyarakat, Suku, Agama Resmi dan Pembangunan, Surabaya: Penebit
Dian/Interfidei, 1997.
Hoadley Mason C., Islam dalamTradisiHukumJawa,
Yogyakarta: GrahaIlmu, 2009.
Jamil Abdul,dkk, Islam danKebudayaanJawa,
Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Pals Daniels L, Eight
Theories of Religion, New York: Oxford University Press, 2001.
Rustopo,
Menjadi Jawa, Jakarta: Penerbit Ombak, 2006.
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang:
PustakaZaman, 2013.
SoebardidanHarsojo, PengantarSejarahdanAjaran
Islam, Jakarta: BinaCipta, 1983.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Umum Bahasa Indonesiaedisi 3,
Jakarta:Balai Pustaka, cet
II, 2002.
BIODATA PEMAKALAH
1.
Nama :
Mifrohatun Nisa’
NIM : 123411068
Jurusan/Prodi : Pendidikan BahasaInggris
TTL : Jepara, 19 Oktober 1993
Pendidikan : MiAsy-Syafi’iyah Pekalongan
Mts
Negeri Bawu Jepara
MAN
02 Kudus
UIN Walisongo Semarang
Alamat : Jln. Taman Siswa Rt 01/02 PekalonganBatealitJepara
No. Telepon : 085641143832
Email : emm.nisa@gmail.com
2.
Nama :
Maulana Ali Hakim
NIM : 123411066
Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa Inggris
TTL : Kendal, 22 Januari 1994
Pendidikan : TK NUSA INDAH JAMBEARUM
SD
N 2 PURWOSARI
SMP
N 3 PATEBON
SMA
N 2 KENDAL
UIN Walisongo Semarang
Alamat : Jln. Tumenggungmertowijoyo Rt 03/05 Kecamatan
Patebon, Kendal
No. Telepon : 089667463128
3.
Nama :
Moch. Sayyidatthohirin
NIM : 123411069
Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa Inggris
TTL : Blora, 19 April 1992
Pendidikan : SD MLANGSEM BLORA
SMP
N 1 BLORA
MDPMA
YPRU PATI & MA YPRU
UIN Walisongo Semarang
Alamat : Jln. Mangga No. 52
Mlangsen, Blora
No. Telepon : 085727459149
4.
Nama :
Luluatul Musyafa’ah
NIM : 123411062
Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa Inggris
TTL : Blora, 19 Februari 1994
Pendidikan : MI WAHDATUTHULLAB
MTS
WAHDATUTHULLAB
MA
AL MUHAMMAD
UIN Walisongo Semarang
Alamat : Blora
No. Telepon : 0857421703759
Email : Luluatul_musyafaah@yahoo.com
3 http://hanifahlutfiatuzzakiyah.blogspot.com/2013/05/dinamika-islam-dan-jawa-di-era-modern_5.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2015, pukul 21.00 WIB.
[4] http://ugdwatonhalal.blogspot.com/2012/03/falsafah-hidup-orang-jawa-ajaran-budhi.html, diakses pada tanggal 23 Maret 2015, pukul
21.12 WIB.
Balai
Pustaka, 2002, cet II,
hlm. 145
[11] Dr.
Soebardi dan Prof. Harsojo, Pengantar Sejarah dan Ajaran Islam (Jakarta:
Bina Cipta, 1983) hlm. 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar