Kamis, 25 Juni 2015

Meraih Puasa Berintegritas (Koran Rakyat Jateng, Jum'at 26 Juni 2015)

Meraih Puasa Berintegritas
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Qari’ Juara 1 se-Provinsi Jateng; Peraih Beasiswa Bidikmisi FITK UIN Walisongo Semarang
Bulan ramadlan telah tiba. Pemerintah telah menetapkan awal bulan ramadlan pada hari Rabu malam lalu (17/ 6). Seluruh umat muslim di dunia pun mulai melaksanakan ibadah puasa. Amalan itu sebagaiamana termaktub dalam rukun islam ke-empat, yaitu berpuasa di bulan ramadlan. Meskipun tetap ada sejumlah aliran/ kelompok muslim di beberapa tempat menetapkan waktu awal ramadlan yang berbeda dengan pemerintah, namun mayoritas umat muslim mulai berpuasa di hari Kamis (18/ 6).
Kontroversi demikian tentu sudah lazim terjadi di setiap awal bulan ramadhan. Sebab, masing-masing kelompok muslim mengaku memiliki dasar sendiri yang dianggap valid, sehingga masalah itu tidak perlu dipermasalahkan lagi, melainkan kualitas/ mutu puasa kita yang perlu kita perhatikan. Sebab, pasalnya, selama ini tidak sedikit umat muslim yang mengaku berpuasa namun masih saja melakukan sejumlah ‘maksiat’, sehingga otomatis hal itu dapat mereduksi kualitas ibdaha puasanya.
Ya, seluruh umat mulim harus benar-benar memperhatikan kualitas ibadah puasanya. Pada hakikatnya, hal itu merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan bagi setiap umat muslim. Sebab, sangat merugi bila kita berpuasa namun kosong pahala, ibarat menegakkan tali yang basah alias sia-sia belaka. Yang kita peroleh bukannya pahala puasa, melainkan hanya lapar dan dahaga. Hal itu disebabkan kita tidak berpuasa secara total.
Artinya, dalam proses berpuasa, kita tidak memperhatikan dan melakukan amalan-amalan sunah yang dapat membentuk puasa kita menjadi benar-benar bermutu. Atau, kita sudah mengetahui dan melaksanakannya namun puasa kita masih diringi maksiat-maksiat meskipun sepele. Maka, faktor-faktor itu tentu akan menjadi penghalang bagi kita untuk memperoleh pahala berpuasa secara kaffah. Hal itu sebagaimana penjelasan salah satu hadist nabi yang berbunyi, “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).
Oleh karena itu, jika kita ingin memperoleh puasa yang bermutu sekaligus utuh (baca: berintegritas), konsekuensinya kita harus mengetahui, memamahi, serta melaksanakan semua amalan-amalan pelengkap puasa kita  serta meninggalkan seluruh bentuk maksiat walaupun sekeceil/ seremeh apapun itu, seperti berbicara kotor.
Sebenarnya untuk meraih puasa yang berintegritas, bisa dikatakan mudah-mudah sulit. Sebab, dalam proses pelaksanaannya, tentu berbagai macam ‘rintangan’ akan menghalang. Maka dari itu, agar kita dapat ringan mewujudkannya, kita umat muslim dalam melakukan itu, semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah dengan mengikuti semua perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Poin pertama, memahami amalan-amalan sunnah puasa di bulan ramadlan. Dalam hal ini, ada sejumlah amalan tambahan yang perlu kita ketahui dan harus kita laksanakan jika kita ingin memperoleh pahala puasa berlipatganda. Pertama, niat yang mantab. Dalam poin ini, kita perlu mengingat satu hadist nabi yang artinya, “Barangsiapa tidak berniat berpuasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi).
Berdasarkan hadist tersebut, maka jelas kita harus memantabkan berpuasa kita dengan niat sebelum terbit fajar. Ketetapan ini yang menjadi salah satu perbedaan yang signifikan antara puasa wajib dan sunnah. Jika puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, maka si shoim (orang yang berpuasa) boleh berniat ketika setelah fajar. Yang terpenting ketika setelah fajar, shoim tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum.
Kedua, mengakhirkan sahur. Sunnah ini berdasarkan salah satu hadit nabi yang artinya, Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan Shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”. Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60 ayat.”
Jika kita pahami secara utuh, substansi hadist tersebut menunjukkan penjelasan mengenai betapa pentingnya mengakhirkan sahur. Hal itu menurut Ibnu Hajar dikarenakan terdapat sejumlah manfaat, di antaranya lebih menguatkan puasa si shoim. Menurut Ibnu Abi Jamroh, jika kita diperintahkan untuk sahur di malam hari, tentu akan memberatkan kita karena saat itu kita masih tidur nyenyak, atau dikhawatirkan kita akan tertidur lelap dan tidak dapat melaksankan sholat subuh akibat begadang.
Maka dari itu, sungguh merugi jika kita tidak menyempatkan untuk sahur walau hanya minum segelas air putih. Sebab, terdapat berkah di dalamnya. Hal itu sebagaimana penjelasan nabi dalam salah satu hadistnya yang artinya, Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.”
Ketiga, mempercepat berbuka meskipun dengan hanya minum seteguk air putih. Hal itu sebgaimana hadist nabi yang artinya, “Orang-orang akan senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR Bukhari Muslim).
Keempat, banyak berdo’a dan berdzikir serta berdoa ketika berbuka. Hal itu sebagaimana keterangan salah satu hadist nabi yang artinya, “Berdoa ketika berbuka puasa merupakan salah satu doa Mustajab, seperti banyak disebut dalam hadist-hadist. Antara lain: Tiga orang yang tidak akan ditolak doanya, orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan doanya orang yang didhalimi.” (HR. Tirmidzi, Ibn Majah, dan Ibnu Hibban). Itu di antara sejumlah sunnah yang harus diakukan oleh seorang shoim bila ingin memiliki puasa yang berintegritas.
Selain itu, si shoim juga harus menjauhi segala bentuk maksiat yang dapat mereduksi pahala puasanya. Jika tidak, maka dia akan hanya memperoleh lapar dan dahaga. Di antara maksiat itu ialah berdusta. Dalam hal ini, nabi pernah berkata yang artinya, Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta tapi justru mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan  rasa lapar dan haus yang dia tahan.(HR. Bukhari no. 1903)
Disamping itu, juga berkata sia-sia dan berbau porno. Dalam hal ini, nabi pernah berkata yang artinya,“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu (sia-sia) dan rofats (porno). Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no. 1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Jika mau serta mampu merealisasikan itu semua, dijamin kita akan sukses meraih puasa yang benar-benar berintegritas dan tidak sia-sia. Semoga ! Wallahu alam bi al-showab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar