Meraih Puasa Berintegritas
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Qari’ Juara 1 se-Provinsi Jateng; Peraih Beasiswa Bidikmisi FITK
UIN Walisongo Semarang
Bulan ramadlan telah tiba. Pemerintah telah menetapkan awal bulan
ramadlan pada hari Rabu malam lalu (17/ 6). Seluruh umat muslim di dunia pun
mulai melaksanakan ibadah puasa. Amalan itu sebagaiamana termaktub dalam rukun
islam ke-empat, yaitu berpuasa di bulan ramadlan. Meskipun tetap ada sejumlah
aliran/ kelompok muslim di beberapa tempat menetapkan waktu awal ramadlan yang
berbeda dengan pemerintah, namun mayoritas umat muslim mulai berpuasa di hari
Kamis (18/ 6).
Kontroversi demikian tentu sudah lazim terjadi di setiap awal bulan
ramadhan. Sebab, masing-masing kelompok muslim mengaku memiliki dasar sendiri yang
dianggap valid, sehingga masalah itu tidak perlu dipermasalahkan lagi,
melainkan kualitas/ mutu puasa kita yang perlu kita perhatikan. Sebab,
pasalnya, selama ini tidak sedikit umat muslim yang mengaku berpuasa namun
masih saja melakukan sejumlah ‘maksiat’, sehingga otomatis hal itu dapat
mereduksi kualitas ibdaha puasanya.
Ya, seluruh umat mulim harus benar-benar memperhatikan kualitas
ibadah puasanya. Pada hakikatnya, hal itu merupakan suatu keniscayaan dan
kebutuhan bagi setiap umat muslim. Sebab, sangat merugi bila kita berpuasa
namun kosong pahala, ibarat menegakkan tali yang basah alias sia-sia belaka.
Yang kita peroleh bukannya pahala puasa, melainkan hanya lapar dan dahaga. Hal
itu disebabkan kita tidak berpuasa secara total.
Artinya, dalam proses berpuasa, kita tidak memperhatikan dan
melakukan amalan-amalan sunah yang dapat membentuk puasa kita menjadi
benar-benar bermutu. Atau, kita sudah mengetahui dan melaksanakannya namun
puasa kita masih diringi maksiat-maksiat meskipun sepele. Maka, faktor-faktor
itu tentu akan menjadi penghalang bagi kita untuk memperoleh pahala berpuasa
secara kaffah. Hal itu sebagaimana penjelasan salah satu hadist nabi
yang berbunyi, “Betapa banyak orang yang
berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar
dan dahaga.” (HR. Ath Thobroniy).
Oleh karena itu, jika kita ingin memperoleh puasa yang bermutu
sekaligus utuh (baca: berintegritas), konsekuensinya kita harus mengetahui,
memamahi, serta melaksanakan semua amalan-amalan pelengkap puasa kita serta meninggalkan seluruh bentuk maksiat
walaupun sekeceil/ seremeh apapun itu, seperti berbicara kotor.
Sebenarnya untuk meraih puasa yang berintegritas, bisa dikatakan
mudah-mudah sulit. Sebab, dalam proses pelaksanaannya, tentu berbagai macam
‘rintangan’ akan menghalang. Maka dari itu, agar kita dapat ringan
mewujudkannya, kita umat muslim dalam melakukan itu, semata-mata hanya untuk
beribadah kepada Allah dengan mengikuti semua perintah-perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-Nya.
Poin pertama, memahami amalan-amalan sunnah puasa di bulan
ramadlan. Dalam hal ini, ada sejumlah amalan tambahan yang perlu kita ketahui dan
harus kita laksanakan jika kita ingin memperoleh pahala puasa berlipatganda.
Pertama, niat yang mantab. Dalam poin ini, kita perlu mengingat satu hadist
nabi yang artinya, “Barangsiapa tidak berniat berpuasa sebelum fajar, maka
tidak ada puasa baginya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah,
Al-Baihaqi).
Berdasarkan hadist tersebut,
maka jelas kita harus memantabkan berpuasa kita dengan niat sebelum terbit
fajar. Ketetapan ini yang menjadi salah satu perbedaan yang signifikan antara
puasa wajib dan sunnah. Jika puasa sunnah seperti puasa Senin-Kamis, maka si shoim
(orang yang berpuasa) boleh berniat ketika setelah fajar. Yang terpenting
ketika setelah fajar, shoim tidak melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa, seperti makan dan minum.
Kedua, mengakhirkan sahur. Sunnah
ini berdasarkan salah satu hadit nabi yang artinya, “Kami pernah makan sahur
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk
menunaikan shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara
adzan Shubuh dan sahur kalian?” Zaid menjawab, ”Sekitar membaca 50 ayat”.
Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “Sekitar membaca 50 atau 60
ayat.”
Jika kita pahami secara utuh, substansi hadist tersebut menunjukkan
penjelasan mengenai betapa pentingnya mengakhirkan sahur. Hal itu menurut Ibnu
Hajar dikarenakan terdapat sejumlah manfaat, di antaranya lebih menguatkan
puasa si shoim. Menurut Ibnu Abi Jamroh, jika kita diperintahkan untuk
sahur di malam hari, tentu akan memberatkan kita karena saat itu kita masih
tidur nyenyak, atau dikhawatirkan kita akan tertidur lelap dan tidak dapat
melaksankan sholat subuh akibat begadang.
Maka dari itu, sungguh merugi jika kita tidak menyempatkan untuk
sahur walau hanya minum segelas air putih. Sebab, terdapat berkah di dalamnya. Hal
itu sebagaimana penjelasan nabi dalam salah satu hadistnya yang artinya, “Sahur adalah makanan yang penuh berkah. Oleh karena itu,
janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya dengan minum seteguk air.
Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat bershalawat kepada orang-orang yang
makan sahur.”
Ketiga, mempercepat berbuka meskipun dengan hanya minum seteguk air
putih. Hal itu sebgaimana hadist nabi yang artinya, “Orang-orang akan
senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR Bukhari Muslim).
Keempat, banyak berdo’a dan
berdzikir serta berdoa ketika berbuka. Hal itu sebagaimana keterangan salah
satu hadist nabi yang artinya, “Berdoa
ketika berbuka puasa merupakan salah satu doa Mustajab, seperti banyak disebut
dalam hadist-hadist. Antara lain: Tiga orang yang tidak akan
ditolak doanya, orang yang puasa ketika
berbuka, Imam yang adil dan doanya
orang yang didhalimi.” (HR. Tirmidzi, Ibn Majah,
dan Ibnu Hibban). Itu di antara sejumlah sunnah yang harus diakukan oleh
seorang shoim bila ingin memiliki puasa yang berintegritas.
Selain itu, si shoim juga
harus menjauhi segala bentuk maksiat yang dapat mereduksi pahala puasanya. Jika
tidak, maka dia akan hanya memperoleh lapar dan dahaga. Di antara maksiat itu
ialah berdusta. Dalam hal ini, nabi pernah berkata yang artinya, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta tapi justru mengamalkannya,
maka Allah tidak membutuhkan rasa lapar
dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)
Disamping itu, juga berkata sia-sia dan berbau porno. Dalam hal
ini, nabi pernah berkata yang artinya,“Puasa bukanlah hanya menahan
makan dan minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari
perkataan lagwu (sia-sia) dan rofats (porno). Apabila ada seseorang yang
mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku
sedang puasa.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim.
Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib no.
1082 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Jika mau serta mampu merealisasikan itu semua, dijamin kita akan
sukses meraih puasa yang benar-benar berintegritas dan tidak sia-sia. Semoga ! Wallahu
alam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar