Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi FITK UIN Walisongo Semarang
Bulan ramadhan memang bulan penuh berkah, tak terkecuali bagi para
pemuda. Berkah bagi para pemuda di bulan suci ramadhan ialah dengan memperoleh
momentum spesial untuk memainkan ‘tongklek’. Di sejumlah daerah Jawa, tradisi
itu disebut dengan nama berbeda. Di Rembang dan Tuban, masyarakt memang
menyebutnya dengan tongklek. Namun, masyarakat Blora menyebutnya dengan thethek.
Penyebutan nama itu berasal dari suara alatnya ketika ditabuh, dari kejauhan
terdengar menghasilkan bunyi ‘tong’ dan ‘klek’ atau ada yang mengatakan
‘thek-thek’, sehingga tradisi itu disebut tongklek atau thethek.
Ya, memainkan tongklek merupakan salah satu tradisi unik masyarakat
jawa khususnya bagi para pemuda. Tradisi itu menjadi sangat spesial bagi mereka,
khususnya kawula muda. Sebab, momentum indah itu hanya dapat dinikmati setahun
sekali, yakni pada bulan suci ramadhan. Jadi, tradisi tongklek yaitu tradisi
membangunkan masyarakat untuk persiapan makan sahur dengan memainkan sejumlah
alat musik tradisional dari bambu (baca: kenthongan) disertai menyanyikan
lagu-lagu daerah (Jawa) dan dikompilasi dengan lafal sholawatan.
Dengan memainkan musik dari bambu dari berbagai ukuran yang
didesain seperti kenthongan orang ronda malam di poskamling, sehingga
menghasilkan bunyi yang berbeda. Dan itu yang menjadi cirri khas musik tongklek
dan keindahannya terletak di situ. Namun, seiring perkembangan zaman, alunan musik
tongklek mengalami perkembangan pula. Yang pada awalnya musik tongklek hanya
terdiri atas bebeerapa alat musik berasal dari bambu semua yang didesain dengan
berbagai amcam bentuk dengan fungsi yang berbeda, kini telah tercampur dengan
alat modern seperti drum band, seruling, tamborin, atau alat modern lainnya.
Demi menjaga ke-khas-an dan ke-tradisional-an, sebagian kelompok
memodifikasi bukan dengan menggunakan alat modern seperti itu, tapi dengan
sejumlah benda yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya botol
kecap atau sirup (untuk menambah fariasi bunyi musik), jrigen air (dijadikan
sebagai bas), dan lainnya.
Adapun pelaksanaannya, biasanya antara jam satu malam hingga jam
tiga fajar. Umumnya, sebelum memulai aksi, kaum muda yang akan memainkannya
bersiap bergerombol dan membentuk barisan. Dengan komposisi posisi pada umumnya
terdiri dari dua vokal, satu pemain kecek (sejenis tamborin yang terdiri
dari sejumlah tutup botol minuman botol dari seng yang diratakan dan
dijadikan satu dengan paku, lalu ditempelkan di sebatang bambu tipis atau
kayu), empat pemain thethek (music iringan), dua pemain bumbung (bas
dari bambu), serta pemegang obor atau lampu untuk penerang jalan dan pembantu
pembawa alat musik yang berat.
Konon, tradisi tongklek merupakan salah satu tradisi peninggalan
walisongo. Namun, dalam konteks ini, para ahli sejarah masih kontroversi.
Sedangkan, sebagian ahli sejarah mencatat, persebaran musik tongklek di Jawa
ada sejak sekitar tahun 1972. Mengenai sejarah asal-usul hadirnya tongklek di
Jawa hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Sebab, pada zaman dahulu, belum
ada pihak yang peduli untuk menuliskan sejarah lahirnya tongklek. Hal itu
sungguh disayangkan. Karena, persebaran tongklek dari daerah ke daerah,
sehingga belum diketahui secara pasti dari mana asal tradisi unik itu.
Namun, kini tradisi unik itu tampak kian pudar dari kalangan
masyarakat, khususnya di tengah para pemuda. Kini tinggal hanya beberapa pemuda
yang senantiasa masih melestarikan tradisi itu. Itu pun hanya di sejumlah
daerah pedesaan. Adapaun di daerah perkotaan, bisa dibilang nihil. Artinya,
sudah tidak ada lagi rasa kepedulian sedikitpun para pemuda di perkotaan untuk
melestarikan tradisi itu. Sehingga, di saat sahur pun sepi dari aktivitas
memainkan tongklek.
Adapun penyebabnya bisa bermacam-macam faktor. Jjika kita ketahui,
sebagian kelompok sebenarnya masih ingin melestarikannya, namun karena masyarakat
di wilayah itu tidak berkenan (baca: sensi) maka mereka jadi berpikir dua kali
untuk memainkan bunyi tongklek guna membangunkan warga sekitar untuk
makan sahur. Sebab, mayoritas warga sekarang sudah bisa menggunakan jam alarm
atau teknologi modern lainnya untuk membangunkan mereka tepat waktu. Mereka berpikir
hal itu lebih efektif dan tidak meresahkan warga lain. Sehingga, kehadiran tongklek
tampak seolah hanya menjadi pengganggu tidur atau duri bagi mereka.
Faktor lain yang lebih parah yaitu sudah pudarnya pesona tongklek
di hati para pemuda. Fenomena itu dapat kita lihat dengan mudah saat ini.
Pasalnya, mayoritas para pemuda saat ini lebih suka dan minat dengan musik
kebarat-baratan seperti music rock, jazz, rege yang semuanya itu notabene bukan
merupakan musik tradisi local, melainkan produk kaum barat. Implikasinya, kini
tidak sedikit kaum muda yang tidak mengenal apa itu tradisi tongklek.
Kalaupun ada, bisa dipastikan mereka berasal dari pedesaan yang dahulu pernah
memainkan itu di kala ramadhan tiba.
Anehnya, justru kaum muda
saat ini cenderung lebih banyak yang menyukai musik kaum barat dari pada musik
tradisional semisal tongklek. Sehingga, akhirnya kini tradisi tongklek
hanya tinggal sebatas cerita dan kenangan saja. Jika kita mau menyaksikannya,
kita harus pergi dahulu di daerah yang cukup pelosok yang masyarakatnya masih
hobi mmelestarikan tongklek, misalnya di Blora, Rembang, ataupun Tuban
yang bagian pedalaman.
Oleh karena itu, perlu krianya bila kita mainkan lagi di waktu
ramadhan ini untuk melestarikannya. Sikap apatis lah yang menyebabkan tradisi
local kita punah satu per satu. Maka jangan salahkan jika bangsa lain hingga
mengklaim budaya atau tradisi kita karena kita sendiri tidak mempedulikannya.
Semoga, kaum muda segera tergerak hatinya untuk membudayakan
kembali tradisi tongklek agar tidak punah. Sebab, itu merupakan salah satu
warisan nenek moyang kita. Maka dari itu harus kita jaga dengan sebaik-baiknya.
Untuk dapat merealisasikannya, dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Bagi
pihak yang belum terbiasa mendengan musik tongklek di saat tengah malam,
mungkin akan terganggu.
Hal itu wajar. Untuk menjembatani, mungkin musik tongklek bisa
dimainkan saat jam dua atau setengah tiga hingga jam tiga atau setengah empat,
agar warga yang belum terbiasa bisa menyesuaikannya. Sebab, tentu mereka akan
merasa terganggu tidurnya dengan adanya tongklek di tengah malam bila
dilaksanakan sekitar jam satu. Bagi warga yang sudah terbiasa, mereka harus
menyemikan kembali tradsisi indah itu yang kini terancam punah. Salam sahhur !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar