Jumat, 19 Juni 2015

Kebudayaan: Nguri-Uri Tradisi Tongklek (Dimuat di Koran Rakyat Jateng, Sabtu 20 Juni 2015)





Nguri-Uri Tradisi Tongklek
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi FITK UIN Walisongo Semarang
Bulan ramadhan memang bulan penuh berkah, tak terkecuali bagi para pemuda. Berkah bagi para pemuda di bulan suci ramadhan ialah dengan memperoleh momentum spesial untuk memainkan ‘tongklek’. Di sejumlah daerah Jawa, tradisi itu disebut dengan nama berbeda. Di Rembang dan Tuban, masyarakt memang menyebutnya dengan tongklek. Namun, masyarakat Blora menyebutnya dengan thethek. Penyebutan nama itu berasal dari suara alatnya ketika ditabuh, dari kejauhan terdengar menghasilkan bunyi ‘tong’ dan ‘klek’ atau ada yang mengatakan ‘thek-thek’, sehingga tradisi itu disebut tongklek atau thethek.
Ya, memainkan tongklek merupakan salah satu tradisi unik masyarakat jawa khususnya bagi para pemuda. Tradisi itu menjadi sangat spesial bagi mereka, khususnya kawula muda. Sebab, momentum indah itu hanya dapat dinikmati setahun sekali, yakni pada bulan suci ramadhan. Jadi, tradisi tongklek yaitu tradisi membangunkan masyarakat untuk persiapan makan sahur dengan memainkan sejumlah alat musik tradisional dari bambu (baca: kenthongan) disertai menyanyikan lagu-lagu daerah (Jawa) dan dikompilasi dengan lafal sholawatan.
Dengan memainkan musik dari bambu dari berbagai ukuran yang didesain seperti kenthongan orang ronda malam di poskamling, sehingga menghasilkan bunyi yang berbeda. Dan itu yang menjadi cirri khas musik tongklek dan keindahannya terletak di situ. Namun, seiring perkembangan zaman, alunan musik tongklek mengalami perkembangan pula. Yang pada awalnya musik tongklek hanya terdiri atas bebeerapa alat musik berasal dari bambu semua yang didesain dengan berbagai amcam bentuk dengan fungsi yang berbeda, kini telah tercampur dengan alat modern seperti drum band, seruling, tamborin, atau alat modern lainnya.
Demi menjaga ke-khas-an dan ke-tradisional-an, sebagian kelompok memodifikasi bukan dengan menggunakan alat modern seperti itu, tapi dengan sejumlah benda yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya botol kecap atau sirup (untuk menambah fariasi bunyi musik), jrigen air (dijadikan sebagai bas), dan lainnya.
Adapun pelaksanaannya, biasanya antara jam satu malam hingga jam tiga fajar. Umumnya, sebelum memulai aksi, kaum muda yang akan memainkannya bersiap bergerombol dan membentuk barisan. Dengan komposisi posisi pada umumnya terdiri dari dua vokal, satu pemain kecek (sejenis tamborin yang terdiri dari sejumlah tutup botol minuman botol dari seng yang diratakan dan dijadikan satu dengan paku, lalu ditempelkan di sebatang bambu tipis atau kayu), empat pemain thethek (music iringan), dua pemain bumbung (bas dari bambu), serta pemegang obor atau lampu untuk penerang jalan dan pembantu pembawa alat musik yang berat.
Konon, tradisi tongklek merupakan salah satu tradisi peninggalan walisongo. Namun, dalam konteks ini, para ahli sejarah masih kontroversi. Sedangkan, sebagian ahli sejarah mencatat, persebaran musik tongklek di Jawa ada sejak sekitar tahun 1972. Mengenai sejarah asal-usul hadirnya tongklek di Jawa hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Sebab, pada zaman dahulu, belum ada pihak yang peduli untuk menuliskan sejarah lahirnya tongklek. Hal itu sungguh disayangkan. Karena, persebaran tongklek dari daerah ke daerah, sehingga belum diketahui secara pasti dari mana asal tradisi unik itu.
Namun, kini tradisi unik itu tampak kian pudar dari kalangan masyarakat, khususnya di tengah para pemuda. Kini tinggal hanya beberapa pemuda yang senantiasa masih melestarikan tradisi itu. Itu pun hanya di sejumlah daerah pedesaan. Adapaun di daerah perkotaan, bisa dibilang nihil. Artinya, sudah tidak ada lagi rasa kepedulian sedikitpun para pemuda di perkotaan untuk melestarikan tradisi itu. Sehingga, di saat sahur pun sepi dari aktivitas memainkan tongklek.
Adapun penyebabnya bisa bermacam-macam faktor. Jjika kita ketahui, sebagian kelompok sebenarnya masih ingin melestarikannya, namun karena masyarakat di wilayah itu tidak berkenan (baca: sensi) maka mereka jadi berpikir dua kali untuk memainkan bunyi tongklek guna membangunkan warga sekitar untuk makan sahur. Sebab, mayoritas warga sekarang sudah bisa menggunakan jam alarm atau teknologi modern lainnya untuk membangunkan mereka tepat waktu. Mereka berpikir hal itu lebih efektif dan tidak meresahkan warga lain. Sehingga, kehadiran tongklek tampak seolah hanya menjadi pengganggu tidur atau duri bagi mereka.
Faktor lain yang lebih parah yaitu sudah pudarnya pesona tongklek di hati para pemuda. Fenomena itu dapat kita lihat dengan mudah saat ini. Pasalnya, mayoritas para pemuda saat ini lebih suka dan minat dengan musik kebarat-baratan seperti music rock, jazz, rege yang semuanya itu notabene bukan merupakan musik tradisi local, melainkan produk kaum barat. Implikasinya, kini tidak sedikit kaum muda yang tidak mengenal apa itu tradisi tongklek. Kalaupun ada, bisa dipastikan mereka berasal dari pedesaan yang dahulu pernah memainkan itu di kala ramadhan tiba.
 Anehnya, justru kaum muda saat ini cenderung lebih banyak yang menyukai musik kaum barat dari pada musik tradisional semisal tongklek. Sehingga, akhirnya kini tradisi tongklek hanya tinggal sebatas cerita dan kenangan saja. Jika kita mau menyaksikannya, kita harus pergi dahulu di daerah yang cukup pelosok yang masyarakatnya masih hobi mmelestarikan tongklek, misalnya di Blora, Rembang, ataupun Tuban yang bagian pedalaman.
Oleh karena itu, perlu krianya bila kita mainkan lagi di waktu ramadhan ini untuk melestarikannya. Sikap apatis lah yang menyebabkan tradisi local kita punah satu per satu. Maka jangan salahkan jika bangsa lain hingga mengklaim budaya atau tradisi kita karena kita sendiri tidak mempedulikannya.
Semoga, kaum muda segera tergerak hatinya untuk membudayakan kembali tradisi tongklek agar tidak punah. Sebab, itu merupakan salah satu warisan nenek moyang kita. Maka dari itu harus kita jaga dengan sebaik-baiknya. Untuk dapat merealisasikannya, dibutuhkan sinergi dari berbagai pihak. Bagi pihak yang belum terbiasa mendengan musik tongklek di saat tengah malam, mungkin akan terganggu.
Hal itu wajar. Untuk menjembatani, mungkin musik tongklek bisa dimainkan saat jam dua atau setengah tiga hingga jam tiga atau setengah empat, agar warga yang belum terbiasa bisa menyesuaikannya. Sebab, tentu mereka akan merasa terganggu tidurnya dengan adanya tongklek di tengah malam bila dilaksanakan sekitar jam satu. Bagi warga yang sudah terbiasa, mereka harus menyemikan kembali tradsisi indah itu yang kini terancam punah. Salam sahhur !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar