Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Tidak dapat dibantah bahwa sampai kapanpun, pendidik merupakan
komponen yang tidak dapat dinafikan dalam dunia pendidikan. Sebab, peran
seorang pendidik sungguh besar dalam rangka suksesi mencerdaskan generasi
bangsa. Tanpanya, mustahil sistem pendidikan bisa terlaksana. Sehingga,
eksistensi pendidik menjadi sangat urgen, ibarat pondasi dalam suatu bangunan.
Jika pondasi itu kuat, maka bangunan tersebut akan mampu bertahan lama. Begitu
pun dengan pendidik. Jika pendidik itu cerdas, tentu lembaga pendidikan akan
mampu bertahan lama karena dinahkodai para pendidik yang cerdas. Salah satu
bukti atau indikator sosok pendidik cerdas ialah seorang pendidik yang
berorientasi focus di dunia pendidikan.
Ya, menjadi pendidik berorientatif edukatif merupakan suatu
keniscayaan. Tanpa itu, ibarat nahkoda tanpa tujuan berlayar. Jika seorang
nakhkoda telah mengendalikan suatu kapal namun tidak memiliki tujuan, maka bisa
dipastikan dia akan mengendalikan kapal kemanapun arahnya semaunya tanpa arah
yang jelas. Jika demikian, maka para penumpang kapal tersebut tentu akan merasa
dirugikan.
Begitu pula dengan konteks pendidik. Jika seorang pendidik tidak
memiliki orientasi yang kuat untuk senantiasa menignkatkan kualitas para
peserta didik, maka bisa dipastikan para peserta didik akan dirugikan karena
arah pendidik dalam mengajar para peserta didiknya tidak jelas mau dibawa
kemana arahnya. Jika itu sampai terjadi, otomatis siswa akan dirugikan. Sebab,
tujuan pendidikan yakni mencerdaskan bangsa (sebagaimana tertera dalam
pembukaan UUD 1945 alinea empat, pasal 31 ayat 1 dan 5 , serta dalam UU No. 20
tahun 2003) bisa dipastikan akan gagal total.
Dalam konteks ini, Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, dosen Pascasarjana
FISIP UI, mengkaitkan dalam hal kepemimpinan bahwa pendidik tak boleh
disorientasi atau lebih mengedepankan orientasi selain aspek pendidikan. Sebab,
pendidik merupakan “pemimpin” peserta didiknya. Maka, pendidik harus bervisi.
Jika seorang pemimpin tidak bervisi, mau dikemanakan para peserta didiknya jika
pendidiknya saja tidak tahu mau mengarahkan para peserta didiknya dalam
menjalankan tugas transformasi ilmu?
Sayangnya, tidak sedikit pendidik di masa kini yang tampak hadir
sebagai pendidik (baca: guru/ dosen) namun sejatinya bukan. Dengan kata lain,
di era sekarang banyak para pendidik abal-abal. Pasalnya, banyak sekali
pendidik yang disorientasi. Sebagai pendidik yang seharusnya secara khittahnya
berperan dalam membimbing, mendidik, serta mengawal peserta didiknya, namun realitanya
kini justru sebaliknya.
Sunguh miris sekali jika kita mengetahui konstelasi pendidikan saat
ini, terutama para pendidik. Sebab, kehadirannya di kelas tak lain hanya
sebatas untuk memenuhi tuntutan menyampaikan materi belaka tanpa diringi
pelaksanaan mendidik atau membimbing peserta didiknya (baca: follow up).
Bahayanya, orientasinya bukan untuk mencerdaskan anak bangsa, tapi justru untuk
memenuhi kebutuhan finansial (mencari uang). Artinya, orientasi pendidik
semacam itu telah mengalami distorsi. Maka, sungguh berdosa jika ada pendidik
semacam itu. Sebab, dia telah menodai tugas mulia sebagai pendidik yang
menjalankan tugas profetik (kenabian) sebagaimana penjelasan dalam QS.
Al-Baqoroh: 151.
Artinya, setiap pendidik harus berupaya untuk tetap konsisten dalam
menjalankan tugas sucinya. Dalam hal ini, Abdul Mufid Lc. MSi, dosen STAI Khozinatul
‘Ulum Blora, menegaskan bahwa ‘haram’ hukumnya jika ada pendidik yang keluar
dari rel sebagai pendidik. Maksudnya, jika dilihat dari luarnya ia tampak
sebagai layaknya pendidik.
Namun jika diketahui isi pikiran dan hatinya, ia tidak ada bedanya
dengan seorang pebisnis yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknyadi sekolah,
sehingga ia menjadikan peseta didik sebagai ‘ladang rizki’ untuk memperoleh
laba sebanyak-banyaknya dengan memperjaul belikan buku pelajaran yang bersifat
wajib. Maka, itu menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama terutama para pengelola
lembaga pendidikan agar tidak terjerumus oleh paradigm sesat yang semakin
menjauhkannya dari tugas suci untuk mencerdaskan umat.
Oleh karena itu, jika kita merupakan seorang pendidik sejati, maka
pastikan terlebih dahulu bahwa kita sudah bervisi sebelum mulai mendidik
peserta didik. Dalam menentukan visi, pastikan bahwa visi tersebut bersifat
demi kemaslahatan umat, berkualitas, realistis, nan futuristik. Dengan begitu,
maka peseta didik tidak akan dirugikan ketika mengikuti proses pembelajaran
dengan pendidik semacam itu. Jika itu dapat terwujud, alangkah baiknya
pelakasanaan proses transformasi ilmu di kelas. Alhasil, tujuan pendidikan pun
akan berpeluang besar dapat tercapai.
Maksud dari pendidik yang berorientasi atau bervisi ialah seorang
pendidik yang setidaknya memenuhi kriteria berikut. Pertama, menyadari tugas
mulianya sebagai pendidik. Kesadaran semacam itu merupakan keniscayaan bagi
setiap pendidik. Sebab, itu menjadi kunci utama penghantar bagi mereka untuk
dapat melangkah selanjutnya dalam berorientasi yang benar nan kokoh. Jika
seorang pendidik tidak menyadari posisinya secara kaffah (seutuhnya),
bisa dipastikan dalam melaksanakan tugasnya pun akan asal-asalan karena disorientasi.
Otomatis, atsar ilmu hasil transformasinya tidak akan dapat ‘membekas’
dalam benak peserta didiknya.
Kedua, pendidik harus berwawasan luas dan kritis. Seorang pendidik
merupakan kunci pembuka ilmu generasi bangsa. Dengan kata lain, pendidik ibarat
toko. Sebuah toko dituntut agar menyediakan berbagai kebutuhan yang komplit,
misalkan toko sayur, maka jika ingin laris, toko tersebut harus menyediakan
aneka jenis bahan sayuran agar banyak pembeli yang ‘melirik’ ke toko tersebut.
Adapun teknis pelaksanaan agar pendidik dapat berwawasan luas serta
kritis bisa beragam, misalnya dengan rajin membaca buku baik berupa hard
file maupun soft file yang berisi tentang materi sesuai bidangnya.
Dalam melakukan itu, diringi pula dengan rajin membaca berita-berita di media
massa yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Dengan begitu, maka pendidik
tidak hanya akan menguasai ilmu sesuai bidangnya, namun juga mengetahui
berbagai masalah tentang pendidikan.
Dengan begitu, ketika mengajar peserta didik di kelas tidak hanya
terfokus menyampaikan materi-materi sesuai bidangnya, akan tetapi juga
memberikan paradigma baru kepada mereka atau membuka wawasan mereka dengan
melatih mereka bagaimana mencari solusi masalah pendidikan yang sedang relevan. Dalam melakukan itu, tentunya
pendidik harus memperhatikan tingkatan peserta didiknya untuk menentukan
tingkat atau bobot kualitas pembahasan.
Ketiga, pendidik harus mau dan mampu berkarya. Saking urgennya
masalah ini, hingga Dr. Mohammad Nasih menegaskan bahwa sungguh tidak layak
seorang pendidik memangku profesi pendidik jika ia tidak mampu bahkan tiidak
mau berusaha untuk berkarya. Maka, sebaiknya guru semacam itu lebih baik
diberhentikan saja dan digantikan dengan yang lain karena masih banyak lainnya
yang sebenanrya lebih berkualitas dan profesional. Sebab, berkarya merupakan
bukti konkrit bahwa pendidik tersebut memang berpikir dan memiliki konsep sesuai
bidangnya.
Maka, pendidik yang demikian itu sungguh layak memangku profesi
sebagai pendidik. Dengan begitu, maka selain menjadi seorang pendidik, sang
pendidik akan selalu hadir di depan peserta didiknya sebagai sang inspirator.
Dengan begitu, maka mereka akan semakin bersemangat dalam proses mencari ilmu
karena otomatis itu akan menjadi ‘pecut’ spesial bagi mereka.
Apabila ketiga langkah tersebut dapat dipenuhi oleh sang pendidik,
maka untuk menajdi seorang pendidik orientatif tidak hanya sebatas mimpi.
Dengan memiliki para pendidik yang berorientasi, diharapkan tujuan pendidikan
di republik ini sebagaimana tertera dalam pembukaan UUD 1945 alinea empat,
pasal 31 ayat 1 dan 5 , serta dalam UU No. 20 tahun 2003 dapat tercapai. Dengan
begitu, maka tidak mustahil bangsa Indonesia ke depan akan mampu tampil kembali
sebagai ‘Macan Asia’ dalam berbagai aspek dan mampu bersaing dengan bansga
asing sebagai bukti keberhasilannya dalam melahirkan generasi yang cerdas.
Semoga ! Wallahu a’lam bi al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar