Selasa, 23 Juni 2015

Laporan mini riset tradisi ngalungi di Kabupaten Blora

LAPORAN MINI RISET
TRADISI NGALUNGI DI KABUPATEN BLORA
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :  Islam dan Budaya Jawa
 Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si

\
                  
Disusun oleh :
Mochammad Sayyidatthohirin                    (123411069)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI  WALISONGO
SEMARANG
2015
I.                   PENDAHULUAN

Secara umum, budaya atau tradisi dapat dipahami sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat tertentu secara kontinyu (baca: kebiasaan) dengan maksud tertentu. Terkadang, tradisi kelompok tertentu dilakukan di waktu khusus yang telah disepakati bersama. Di antara latar belakang munculnya suatu tradisi tertentu di tengah masyarakat ialah karena adanya kesamaan ras, suku, nasib atau kondisi, sehingga ‘memaksa’ mereka untuk melakukan suatu tindakan dengan orientasi tertentu.
Bermula dari itu, maka muncul perilaku atau aktivitas yang berulang-ulang di kelompok masyarakat tersebut dengan orientasi tertentu yang dilakukan secara berulang, baik setiap hari maupun setiap bulan, bahkan setiap tahun. Dan karena kondisi kehidupan masyarakat di setiap daerah berbeda-beda, maka otomatis secara sunnatullah (hukum alam) memunculkan tradisi di setiap kelompok masyarakat yang berbeda pula. Sehingga, itu yang menjadikan ciri khas dan keunikan setiap kelompok. Dan itu yang menjadi ‘senjata’ ampuh untuk mempersatukan satu kelompok masyarakat hingga mereka dapat menjadi umat yang kompak.
II.                RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana bentuk perayaan upacara ngalungi?
2.      Bagaimana nilai-nilai Islami yang terkandung dalam perayaan upacara ngalungi?
III.             KONDISI LAPANGAN
1.      Bentuk Pertunjukan Burok pada Pawai Sunatan

Di kabupaten Blora, salah satu tradisi khasnya ialah ‘ngalungi’. Ya, ngalungi merupakan salah satu tradisi yang menjadi satu keunikan tersendiri bagi masyarakat Blora, khususnya bagi mereka yang memiliki ternak (ingon-ingon) sapi atau kerbau yang biasa digunakan oleh mereka untuk membantu dalam proses pembajakan ladang sawah.
Karena dianggap telah ‘berjasa’ dalam pelaksanaan proses pembajakan, konsekuensinya atas dasar kepercayaan serta kesadaran mereka, akhirnya mereka mengadakan ritual syukuran (baca: selametan) yang diperuntukkan bagi para hewan ternak sapi atau kerbau mereka guna mendoakannya agar selalu sehat dan selamat, sehingga mereka (sapi dan kerbau) dapat dimanfaatkan kembali oleh pemiliknya untuk membantu pekerjaan mereka dalam membajak sawah di masa mendatang.
Adapun wujud perayaannya yaitu kelompok masyarakat Blora di wilayah tertentu yang tentunya memiliki sapi atau kerbau dan ladang sawah secara serentak memasak menu tertentu untuk dibagi-bagikan (ater-ater) ke sejumlah tetangga sekitarnya. Pada umumnya, sajian menunya berupa makanan yang terdiri dari ketupat, lepet, lontong, yang dicampur dengan sayur lodeh lembaran sebagai lauk utamanya. Itu sudah menjadi kesepakatan dan kebiasaan menu khas masyarakat Blora untuk merayakannya.
Sebenarnya menurut kepercayaan mereka, target yang akan diberi ‘sesajen’ itu tidak hanya sebatas tetangga yang tinggal di sekitar rumahnya saja, namun bisa juga diberikan kepada masyarakat di luar wilayahnya, bahkan masyarakat yang belum atau sudah merayakannya. Selain itu, target juga boleh dari kalangan sekalipun yang tidak memiliki sapi atau kerbau untuk membajak sawah. Namun, akan lebih tepat (baca: afdhol) apabila ‘sesajen’ itu mereka berikan kepada warga sekitar terdekat baik yang memiliki sapi atau kerbau maupun bagi mereka yang tidak memilikinya.
Dari uraian singkat tersebut, maka dapat kita pahami bahwa tradisi ‘ngalungi’ ialah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat luas Blora, khususnya bagi mereka yang memiliki hewan sapi dan atau kerbau guna untuk mendoakannya agar senantiasa berada dalam kondisi sehat dan selamat supaya dapat dimanfaatkan kembali di masa mendatang dalam proses pembajakan sawah.
Upacara ‘ngalungi’ biasanya diselenggarakan serentak di setiap desa namun berbeda waktu, meskipun masih berada dalam satu lingkup kabupaten yang sama . Sebab, upacara itu dilaksanakan setelah proses penanaman padi, sehingga adakalanya dalam satu tahun perayaannya bias sekali atau hingga dua kali. Itu tergantung dari kondisi lading sawah yang memungkinkan siap untuk ditanami padi.
Sedangkan waktu penanaman padi di setiap daerah biasanya berbeda sedikit meskipun berada di bawah satu iklim tertentu yang sama. Misalnya, ketika datang musim hujan (rendeng), maka otomatis di setiap wilayah bagi masyarakat yang memiliki ladang sawah akan segera menanam padi. Dan setiap kelompok masyarakat memiliki waktu tertentu di musim tersebut yang dianggap ‘keramat’ dan tepat untuk memulai bercocok tanam.
Untuk itu, sebagai rasa terimakasih kepada Tuhan yang telah melancarkan proses pembajakan ladang sawahnya dengan menggunakan sapi atau kerbau, maka mereka mewujudkannya dengan tradisi upacara ‘ngalungi’. Karena itu, waktu perayaannya pun di tiap wilayah menjadi berbeda dan di waktu yang tidak tentu pula. Dirayakan ketika siang atau malam tidak masalah. Itu menjadi pilhan masing-masing kepala keluarga.
Yang perlu digarisbawahi bahwa tujuan pelaksanaan serentak agar lebih meringankan beban perayaan bagi setiap warga yang merayakannya. Sebab, dapat dibayangkan, betapa beratnya (rekoso) ketika setiap warga atau sebagian kecil warga menyelenggarakannya secara individu. Tentu hal it akan memberatkan mereka, terutama dalam aspek finansial. Sebab, untuk merayakannya, mereka harus mengundang masyarakat sekitar dengan jumlah yang tidak sedikit. Maka, dengan merayakan bersama, beban mereka akan menjadi sangat ringan.
Selanjutnya, ada ritual khusus nan unik yang perlu diketahui bersama selain pemberian ‘sesajen’ kepada tetangga sekitar, yaitu mereka meminumkan air ketupat (air bekas digunakan untuk masak ketupat) kepada sapi dan atau kerbau mereka. Hal itu sebenarnya merupakan tindak lanjut dari upacara selametan yang bertujuan agar lebih memantapkan kepercayaan mereka supaya hewan-hewan itu selalu sehat dan selamat setelah mereka gunakan untuk membajak sawah. Intensitas air minum itu menurut ala kadarnya sebagaimana biasanya mereka memberi minum hewan-hewan itu dengan air biasa.
Selain itu, yang sering membuat orang penasaran adalah di saat hari perayaan itu, mereka mengkalungkan ketupat dan atau lepet ke leher sapi dan atau kerbau yang tentunya berisi nasi juga didalamnya. Itu merupakan satu kesatuan tradisi ngalungi yang tidak dapat dipisahkan satu-persatu. Berdasarkan kepercayaan dan keyakinan mereka, jika mereka tidak melakukan tradisi tersebut, mereka sangat khawatir para sapi dan atau kerbau mereka tidak akan sehat dan selamat, alias mati. Sehingga, selain tradisi itu sakral, juga menjadi sangat urgen bagi mereka dan menyatu dalam kehidupan mereka dengan penuh ke-tradisional-an.
2.      Nilai-nilai Islam yang Terkandung dalam Pertunjukan Burok pada Pawai Sunatan

Nilai islam dalam upacara tradisi ngalungan tampak sangat jelas. Sebab, pada dasarnya, istilah nama ‘ngalungi’ merupakan nama lain dari syukuran atau selametan yang telah disesuaikan dengan kondisi dan model ritualnya. Sementara syukuran merupakan wujud atau bentuk berterimakasih kasih umat manusia kepada Tuhan atas limpahan berkah-Nya. Dan itu merupakan kebiasaan atau tradisi dalam ajaran Islam.
Dengan demikian, meskipun tradisi ngalungan merupakan tradisi masyaraakt jawa, tradisi  dengan model sedemikian rupa itu bisa  dibilang sangat islami karena substansi orientasi perayaannnya merupakan manifestasi dari nilai-nilai islam.

IV.             ANALISA LAPANGAN

Tradisi ngalungan merupakan tradisi yang dilakukan oleh mayoritas masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Blora. Namun, faktanya, ada masyarakat di sebagian wilayah yang menamakan perayaan itu dengan sebutan berbeda, yakni masyarakat di wilayah Japah dengan menyebutnya tradisi ‘mamangan’.
Secara substansial, antara tradisi ngalungi dan mamangan setali tiga uang. Artinya, tidak ada orientasi yang berebeda antara keduanya. Yaitu sebagai wujud rasa berterimakasih kepada Tuhan TME yang telah memeberikan kenikmatan dan limpahan berkah sehingga hewan sapid an atau kerbau mereka dapat dimanfaatkan untuk membajak sawah dengan lancar, sehingga pekeerjaan mereka menjadi ringan.
Adapaun wujud pelaksanaann antara keduanya sedikit berbeda. Jika tadisi mamangan tidak hanya sebatas member ‘sesajen’ kepada masyarakat sekitar, tapi juga mengarak (mengelilingkan) sapi ke desa.
V.                KESIMPULAN

‘Ngalungi’ merupakan satu tradisi tradisional khas Blora yang umumnya dilakukan oleh masyarakat  yang memiliki hewan sapi dan atau kerbau guna untuk mendoakannya agar senantiasa berada dalam kondisi sehat dan selamat supaya dapat dimanfaatkan kembali di masa mendatang dalam proses pembajakan sawah.
Tradisi ngalungi memiliki nilai islam, yaitu wujud berterimakasih kepada Tuhan YME yang telah memberikan karunia kepada umat manusia, khususnya bagi masyarakat Blora dan sekitarnya yang memiliki sapid dan atau kerbau.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar