Rabu, 22 Juli 2015

Reshuffle Kabinet Berbasis Objektivitas (Dimuat di koran Jateng Ekspres edisi Kamis 23 Juli 2015)



Reshuffle Kabinet Berbasis Objektivitas
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Akhir-akhir ini, panggung politik republik Indonesia sedang diguncang oleh isu reshuffle kabinet, selain juga isu revisi UU KPK dan persetujuan dana aspirasi. Berkenaan dengan itu, sejauh ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum berkenan menyebutkan kementerian apa saja yang akan di-reshuffle dan kapan akan dilakukan proses reshuffle. Di sejumlah media massa baik cetak maupun online, disebutkan bahwa Presiden Jokowi hanya menyatakan dia sendiri yang akan melakukan proses reshuffle kabinet. Sebab, hasil rapor kinerja para menterinya selama setengah tahun lebih sudah diterimanya. Jadi, dia sendiri yang akan menentukan proses sakral itu karena dia sudah mengetahui menteri mana saja yang memperoleh rapor merah dan yang tidak.
Penilaian Jokowi atas kinerja para menterinya bukan hanya berdasarkan pada laporan hitam di atas puthih dari masing-masing menteri, melainkan juga atas dasar sejumlah informasi dari pihak yang terkait dengan masing-masing pos kementrian serta pengecekan secara langsung di lapangan, misalnya ketika sedang ada proyek di Batam. Dia benar-benar marah karena ternyata hasil kinerja di lapangan tidak sesuai dengan target. Begitu pun dengan cross check lapangan lainnya. Namun, tidak semuanya seperti demikian. Sebagian proyek di lapangan sudah memenuhi target.
Dalam konteks ini, satu hal urgen yang harus selalu diingat oleh Jokowi selaku presiden Indonesia yaitu dalam melakukan proses reshuffle, dia harus benar-benar memastikan bahwa dia sedang berada dalam kondisi ‘sadar’. Artinya, dalam proses me-reshuffle sejumlah menteri nantinya, harus didasarkan pada unsur netralitas. Sebab, pelaksanaan proses reshuffle merupakan momentum sakral yang sangat berharga sekaligus ‘berbahaya’.
Dikatakan sakral karena proses tersebut merupakan momentum penentuan nasib bangsa Indonesia di masa mendatang. Artinya, apabila Jokowi “teledor” dalam me-reshuffle sejumlah menteri (apakah karena unsur lemahnya independensinya sehingga terhegemoni oleh kelompok oportunis atau memang karena ‘ketidaktahuannya’), maka hal itu dapat dipastikan secara otomatis akan berakibat fatal bagi bangsa ini.
Sebab, menteri hasil reshuffle itu nanti yang akan menghandle negeri Indonesia. Jika kualitas menteri hasil reshuffle memang memenuhi kualifikasi dan sesuai porsinya, tentu itu tidak menjadi masalah. Jika demikian, bisa dipastikan kemajuan bangsa Indonesia akan berpeluang besar dapat tercapai. Yang menjadi masalah besar yakni, apabila kualitas menteri hasil proses sakral itu ternyata di bawah standard, tentu akan merugikan banyak masyarakat Indonesia khususnya, bahkan dapat pula merugikan bangsa lain akibat dampak ketidakmampuannya dalam mengelola bangsa Indonesia di bidang yang telah diamanahkan oleh Presiden Jokowi.
Bahayanya, bahkan masa depan bangsa Indonesia akan hancur di tangan orang “bodoh” yang menjabat sebagai menteri. Dalal hal ini, tauadan kita yakni Nabi Muhamamd SAW pernah berpesan kepada umatnya yang secara substantif maksudnya yaitu melarang kita agar tidak sembarangan memberikan amanah kepada seseorang untuk mengembannya. Sebab, jika kita lakukan itu, dapat berakibat fatal. Nabi menjelaskan, apabila hal itu terjadi, maka suatu kaum tinggal menunggu saat kehancurannya.
Bila kita pahami, maka kita akan mengetahui bahwa substansi hadist itu sungguh mengandung makna yang tepat bila dikaitkan dengan kondisi proses reshuffle menteri yang sebentar lagi akan tiba. Artinya, apabila nantinya Jokowi salah pilih menteri pengganti atau salah dalam mengganti (yang seharusnya tidak diganti justru diganti oleh orang lain), implikasi konkritnya akan dapat ditebak dengan mudah oleh setiap orang, yakni bangsa Indonesia akan tiba di ambang pintu kehancuran.
Selanjutnya, dikatakan berbahaya karena proses itu tentu akan menjadi momentum yang rawan konspirasi dari berbagai pihak, baik pihak Jokowi maupun pihak lain. Artinya, di satu sisi (jika Jokowi merupakan tipologi Presiden tidak amanah), momentum itu sangat memungkinkan akan dimanfaatkan oleh Jokowi beserta para koalisinya untuk merap keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal itu mudah sekali baginya. Dengan hanya memilih menteri yang dapat diajak ‘bekerjasama’ dengannya, maka tujuan untuk meraih ‘kenikmatan duniawi’ akan terwujud dengan mudah, ibarat mengedipkan mata.
Sedangkan di sisi lain (jika memang Jokowi merupakan tipologi Presiden amanah), sangat memungkinkan bagi pihak-pihak luar untuk memanfaatkan momentum berharga itu agar memperoleh peluang dengan selalu mengintervensi Jokowi agar ‘mau’ diajak bekerjasama untuk meraup keuntungan pribadi bersama (baca: korupsi berjama’ah).
Jika salah satu di antara keduanya benar-benar terjadi, maka dapat dipastikan itu akan menjadi duri nyata kemajuan Indonesia. Otomatis, kesejahteraan bangsa Indonesia akan tertunda semakin jauh. Sebab, bukannya Jokowi memilih menteri demi mewujudkan kesejahteraan rakyat melainkan demi keuntungan pribadi.
Oleh karena itu, diperlukan sejumlah langkah konkrit demi terwujudnya proses reshuffle menteri yang benar-benar bersih dan berkualitas (baca: objektif) serta jauh dari praktik-praktik negatif yang hanya bersifat ‘mencekik’ rakyat.
Pertama, sebagai Presiden, Jokowi harus menjadi pemimpin amanah yang hanya mementingkan segala urusannya demi terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini, selain harus amanah, Jokowi juga harus menajdi pemimpin yang konsisten serta independen. Jangan sampai karena terinveksi oleh intervensi pihak luar sehingga menciderai proses sacral itu yang  seharusnya menjadi kunci kemajuan Indonesia justru menajdi kunci kehancuran Indonesia.
Kedua, Jokowi harus menjunjng tinggi asas objektivitas. Poin ini menajdi sangat penting. Sebab, ketentuannya tentu akan menjadi penentu masa depan bangsa Indoneia. Dengan kata lain, masa depan bangsa ini berada di tangannya melalui proses me-reshuffle menteri. Jika memang menteri ayng sudah bekerja selama ini terbukti berapor merah (berdasarkan hasil laporan, fakta lapangan, serta bukti lain), sudah menjadi kewajiban Jokowi untuk menggantinya dengan sosok menteri yang dinilai lebih mampu dan sesuai. Jangankan berapor merah, jika perlu apabila menteri berapor kuning, dia ganti pula. Sebab, masih ada sosok calon menteri yang lebih layak dan bersedia untuk emngemban amanah sakral itu.
Ketiga, jika ternyata Jokowi harus mengganti beberapa menteri, maka dia harus mampu memastikan bahwa calon pengganti menteri yang akan diganti merupakan sosok yang lebih berkualitas dari pada sebelumnya.

Setidaknya dengan berdasarkan tiga pertimbangan itu, diharapkan Presidenen Jokowi dapat menjadi pemimpin amanah, terpercaya, independen, serta konsisten dengan memilih menteri yang memang berkualitas menteri (bukan menteri abal-abal). Dengan begitu, maka kemungkinan besar kesejahteraan rakyat akan dapat tercapai. Semoga! Wallahu a’lam bi alshowab

Minggu, 12 Juli 2015

Mahasiswa dan Tradisi Intelektual (Dimuat di Koran Rakyat Jateng kolom BAIT edisi Sabtu 11 Juli 2015)



 
Mahasiswa dan Tradisi Intelektual
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Mahasiswa Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang
Selama ini, mayoritas masyarakat menganggap bahwa kodrat mahasiswa dilahirkan sebagai insan yang membanggakan karena diharapkan dapat bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Dengan kodrat berbagai perannya, di antaranya sebagai direct of change (perubahan langsung), agent of social change (sumber perubahan sosial), iron stock (tidak pernah habis), maupun peran lainnya, kaum mahasiswa dinilai mampu menjadi actor yang membanggakan dan dapat diandalkan.
Namun, kini citra mahasiswa di kalangan masyarakat luas tampak mulai terkikis. Hal itu akibat ‘ulah’ dari kaum mahasiswa sendiri. Dengan kata lain, dalam kacamata masyarakat luas, mahasiswa mendapat stigma negatif. Anggapan negatif itu tentu bukan tanpa sebab. Pasalnya, banyak mahasiswa yang sudah tidak lagi peduli dengan tradisi intelektual. Tradisi membaca,  jurnalistik, diskusi kelompok, berorganisasi, maupun tradisi lainnya yang mendukung meningkatkan kualitas intelektual mahasiswa kini seolah menjadi tradisi yang membosankan di kalangan mereka. Tradisi-tradisi mulia itu kini seolah hanya sebatas teori belaka. Implikasinya, harapan dan cita-cita masyarakat dianggap ‘gagal’ terealisasi’.
Ya, anggapan masyarakat terhadap mahasiswa sebagai aktor yang membanggakan masyarakat kini telah terdistorsi menjadi aktor yang mengecewakan. Kaum mahasiswa kini dinilai telah kehilangan jati diri. Tradisi intelektual yang pada dasarnya merupakan aktivitas primer mereka (karena merupakan kebutuhan pokoknya), justru terabaikan. Mereka lebih tertarik dengan melakukan sejumlah aktivitas yang justru sebenarnya tergolong aktivitas sekunder, semisal berwisata, mendaki gunung, atau lainnya.
Parahnya, tidak sedikit pula di antara mereka yang masuk dalam kategori jenis ‘mahasiswa malas’, sehingga tidak sedikit orang pula menyebutnya sebagai mahasiswa KUPU (kuliah-pulang), KUPER (kurang pergaulan), KUNO (kuliah-nongkrong), maupun sebutan lainnya. Alhasil, eksistensi mahasiswa di tengah masyarakat di masa kini dinilai disfungsi. Dalam kitab pendidikan menyebut fenomena itu dengan “wujuduhu ka’adamihi”.
Berkaitan dengan kondisi itu, secara substantif, sebutan itu menjelaskan bahwa keberadaan mahasiswa di tengah masyarakat setali tiga uang tidak ada. Artinya, jika benar kondisi perkembangan mahasiswa memang demikian, maka alangkah lebih baiknya tidak perlu ada mahasiswa. Sebab, astar keberadaan mereka tidak dapat ‘dinikmati’ oleh masyarakat luas.
Padahal jika disadari, sebenarnya orientasi utama eksistensi mahasiswa ialah agar mampu menjadi generasi penerus estafet kepemimpinan bangsa. Artinya, nasib maju tidaknya bangsa sangat ditentukan oleh mereka. Maka, sungguh disayangkan apabila mahasiswa yang seharusnya menjadi pusat/ ikon manusia beradab (baca: berintelektual) namun faktanya justru berbalik seratus delapan puluh derajat.
Terbukti, para founding father seperti Ir. Soekarno, BJ. Habibie, Soeharto, KH. Abdurrahman Wahid, dan para cendekiawan lainnya mampu memimpin bangsa Indonesia karena mereka memiliki bekal yang berhasil mereka raih dengan tekun, rajin, serta giat menggeluti tradisi intelektual seperti membaca, menulis, berdiskusi, dan lainnya. Bahkan, sebagai aplikasi satu hadist nabi yang berarti “tuntutlah ilmu hingga ke negeri China”, mantan presiden Republik Indonesia (RI) yang sering disapa Gus Dur yang sekaligus merupakan ulama’, cendekiawan, sivitas akademika, dan juga politisi rela berkelana hingga ke berbagai negara seperti Chairo Mesir guna menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Hal itu sungguh berbeda bila kita bandingkan dengan kondisi mahasiswa saat ini yang cenderung lebih memilih untuk ‘bersenang-senang’ dari pada ‘bersakit-sakit’ sebagaimana yang telah dilakukan oleh para cendekiawan pada masa lalu. Implikasi konkritnya, calon intelektual saat ini (mahasiswa) miskin ilmu dan karya.
Sesungguhnya, ada sejumlah faktor penyebab meredupnya tradisi intelektual di kalangan mahasiswa. Di antaranya, krisis kesadaran, miskin wawasan dan pengalaman, di tambah dengan virus globalisasi yang kian menderu di seluruh negeri, termasuk Republik Indonesia.
Maka dari itu, perlu diadakan gerakan massif dari seluruh pihak terutama bagi warga kampus baik dosen, staff, maupun mahasiswa sendiri untuk membangkitkan gairah kaum mahasiswa agar kembali semangat berdinamika dalam aspek intelektual. Sebab, tingkat intelektualitas suatu bangsa merupakan aspek yang dijadikan sebagai tolok ukur tingkat kemajuan suatu bangsa.
Adapun salah satu langkah konkritnya ialah mahasiswa harus sadar bahwa masa depan terletak di pundak mereka. Artinya, mereka kelak akan menjadi penentu nasib bangsa. Dengan begitu, maka mahasiswa akan dapat memiliki ghirah untuk menghidpkan kembali tradisi intelektual yang kian pudar.
Dengan bersama-sama bangkit menghidupkan kembali tradisi intelektual di kalangan mahasiswa, diharapkan mampu melahirkan generi hybrid yang siap melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa di masa mendatang dalam rangka untuk mensejahterakan rakyat. Wallahu a’lam bi alshowab.