Kamis, 22 Oktober 2015

Santri dan Politik (dimuat di Koran Rakyat Jateng edisi 23 Oktober 2015)

Santri  dan Politik
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang; Mutakorijin Santri Ponpes Raudlatul ‘ulum Pati
Hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat memandang bahwa dunia politik itu kotor. Pandangan demikian seperti itu sebenanrnya keliru. Sebab, pada dasarnya politik itu baik. Para pakar ilmuan politik seperti Dr. Mohammad Nasih al-Hafidz, anggota dewan pakar ICMI Pusat mengibaratkan politik sebagai sebuah pisau. Maka baik-buruk pisau itu tergantung dari pemegangnya. Jika pemegangnya adalah penjahat, maka pisau itu akan digunakan untuk menusuk orang.  Sebaliknya, jika pisau itu dipegang orang baik misalnya seorang yang bertugas memasak, maka pisau itu akan digunakan untuk mengolah masakan dan bermanfaat untuk orang banyak.
Pun dengan politik. Apabila pihak yang terjun di dunia politik itu adalah orang-prang yang baik, maka politik itu akan dapat bermanfaat bagi khalayak umat. Pun sebaliknya. Apabila pihak yang terjun di dunia politik adalah orang-orang yang “jahat”, otomatis politik itu hanya akan menyakiti khalayak umat. Dan realita konstelasi perpolikan khususnya di Indonesia saat ini ialah lebih cocok pada gambaran yang kedua, yakni  lebih banyak dikelola oleh orang-orang yang “jahat”.
Maka, tak heran jika tidak sedikit para politisi terutama yang telah sukses menduduki jabatan strategis tersangkut kasus korupsi. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya mereka bukan ‘politisi sejati’ yang berkecimpung di dunia politik secara langsung untuk memperjuangkan kemaslahatan umat.
Dengan saking banyak dan seringnya kasus terutama kosupsi yang melibatkan para pejabat dan politisi, sehingga fakta itu menjadikan citra politisi menjadi negatif di mata masyarakat. Alhasil, makna politik yang sebenanrnya menjadi tereduksi karena ulah mereka. Konsekuensinya, masyarakat memandang buruk mereka. Dan pada akhirnya, masyarakat menjadi “jijik” dan sangat benci terhadap para politisi. Maka, terbentuklah paradigma anti-politik.
Fenomena tersebut menyebabkan masyarakat menjadi enggan dan apatis terhadap aktivitas politik. Terbukti partisipasi politik masyarakat pada pemilu 2014 kemarin jauh di bawah jumlah masyarakat pada pemilu 1955. Pada pemilu 2014 kemarin, berdasarkan data survei dari CSIS dan lembaga survei Cyrus Network, jumlah partisipasi politik hanya mencapai 75, 2 persen. Sedngkan pada pemilu 1955, jumlah partisipasi politik masyarakat mencapai hingga 91,4 persen. Artinya, data tersebut  membuktikan betapa bencinya masyarakat untuk terlibat aktif dalam politik. Sebab, pada akhirnya mereka hanya akan memperoleh politisi yang jahat yang egois, hedonis, serta oportunis.
Sementara hampir setiap hari masyarakat disuguhi informasi di media massa baik cetak maupun online yang memberitakan tentang tertangkapnya tersangka korupsi baru yang kian hari kian bertambah dan menggurita. Begitu peliknya kasus korupsi di negeri membuat jiwa anti-berpolitik masyarakat ssemakin tinggi.
Di sisi lain, sosok santri dipandang oleh masyarakat sebagai kaum yang “suci”. Maksudnya, mereka memandang santri demikian karena santri cenderung merupakan orang yang berilmu terutama dalam aspek agama. Maka, bagi mereka, santri tentu hanya akan hhidup dalam pusaran lingkungan yang baik dan jauh dari perbuatan yang keji dan mungkar. Mereka selalu bergelut dengan agenda yang berunsur ibadah.
Padahal, sesungguhnya, peran santri sebagai orang “suci” adalah bertugas memberikan pencerahan. Sebab, pada dasarnya, mereka merupakan pengganti (badal) kiai/ ulama’, bahkan mereka tergolong ulama’. Sedangkan ulama’ merupakan pewaris para nabi (al’ulama’ warostatul anbiya’). Dan peran nabi ialah selain menyampaikan kabar berita (basyiron) juga member peringatan (nadhiro).
Maka, peran santri pun sebagaimana nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Maka dari itu, peringatan hari santri nasional menjadi momentum strategis untuk menabuh gendang sekeras-kerasnya agar menyadarkan seluruh masyarakat Indonesia bahkan dunia bahwa santri perlu bahkan harus berpolitik, mengetahui kondisi perpolitikan Indonesia yang saat ini bisa dibilang dalam tahap “gawat darurat”. Dengan begitu, maka para santri dapat mengimplementasikan tugas sucinya sebagai basyiron wa nadhiron secara langsung dalam perpolitikan Indonesia.
Kondisi Indonesia yang carut-marut merupakan akibat dari pengelolanya terdiri dari para politisi jahat. Maka, agar politik di Indonesia dapat berjalan sesuai fungsinya yakni untuk kemaslahatan umat, para  santri harus terjun langsung untuk menghandle roda perpolitikan Indonesia guna memperbaiki keterpurukan kondisi Indonesia.
Maka, langkah para santri/ ulama seperti gus dur (mantan presiden Indonesia) untuk terjun langsung ke dalam politik merupakan langkah yang sudah tepat dan harus diletaladani oleh para santri lainnya. Sehubungan dengan hal itu, dengan adanya momentum peringatan hari santri nasional pada 22 oktober kemarin, semoga dapat menjadikan ‘pecut’ bagi para kawula santri untuk dapat bangkit bergerak maju.

Dengan begitu, harapannya, Indonesia dapat dikelola oleh orang-orang baik. Korupsi pun sirna. Indonesia akan berpotensi menjadi Negara yang maju, unggul, dan sejahtera. Wallahu a’lam bi al-showab. Selamat Hari Santri Nasional Perdana !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar