Santri dan Politik
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang; Mutakorijin
Santri Ponpes Raudlatul ‘ulum Pati
Hingga saat ini, tidak sedikit masyarakat memandang bahwa dunia
politik itu kotor. Pandangan demikian seperti itu sebenanrnya keliru. Sebab,
pada dasarnya politik itu baik. Para pakar ilmuan politik seperti Dr. Mohammad
Nasih al-Hafidz, anggota dewan pakar ICMI Pusat mengibaratkan politik sebagai
sebuah pisau. Maka baik-buruk pisau itu tergantung dari pemegangnya. Jika
pemegangnya adalah penjahat, maka pisau itu akan digunakan untuk menusuk
orang. Sebaliknya, jika pisau itu dipegang
orang baik misalnya seorang yang bertugas memasak, maka pisau itu akan
digunakan untuk mengolah masakan dan bermanfaat untuk orang banyak.
Pun dengan politik. Apabila pihak yang terjun di dunia politik itu
adalah orang-prang yang baik, maka politik itu akan dapat bermanfaat bagi
khalayak umat. Pun sebaliknya. Apabila pihak yang terjun di dunia politik
adalah orang-orang yang “jahat”, otomatis politik itu hanya akan menyakiti
khalayak umat. Dan realita konstelasi perpolikan khususnya di Indonesia saat
ini ialah lebih cocok pada gambaran yang kedua, yakni lebih banyak dikelola oleh orang-orang yang
“jahat”.
Maka, tak heran jika tidak sedikit para politisi terutama yang
telah sukses menduduki jabatan strategis tersangkut kasus korupsi. Hal itu
dikarenakan memang pada dasarnya mereka bukan ‘politisi sejati’ yang
berkecimpung di dunia politik secara langsung untuk memperjuangkan kemaslahatan
umat.
Dengan saking banyak dan seringnya kasus terutama kosupsi yang
melibatkan para pejabat dan politisi, sehingga fakta itu menjadikan citra politisi
menjadi negatif di mata masyarakat. Alhasil, makna politik yang sebenanrnya
menjadi tereduksi karena ulah mereka. Konsekuensinya, masyarakat memandang
buruk mereka. Dan pada akhirnya, masyarakat menjadi “jijik” dan sangat benci
terhadap para politisi. Maka, terbentuklah paradigma anti-politik.
Fenomena tersebut menyebabkan masyarakat menjadi enggan dan apatis
terhadap aktivitas politik. Terbukti partisipasi politik masyarakat pada pemilu
2014 kemarin jauh di bawah jumlah masyarakat pada pemilu 1955. Pada pemilu 2014
kemarin, berdasarkan data survei
dari CSIS dan lembaga survei Cyrus Network, jumlah partisipasi politik hanya
mencapai 75, 2 persen. Sedngkan pada pemilu 1955, jumlah partisipasi politik
masyarakat mencapai hingga 91,4 persen. Artinya, data tersebut membuktikan betapa bencinya masyarakat untuk
terlibat aktif dalam politik. Sebab, pada akhirnya mereka hanya akan memperoleh
politisi yang jahat yang egois, hedonis, serta oportunis.
Sementara hampir setiap hari
masyarakat disuguhi informasi di media massa baik cetak maupun online yang
memberitakan tentang tertangkapnya tersangka korupsi baru yang kian hari kian
bertambah dan menggurita. Begitu peliknya kasus korupsi di negeri membuat jiwa
anti-berpolitik masyarakat ssemakin tinggi.
Di sisi lain, sosok santri dipandang
oleh masyarakat sebagai kaum yang “suci”. Maksudnya, mereka memandang santri
demikian karena santri cenderung merupakan orang yang berilmu terutama dalam
aspek agama. Maka, bagi mereka, santri tentu hanya akan hhidup dalam pusaran
lingkungan yang baik dan jauh dari perbuatan yang keji dan mungkar. Mereka
selalu bergelut dengan agenda yang berunsur ibadah.
Padahal, sesungguhnya, peran santri
sebagai orang “suci” adalah bertugas memberikan pencerahan. Sebab, pada
dasarnya, mereka merupakan pengganti (badal) kiai/ ulama’, bahkan mereka
tergolong ulama’. Sedangkan ulama’ merupakan pewaris para nabi (al’ulama’
warostatul anbiya’). Dan peran nabi ialah selain menyampaikan kabar berita
(basyiron) juga member peringatan (nadhiro).
Maka, peran santri pun sebagaimana
nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Maka dari itu,
peringatan hari santri nasional menjadi momentum strategis untuk menabuh
gendang sekeras-kerasnya agar menyadarkan seluruh masyarakat Indonesia bahkan
dunia bahwa santri perlu bahkan harus berpolitik, mengetahui kondisi
perpolitikan Indonesia yang saat ini bisa dibilang dalam tahap “gawat darurat”.
Dengan begitu, maka para santri dapat mengimplementasikan tugas sucinya sebagai
basyiron wa nadhiron secara langsung dalam perpolitikan Indonesia.
Kondisi Indonesia yang carut-marut
merupakan akibat dari pengelolanya terdiri dari para politisi jahat. Maka, agar
politik di Indonesia dapat berjalan sesuai fungsinya yakni untuk kemaslahatan
umat, para santri harus terjun langsung
untuk menghandle roda perpolitikan Indonesia guna memperbaiki
keterpurukan kondisi Indonesia.
Maka, langkah para santri/ ulama
seperti gus dur (mantan presiden Indonesia) untuk terjun langsung ke dalam
politik merupakan langkah yang sudah tepat dan harus diletaladani oleh para
santri lainnya. Sehubungan dengan hal itu, dengan adanya momentum peringatan
hari santri nasional pada 22 oktober kemarin, semoga dapat menjadikan ‘pecut’
bagi para kawula santri untuk dapat bangkit bergerak maju.
Dengan begitu, harapannya, Indonesia
dapat dikelola oleh orang-orang baik. Korupsi pun sirna. Indonesia akan berpotensi
menjadi Negara yang maju, unggul, dan sejahtera. Wallahu a’lam bi al-showab.
Selamat Hari Santri Nasional Perdana !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar