Selasa, 27 Oktober 2015

Meneladani Tradisi Santri (Dimuat di Koran Rakyat ateng edisi 27 Oktober 2015)

Meneladani Tradisi Santri
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang; Santri Mutakhorrijin Ponpes Raudlatul ‘ulum Guyangan Pati
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) perdana pada 22 Oktober kemarin patut kita ambil ‘hikmahnya’. Salah satunya ialah dengan meneladani dan mengamalkan tradisi-tradisi santri seperti keta’atan kepada kiyai, kesolidan dengan komunitasnya, saling bersinergi dalam menegakkan kebenaran, dan lain sebagainya, yang di dalam semua budaya itu terkandung nilai-nilai positif dan edukatif.
Jika kita mau mempelajari dan mengamalkannya, maka akan berdampak signifikan pada mempercepat laju kemajuan Indonesia. Selain itu, nilai-nilai positif itu sungguh tepat dan relevan untuk diimplementasikan di era kekinian, mengingat saat ini mayoritas bangas di dunia khususnya Indonesia sedang dilanda krisis moral. Berbagai macam bentuk perilaku menyimpang yang notabene dilakukan para muda-mudi saat ini seperti pergaulan bebas, terlibat aktif maupun pasif dalam sindikat narkoba, ‘aktivis’ begal, pembunuhan, tawuran, dan masih banyak lagi. Maka, harapannya, dengan meneladani tradisi-tradisi santri, dapat menjadi obat mujarrab untuk merehabilitasi moral kawula muda yang sedang ‘sakit’.
Selanjutnya, perlu penulis uraikan secara komprehensif tentang maksud dengan meneladani tradisi santri. Dinamika santri selama berproses mencari ilmu di pondok pesantren (ponpes) diringi dengan tradisi-tradisi positif yang harus kita teladani dengan mengkontekstualisasikan dan merelvansikan sesuai kondisi, kebutuhan, serta tuntutan zaman di era globalisasi ini. Maka dari itu, dalam meneladani tradisi-tradisi positif santri, perlu kiranya kita miliki prioritas, sehingga kita benar-benar dapat mengambil manfaat dari tradisi santri yang dapat berimplikasi signifkan bagi masyarakat luas.
Pertama, keteladanan bersinergi dalam hal yang positif. Di lingkungan pondok, para santri sering saling bahu-membahu dan bersinergi guna mencapai target positif tertentu (konsep ta’awun). Hal itu merupakan manifestasi potongan QS. Al-Ma’idah ayat 2 yang substansinya ialah Allah memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong dan bertakwa. Tolong menolong dalam ayat tersebut tentu dalam hal positif.
 Misalnya, ketika pondoknya sedang mengadakan renovasi konsruksi pondok, para santri dengan ringan tangan saling bersinergi sesuai tugas dan posisinya, sehingga pekerjaan menjadi ringan dan target dalam tercapai bahkan terlampaui dalam waktu relatif singkat.
Nah, aspek tersebut menjadi poin yang sangat urgen, terutama di ranah pemerintahan Indonesia. Pasalnya, kondisi sistem pemerintah Indonesia saat ini sedang mengalami “kehancuran”. Sebab, bisa dibilang mayoritas pengelola Indonesia ialah “orang-orang jahat” yang terkumpul dalam komunitas tersendiri. Mereka bersatu dan bersinergi namun bukan dalam hal positif, melainkan negatif. Terbukti, sejauh ini sangat banyak sekali para pejabat pemerintah yang terlibat kasus korupsi dan suap. Kabar terakhir, kasus korupsi besar menjerat Sekretaris Jendral Partai Nasdem dan seorang anggota DPR. Maka dari itu, para pejabat pemerintah dan politisi khususnya harus meneladani tradisi sinergitas santri dalam hal positif. Bukan justru bersinergi untuk menggalakkan korupsi.
Kedua, kesolidan dalam komunistasnya. Dalam menghadapi berbagai tantangan dalam hidup ini, para santri sangat solid dan komitmen terhadap komunitasnya. Mereka  sangat setia. Santri sejati tidak pernah memiliki pikiran untuk menjatuhkan teman sendiri, iri, dengki, ataupun penyakit hati lainnya. Justru mereka saling meningkatkan tali persaudaraan satu sama lain. Hal itu juga merupakan manifestasi konsep persatuan Islam yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 yang substansinya ialah pada hakikatnya orang Islam itu bersaudara. Karenanya, jangan saling bermusuhan dan kita diperintahkan untuk saling berdamai dan mendamaikan.
Maka, nilai-nilai tradisi itu juga perlu kita teladani untuk menjaga persatuan dan kesatuan negeri tercinta ini bersama-sama untuk memajukan, bukan justru sebaliknya. Nilai itu selaras juga dengan Pancasila sila ke-tiga.
Ketiga, tradisi intelektual santri. Secara umum, tujuan utama santri ialah untuk menuntut ilmu kepada kiyainya. Nah, dalam proses tersebut, santri memiliki cirri khas tertentu, yakni system pembelajaran bandongan dan sorogan. Meskipun tidak sedikit orang bilang bahwa sistem kalsik itu sudah tidak relevan dengan tuntutan zaman, namun realitanya tidak sedikit pondok pesantren sukses menelurkan para santri hingga terlahir menjadi seorang cendekiawan muslim, bahkan seorang tokoh agama besar.
Oleh karena itu, kita semua perlu meneladani tradisi itu. Hanya saja, di tengah kondisi prkembangan IPTEK yang sangat pesat, mungkin kita perlu mengkolaborasikan sistem pembelajaran santri itu dengan sistem yang sesuai, relevan, dan tepat. Sebab, setiap pelajaran pula tidak bias disamakan untuk mempelajarinya. Pada intinya, semangat mencari ilmu para santri perlu kita teladani untuk memajukan Indonesia. Dalam Islam, Nabi Muhammad juga telah bersabda bahwa kita semua wajib menuntut ilmu, baik sejak lahir hingga ajal kelak menjemput.
Semoga, momentum peringatan hari santri nasional 22 Oktober kemarin tidak hanya berimplikasi pada kalangan santri, namun kepada kita semua dengan meneladani tradisi-tradisi positif para santri dengan mengkontekstualisaskan sesuai kondisi saat ini. Dengan begitu, manfaat eksistensi santri selama ini dapat kita rasakan semua dan dapat berkontribusi riil. Wallahu a’lam bi al-showab.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar