Meneladani Tradisi Santri
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Peraih Beasiswa Bidikmisi UIN Walisongo Semarang; Santri
Mutakhorrijin Ponpes Raudlatul ‘ulum Guyangan Pati
Penetapan Hari Santri Nasional (HSN) perdana pada 22 Oktober
kemarin patut kita ambil ‘hikmahnya’. Salah satunya ialah dengan meneladani dan
mengamalkan tradisi-tradisi santri seperti keta’atan kepada kiyai, kesolidan
dengan komunitasnya, saling bersinergi dalam menegakkan kebenaran, dan lain
sebagainya, yang di dalam semua budaya itu terkandung nilai-nilai positif dan
edukatif.
Jika kita mau mempelajari dan mengamalkannya, maka akan berdampak
signifikan pada mempercepat laju kemajuan Indonesia. Selain itu, nilai-nilai
positif itu sungguh tepat dan relevan untuk diimplementasikan di era kekinian,
mengingat saat ini mayoritas bangas di dunia khususnya Indonesia sedang dilanda
krisis moral. Berbagai macam bentuk perilaku menyimpang yang notabene dilakukan
para muda-mudi saat ini seperti pergaulan bebas, terlibat aktif maupun pasif
dalam sindikat narkoba, ‘aktivis’ begal, pembunuhan, tawuran, dan masih banyak
lagi. Maka, harapannya, dengan meneladani tradisi-tradisi santri, dapat menjadi
obat mujarrab untuk merehabilitasi moral kawula muda yang sedang ‘sakit’.
Selanjutnya, perlu penulis uraikan secara komprehensif tentang
maksud dengan meneladani tradisi santri. Dinamika santri selama berproses
mencari ilmu di pondok pesantren (ponpes) diringi dengan tradisi-tradisi
positif yang harus kita teladani dengan mengkontekstualisasikan dan
merelvansikan sesuai kondisi, kebutuhan, serta tuntutan zaman di era
globalisasi ini. Maka dari itu, dalam meneladani tradisi-tradisi positif
santri, perlu kiranya kita miliki prioritas, sehingga kita benar-benar dapat
mengambil manfaat dari tradisi santri yang dapat berimplikasi signifkan bagi
masyarakat luas.
Pertama, keteladanan bersinergi dalam hal yang positif. Di
lingkungan pondok, para santri sering saling bahu-membahu dan bersinergi guna
mencapai target positif tertentu (konsep ta’awun). Hal itu merupakan
manifestasi potongan QS. Al-Ma’idah ayat 2 yang substansinya ialah Allah
memerintahkan kita untuk saling tolong-menolong dan bertakwa. Tolong menolong
dalam ayat tersebut tentu dalam hal positif.
Misalnya, ketika pondoknya
sedang mengadakan renovasi konsruksi pondok, para santri dengan ringan tangan
saling bersinergi sesuai tugas dan posisinya, sehingga pekerjaan menjadi ringan
dan target dalam tercapai bahkan terlampaui dalam waktu relatif singkat.
Nah, aspek tersebut menjadi poin yang sangat urgen, terutama di
ranah pemerintahan Indonesia. Pasalnya, kondisi sistem pemerintah Indonesia
saat ini sedang mengalami “kehancuran”. Sebab, bisa dibilang mayoritas
pengelola Indonesia ialah “orang-orang jahat” yang terkumpul dalam komunitas
tersendiri. Mereka bersatu dan bersinergi namun bukan dalam hal positif,
melainkan negatif. Terbukti, sejauh ini sangat banyak sekali para pejabat
pemerintah yang terlibat kasus korupsi dan suap. Kabar terakhir, kasus korupsi
besar menjerat Sekretaris Jendral Partai Nasdem dan seorang anggota DPR. Maka
dari itu, para pejabat pemerintah dan politisi khususnya harus meneladani
tradisi sinergitas santri dalam hal positif. Bukan justru bersinergi untuk
menggalakkan korupsi.
Kedua, kesolidan dalam komunistasnya. Dalam menghadapi berbagai
tantangan dalam hidup ini, para santri sangat solid dan komitmen terhadap
komunitasnya. Mereka sangat setia.
Santri sejati tidak pernah memiliki pikiran untuk menjatuhkan teman sendiri,
iri, dengki, ataupun penyakit hati lainnya. Justru mereka saling meningkatkan
tali persaudaraan satu sama lain. Hal itu juga merupakan manifestasi konsep
persatuan Islam yang telah dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat ayat 10 yang
substansinya ialah pada hakikatnya orang Islam itu bersaudara. Karenanya,
jangan saling bermusuhan dan kita diperintahkan untuk saling berdamai dan
mendamaikan.
Maka, nilai-nilai tradisi itu juga perlu kita teladani untuk
menjaga persatuan dan kesatuan negeri tercinta ini bersama-sama untuk
memajukan, bukan justru sebaliknya. Nilai itu selaras juga dengan Pancasila
sila ke-tiga.
Ketiga, tradisi intelektual santri. Secara umum, tujuan utama
santri ialah untuk menuntut ilmu kepada kiyainya. Nah, dalam proses tersebut,
santri memiliki cirri khas tertentu, yakni system pembelajaran bandongan dan
sorogan. Meskipun tidak sedikit orang bilang bahwa sistem kalsik itu sudah
tidak relevan dengan tuntutan zaman, namun realitanya tidak sedikit pondok
pesantren sukses menelurkan para santri hingga terlahir menjadi seorang
cendekiawan muslim, bahkan seorang tokoh agama besar.
Oleh karena itu, kita semua perlu meneladani tradisi itu. Hanya
saja, di tengah kondisi prkembangan IPTEK yang sangat pesat, mungkin kita perlu
mengkolaborasikan sistem pembelajaran santri itu dengan sistem yang sesuai,
relevan, dan tepat. Sebab, setiap pelajaran pula tidak bias disamakan untuk
mempelajarinya. Pada intinya, semangat mencari ilmu para santri perlu kita
teladani untuk memajukan Indonesia. Dalam Islam, Nabi Muhammad juga telah
bersabda bahwa kita semua wajib menuntut ilmu, baik sejak lahir hingga ajal
kelak menjemput.
Semoga, momentum peringatan hari santri nasional 22 Oktober kemarin
tidak hanya berimplikasi pada kalangan santri, namun kepada kita semua dengan
meneladani tradisi-tradisi positif para santri dengan mengkontekstualisaskan
sesuai kondisi saat ini. Dengan begitu, manfaat eksistensi santri selama ini
dapat kita rasakan semua dan dapat berkontribusi riil. Wallahu a’lam bi
al-showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar