Minggu, 07 September 2014

Menahan Nafsu Kampanye Hitam (Radar Surabaya: 4 Juli 2014)



Menahan Nafsu Kampanye Hitam
Oleh: Mochammad Sayyidatthohirin
Penerima Beasiswa Bidik Misi dan Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang.
Ramadan telah datang. Umat Islam pun berdendang. Menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Bulan penuh berkah dan akan mengantarkan umat manusia kepada kemenangan. Kebetulan, Ramadan kali ini bertepatan dengan peristiwa yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia lima tahun ke depan. Ya, Indonesia akan menyelenggarakan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 untuk memilih presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka Indonesia memberlakukan sistem pemilu untuk menentukan pemimpin di tingkat legislatif.
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan Ir. Soekarno, bangsa Indonesia menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun sekali. Kecuali saat masa kepemimpinan Presiden Soeharto. Pemacu tujuan para kandidat tidak lain adalah demi memenangkan pemilu yang dimaksudkan untuk memperoleh kekuasaan. Sebab, kekuasaan tersebut akan menjadi jembatan pelicin baginya untuk bisa lebih mudah mengimplementasikan, mengaplikasikan, serta merealisasikan visi misinya.
Serangkaian aktivitas yang tidak terlepas dari pemilu diantaranya adalah kampanye. Kampanye merupakan salah satu aktivitas yang cukup urgen dalam pemilu. Urgensinya sangat menentukan keberhasilan sang kandidat dalam hajat pencalonan dirinya. Sebab, dengan kampanye, sang kandidat bisa memperkenalkan diri kepada seluruh elemen masyarakat. Dan yang terpenting adalah setidaknya masyarakat bisa mengetahui visi misi masing-masing kandidat. Dengan itu, maka masyarakat memiliki dasar untuk menentukan kandidat yang layak dipilih.
Ironisnya, demi memenangkan pemilu, berbagai carapun ditempuh oleh semua pihak yang terlibat dalam aktivitas kampanye, baik itu cara yang etis maupun tidak, bahkan terlarang. Mereka menempuh berbagai cara untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Padahal, pada hakikatnya tujuan pelaksanaan kampanye adalah untuk memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dengan cara yang dibenarkan dan diperbolehkan. Akan tetapi, realitanya justru kontradiktif dengan tujuan awal penyelenggaraan kampanye. Padahal, kampanye semacam itu hanya akan mengakibatkan banyak madharat, menimbulkan konflik antar kelompok, serta merusak nilai demokrasi Pancasila.
 Berdasarkan fakta di lapangan, di setiap masa kampanye seringkali muncul oknum-oknum yang mengatasnamakan suatu kelompok pendukung kandidat tertentu yang melakukan penyelewengan dalam pelaksanaan kampanye. Pasalnya, mereka melaksanakan kampanye yang tergolong tidak etis. Terkadang pelaksanaannya terkesan tidak sopan, bahkan tidak sesuai atau bisa dikatakan melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Bawaslu, semisal melakukan kampanye hitam atau kampanye yang bersifat sangat tidak mendidik rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di setiap negara demokrasi di dunia ini tidak ada yang  memperbolehkan kampanye hitam.
Kampanye model seperti itu tidak ada satupun teori ataupun argumentasi yang memperbolehkannya. Sebab, cara-cara dalam praktik kampanye hitam sangatlah merugikan terutama bagi kandidat atau calon, sehingga kredibilitasnya bisa jatuh dan kewibawaannya bisa luntur di mata masyarakat. Implikasinya, pasti akan memunculkan peluang-peluang konflik politik yang pada akhirnya bisa melibatkan berbagai pihak, tak terkecuali rakyat jelata, baik itu berupa saling mejatuhkan maupun memfitnah, bahkan yang membahayakan saling membunuh atau perang saudara. Hal ini seringkali menjadi salah satu penyebab kehancuran suatu negara, misal di Mesir.
Itu berbeda halnya dengan kampanye negatif, tentu tidak menjadi masalah. Sebab, dalam kampanye negatif, pelaku kampanye hanya sebatas menebar isu negatif yang dilakukan kandidat selama hidupnya pada masa lampau. Sedangkan dalam kampanye hitam, pelaku kampanye lebih menebar isu negatif atas seorang kandidat, tapi tidak sesuai pada kandidat itu. Artinya, pelaku kampanye mengada-ada isu negatif tentang kandidat yang sebenarnya tidak merupakan sifat dan ataupun tidak dilakukannya. Maka, tindakan seperti itu yang dilarang keras oleh Bawaslu, karena termasuk perilaku yang memfitnah orang.
Oleh sebab itu, demi kelancaran pelaksanaan kampanye pemilu, diperlukan peran serta dari seluruh elemen masyarakat, baik dari Bawaslu, rakyat, maupun politisi untuk selalu mengawal berjalannya kampanye. Sudah saatnya di negara demokrasi Indonesia tidak mengenal kampanye hitam, supaya nilai-nilai demokrasi Pancasila bisa terimplementasikan dalam praktik yang sebenar-benarnya. Setiap masyarakaat harus saling mendukung terciptanya negara yang demokratis. Jika demikian, tidak mustahil bangsa Indonesia akan mendapatkan pemimpin yang benar-benar cerdas, baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual.
Dari bulan Ramadlan ini, harus ditahan bahwa nafsu kampanye hitam tidak berefek baik bagi demokrasi kita. Apalagi yang masih melakukan, maka tunggulah kemurkaan Allah di bulan suci ini. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar